Pengamat: Kudeta Militer Adalah Kemunduran Demokrasi di Myanmar
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pengamat ekonomi dan politik luar negeri, Gerry Habel Hukubun, menyayangkan kudeta militer Myanmar terhadap pemerintah terpilih pimpinan Daw Aung San Suu Kyi . Menurutnya,kudeta yang dipimpin Jenderal Min Aung Hlaing itu adalah kemunduran bagi demokrasi di Myanmar.
Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD)—partainya Suu Kyi—adalah pemenang pemilu Myanmar pada November 2020. Namun, militer tidak mengakuinya dengan menuduh terjadi kecurangan besar pada pemilu. Puncaknya, militer yang dipimpina Panglima Jenderal Min Aung Hlaing melakukan kudeta pada Senin lalu dengan menangkap Penasihat Negara Daw Aung San Suu Kyi, Presiden U Win Myint dan para politisi NLD.
Militer mengumumkan keadaan darurat hingga setahun ke depan dan menunjuk seorang jenderal sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Presiden. Suu Kyi, yang merupakan pemimpin de facto Myanmar, hingga kini masih menjadi tahanan rumah oleh militer.
Komunitas internasional mengecam keras kudeta militer di Myanmar. “Ini merupakan kemunduran demokrasi di Myanmar,” kata Gerry yang juga menjabat sebagai Divisi Komunikasi Publik Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI), Gerry Habel Hukubun, Kamis (4/2/2021).
Baca juga: Mengenal Min Aung Hlaing, Sosok di Balik Kudeta Myanmar
“Myanmar telah bangkit dari beberapa dekade pemerintahan militer yang ketat dan isolasi internasional yang dimulai pada 1962. Oleh karenanya, peristiwa Senin kemarin merupakan kejatuhan yang mengejutkan dari kekuasaan Suu Kyi, yang memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian pada 1991 atas usahanya mendorong demokrasi dan hak asasi manusia (HAM),” ujarnya.
Menurut Gerry, kudeta yang dipimpin Jenderal Min Aung Hlaing merupakan serangan langsung terhadap transisi negara menuju demokrasi dan supremasi hukum.
Akibat kudeta militer, Amerika Serikat mengancam akan menjatuhkan sanksi terhadap Myanmar. ”Padahal Myanmar telah menjadi proyek promosi demokrasi Barat selama beberapa dekade dan telah menjadi simbol keberhasilan,” paparnya.
Jenderal Min Aung Hlaing sendiri akan pensiun dari dinas ketentaraan pada Juli 2021 mendatang. “Menurut saya, ini bentuk strategi sang jenderal untuk tetap berkuasa sampai akhir masa pensiunnya,” ujar Gerry.
“Jika tidak ada kudeta, maka anggota parlemen yang baru dan pemerintahan terpilih akan resmi menjabat, dan panglima militer, orang paling berkuasa di Myanmar, akan kehilangan kekuasaannya.”
“Sangat disayangkan apabila demokrasi harus kalah dari kepentingan-kepentingan pribadi dan kembali menjadi negara otoritarianisme,” imbuh Gerry.
Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD)—partainya Suu Kyi—adalah pemenang pemilu Myanmar pada November 2020. Namun, militer tidak mengakuinya dengan menuduh terjadi kecurangan besar pada pemilu. Puncaknya, militer yang dipimpina Panglima Jenderal Min Aung Hlaing melakukan kudeta pada Senin lalu dengan menangkap Penasihat Negara Daw Aung San Suu Kyi, Presiden U Win Myint dan para politisi NLD.
Militer mengumumkan keadaan darurat hingga setahun ke depan dan menunjuk seorang jenderal sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Presiden. Suu Kyi, yang merupakan pemimpin de facto Myanmar, hingga kini masih menjadi tahanan rumah oleh militer.
Komunitas internasional mengecam keras kudeta militer di Myanmar. “Ini merupakan kemunduran demokrasi di Myanmar,” kata Gerry yang juga menjabat sebagai Divisi Komunikasi Publik Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI), Gerry Habel Hukubun, Kamis (4/2/2021).
Baca juga: Mengenal Min Aung Hlaing, Sosok di Balik Kudeta Myanmar
“Myanmar telah bangkit dari beberapa dekade pemerintahan militer yang ketat dan isolasi internasional yang dimulai pada 1962. Oleh karenanya, peristiwa Senin kemarin merupakan kejatuhan yang mengejutkan dari kekuasaan Suu Kyi, yang memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian pada 1991 atas usahanya mendorong demokrasi dan hak asasi manusia (HAM),” ujarnya.
Menurut Gerry, kudeta yang dipimpin Jenderal Min Aung Hlaing merupakan serangan langsung terhadap transisi negara menuju demokrasi dan supremasi hukum.
Akibat kudeta militer, Amerika Serikat mengancam akan menjatuhkan sanksi terhadap Myanmar. ”Padahal Myanmar telah menjadi proyek promosi demokrasi Barat selama beberapa dekade dan telah menjadi simbol keberhasilan,” paparnya.
Jenderal Min Aung Hlaing sendiri akan pensiun dari dinas ketentaraan pada Juli 2021 mendatang. “Menurut saya, ini bentuk strategi sang jenderal untuk tetap berkuasa sampai akhir masa pensiunnya,” ujar Gerry.
“Jika tidak ada kudeta, maka anggota parlemen yang baru dan pemerintahan terpilih akan resmi menjabat, dan panglima militer, orang paling berkuasa di Myanmar, akan kehilangan kekuasaannya.”
“Sangat disayangkan apabila demokrasi harus kalah dari kepentingan-kepentingan pribadi dan kembali menjadi negara otoritarianisme,” imbuh Gerry.
(min)