Dimakzulkan Dua Kali, Trumpisme Akan Terus Eksis

Jum'at, 15 Januari 2021 - 05:57 WIB
loading...
Dimakzulkan Dua Kali, Trumpisme Akan Terus  Eksis
Foto rekaman video Presiden Donald Trump saat berbicara terkait kerusuhan Captol Hill diputar ulang di ruang rapat Gedung Putih. FOTO/REUTERS/ERIN SCOTT
A A A
WASHINGTON - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menjadi pemimpin bersejarah karena dimakzulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebanyak dua kali. Namun demikian, Trumpisme tidak akan tenggelam, bahkan diprediksi terus berkembang dan eksis.

Trumpisme identik dengan pengabaikan dan penolakan terhadap hukum yang memperkuat fasisme serta menghalalkan kekerasan tidak akan mati meskipun pemakzulan sudah kali ditujukan kepada Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Trumpisme akan tetap hidup dan terus berkembang karena itu dikendalikan oleh politik populisme, politik emosional, dan politik nasionalisme sempit yang hanya mementingkan golongan tertentu saja.

(Baca juga: Semakin Panas, YouTube Hapus Semua Video Baru Donald Trump )

Selama empat tahun berkuasa, Trumpisme menjadi polusi dalam demokrasi yang berdampak pada politik, budaya, sosial da perekonomian dengan kepemimpinan otoriter berbasis pada personalisasi. Meskipun itu bukan ideologi yang kuat, Trumpisme mebjadi posisi politik yang mampu memengaruhi sendi kehidupan. Dengan mesin misinformasi mampu membangun kesadaran publik dan mengguncang nilai demokrasi yang ujungnya pada merusak pemikiran kritis dan melemahkan peradaban.

Presiden Trump memang akan lengser pada pekan depan. Banyak pihak menduga Trumpisme yang mendorong munculnya terorisme domestik di AS bisa saja terus berlanjut. "Itu dikarenakan Trumpisme merupakan formasi politik baru yang menggabungkan supremasi kulit putih, tekanan kepada pemilih, fundementalisme pasar dan otoriterianisme akan terus bertahan setelah Trump meninggalkan Gedung Putih," kata Henry Giroux, profesor kepentingan publik dari Universitas McMaster, dilansir The Conversation.

(Baca juga: Mahathir: Biden Mungkin akan Perbaiki Hubungan dengan Asia, Akhiri Perang Dagang Konyol )

Giroux menyebut, politik fasis ala Trump mengombinasikan politik personal yang beracun, inkompetensi, xenophobia, supremasi kulit putih, kekerasan polisi sistemik, dan anti-imigran yang sudah menjadi sejarah panjang di AS. Trump mampu menjembatani gerakan populis sayap kanan ke permukaan politik AS.

"Trumpisme bukan lagi masalah perseorangan yakni Trump, tetapi gerakan berbahaya dan berbasis sosial," paparnya. Trumpisme tumbuh didukung konstruksi politik dan budaya baru yang berakar pada rasionalistas kapitalis, ketimpangan yang terus tumbuh, dan komitmen terhadap nasionalisme kulit putih. "Semua kekuatan itu memiliki akar sejarah di AS yang dalam," ujarnya.

Dalam pandangan Giroux, Trumpisme menghasilkan tsunami pada politik, ekonomi dan sosial yang masin repressif. Trumpisme hanya mentgutamakan ketidakpercayaan dan ketakutan yang memecah belah persatuan AS dan mendegrasi nilai demokrasi. Hasil akhir Trumpisme, menurut Giroux adalah, krisis budaya dalam skala luas selain krisis ekonomi dan politik. "Trumpisme akan melanjutkan upaya untuk melemahkan kemampuan individu dan institusi untuk berpikir kritis," katanya.

(Baca juga: 20.000 Pasukan Garda Nasional Siap Dikerahkan Saat Pelantikan Biden )

Apa yang harus dilakukan oleh Joe Biden setelah dilantik sebagai Presiden AS? Giroux mengungkapkan, Biden harus kembali mengedukasi publik. "Saatnya AS untuk meraih kembali idealisme utopia seperti keadilan, kebebasan dan kesetaraan," katanya.

Sementara Nouriel Roubini, profesor ekonomi dari Universitas New York, empat tahun setelah kepemimpinan Trump, AS justru seperti republik pisang yang tidak lagi mampu mengontrol pandemi korona dan memicu kerusuhan karena ingin menjadi diktator. Kesan AS sebagai negara demokratis, penegakan hukum dan tata kelola pemerintahan yang baik pun sinar. "Semua pemimpin di seluruh dunia kini terhadap kepada AS," katanya dilansir Channel News Asia.

Berharap pada Biden untuk memperbaiki kerusakan akibat Trumpisme memang menjadi solusi terbaik. Namun, Roubini memandang membalikkan keadalan akibat kepemimpinan Trump tidaklah muda. "Kebanyakan pendukung Republik akan melakukan sabotasi terhadap pemerintahan baru Biden, seperti mereka lakukan kepada mantan Presiden Barack Obama," katanya.

Dijegal Senat
Setelah sukses proses pemungutan suara pemakzulan di DPR, langkah pemakzulan akan menuju ke Senat, yang akan menjalankan persidangan untuk menentukan kesalahan presiden. Mayoritas suara sebanyak dua pertiga diperlukan untuk menghukum Trump, yang berarti setidaknya 17 anggota Republik harus memihak Demokrat di majelis tinggi yang berisikan 100 kursi-terbagi rata antara kedua partai.

Apaka pemakzulan di Senat akan sukses? Harian The New York Times melaporkan, sebanyak 20 anggota Senat dari Partai Republik berpandangan terbuka untuk memakzulkan Trump. Jika Trump dinyatakan bersalah oleh Senat, anggota kongres dapat mengadakan pemungutan suara lagi untuk memblokirnya agar tidak mencalonkan diri lagi.

Sebelumnya, Trump telah mengisyaratkan rencana untuk mencalonkan diri lagi pada tahun 2024. Tetapi persidangan tidak akan dimulai dalam sisa satu pekan terakhir Trump menjabat.

Apalagi, pemimpin Senat Republik Mitch McConnell mengatakan tidak ada peluang untuk menggelar pemungutan suara sebelum pelantikan Biden. “Mengingat aturan, prosedur, dan preseden Senat yang mengatur persidangan pemakzulan presiden, tidak ada peluang bahwa persidangan yang adil atau serius dapat diselesaikan sebelum Presiden terpilih Biden dilantik pekan depan,” katanya.

Persatuan AS menjadi pilihan utama bagi Partai Republik. Dia mengungkapkan, akan lebih baik melayani kepentingan bangsa jika Kongres berfokus pada transisi kekuasaan yang aman dan tertib untuk pemerintahan Biden yang akan datang. McConnell juga mengatakan dalam sebuah catatan kepada rekan-rekannya bahwa dia belum membuat keputusan akhir tentang pilihannya.

Tidak ada presiden AS yang pernah dicopot dari jabatannya melalui pemakzulan. Trump dimakzulkan oleh DPR pada 2019 tetapi dibebaskan oleh Senat. Begitu pula Bill Clinton pada tahun 1998 dan Andrew Johnson pada tahun 1868.

Sebelumnya, DPR AS memakzulkan Presiden Donald Trump atas "hasutan pemberontakan" dalam kerusuhan di Gedung Capitol pekan lalu. Sepuluh anggota Partai Republik memihak Demokrat untuk memakzulkan presiden dengan jumlah hitungan suara 232-197. DPR, yang kini dikendalikan Demokrat, melaksanakan pemungutan suara pada hari Rabu (13/1) menyusul perdebatan sengit yang berlangsung selama beberapa jam.

Sidang tersebut mendapatkan pengawalan ketat. Pasukan Garda Nasional bersenjata berjaga-jaga di dalam dan di luar Capitol. Biro Investigasi Federal, FBI, telah memperingatkan kemungkinan adanya unjuk rasa bersenjata yang direncanakan di Washington DC dan semua 50 ibu kota negara bagian AS menjelang pelantikan Biden pekan depan.

Tuduhan pemakzulan bersifat politis, bukan pidana. Presiden dituduh oleh Kongres menghasut penyerbuan Capitol dengan pidatonya pada 6 Januari di Washington. Trump mendesak para pendukungnya untuk membuat suara mereka didengar "secara damai dan patriotik" , tetapi juga untuk "berjuang sekuat tenaga" melawan pemilihan telah dicuri-klaim yang tidak tepat. Menyusul pernyataan Trump, para pendukungnya menyerbu Capitol, memaksa anggota parlemen untuk menangguhkan pengesahan hasil pemilu.

Dalam pasal pemakzulan itu disebutkan, Trump mengulangi klaim ini dan "dengan sengaja membuat pernyataan kepada orang banyak yang mendorong dan diperkirakan mengakibatkan tindakan-tindakan tidak sesuai hukum di Capitol", yang berujung pada kekerasan dan hilangnya nyawa. "Presiden Trump sangat membahayakan keamanan Amerika Serikat dan lembaga-lembaga pemerintahannya, mengancam integritas sistem demokrasi, mengganggu transisi kekuasaan secara damai, dan membahayakan cabang pemerintahan yang setara,” demikian bunyi pasal pemakzulan Trump.

(Baca juga: Pelosi Sebut Biden Presiden Terpilih AS dengan Mandat Luar Biasa )

Ketua DPR AS Nancy Pelosi , yang berasa dari Demokrat, mengatakan kepada DPR bahwa Presiden AS menghasut pemberontakan ini, pemberontakan bersenjata melawan negara kita bersama. "Dia harus lengser. Dia adalah bahaya yang nyata dan jelas bagi bangsa yang kita cintai ini,” katanya.

Sebagian besar Partai Republik tidak berusaha untuk membela retorika Trump, sebaliknya beralasan bahwa telah melampaui peradilan biasa dan menyerukan kepada Demokrat untuk membatalkannya demi persatuan nasional. "Memberhentikan presiden dalam jangka waktu sesingkat itu akan menjadi kesalahan," kata Kevin McCarthy, politikus Partai Republik paling senior di DPR.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1255 seconds (0.1#10.140)