Demokrasi Jadi Tantangan Berat di Hong Kong

Kamis, 07 Januari 2021 - 08:45 WIB
loading...
Demokrasi Jadi Tantangan Berat di Hong Kong
Aktivis pro-demokrasi Lester Shum dibawa pergi oleh petugas polisi setelah lebih dari 50 aktivis Hong Kong ditangkap atas tuduhan pelanggaran undang-undang keamanan di Hong Kong kemarin. Foto/Reuters
A A A
HONG KONG - Tantangan demokrasi di Hong Kong kini semakin sulit. Bayang-bayang ototoritian kini semakin nyata dan di depan mata. Siapa pun yang kritis dan melawan pemerintah dengan dalih pelanggaran undang-undang akan dijebloskan ke dalam penjara.

Polisi Hong Kong menangkap puluhan aktivis pro-demokrasi atas tuduhan pelanggaran undang-undang keamanan yang kontroversial. Itu menjadi penangkapan terbesar terhadap kubu oposisi sejak Beijing memberlakukan undang-undang tersebut pada tahun lalu. (Baca: Ukraina Selidiki Praktek Ilegal Vaksinasi Covid-19)

Penangkapan itu terkait aktivitas kelompok pro-demokrasi di Hong Kong yang hendak melaksanakan pemilu pada Juli 2020 untuk memilih kandidat oposisi yang ditundanya pemilu legislatif. Sebagai bagian dari operasi pembungkaman itu, polisi juga menggeledah kantor lembaga jajak pendapat, firma hukum dan kantor media independent seperti Apple Daily, Stand News, dan Inmediahk.

Penangkapan massal itu dibenarkan Partai Demokrat dan sejumlah akun media sosial. Mereka yang ditangkap Sebagian besar adalah aktivis dan politikus. Itu menjadi alarm bagi semua pihak bahwa Hong Kong kini sudah menjadi bagian dari pemerintahan otoriter dan tidak demokratis.

Media lokal Hong Kong menyebutkan sekitar 50 orang yang ditangkap adalah mantan anggota parlemen, aktivis dan orang yang terlibat dalam pemilu pendahuluan 2020, termasuk James To, Lam Cheuk-ting, Benny Tai dan Lester Shum. Pada saat bersamaan, pemerintah lokal Hong Kong dan Beijing sudah memperingatkan pemungutan suara tidak resmi melanggar undang-undang baru. (Baca juga: Pandangan Islam Terhadap Syiah dan Ahmadiyah)

Namun kelompok oposisi melihat pemilu pendahuluan itu sebagai kampanye untuk memenangkan suara mayoritas pada parlemen Hong Kong yang terdiri dari 70 kursi. Langkah oposisi tersebut sebagai upaya untuk memblokade proposal pemerintah untuk menekan reformasi demkratis yang semakin subersif. Partai Demokratik mengatakan pemilu pendahukuan menjadi alasan kenapa polisi bergerak represif.

Polisi Hong Kong tidak memberikan komentar resmi. Namun, otoritas Hong Kong mengatakan, penundaan pemilu parlemen yang seharusnya digelar pada September lalu dikarenakan risiko penyebaran virus korona. Tidak jelas juga kandidat oposisi yang akan maju pada pemilu parlemen nanti setelah penangkapan massal tersebut.

Pemerintah Hong Kong berdalih bahwa penangkapan para aktivis tersebut karena adanya pelanggaran UU keamanan baru. “Mereka ingin melumpuhkan dan menggulingkan pemerintahan Hong Kong,” kata Menteri Keamanan Hong Kong John Lee, dilansir Reuters. Dia mengatakan, kelompok oposisi merencanakan kegiatan yang bisa membuat kerusakan di masyarakat. “Otoritas tidak akan menoleransi tindakan subversif tersebut,” paparnya. (Baca juga: Akhirnya, Mendikbud Nadiem Pastikan Formasi CPNS akan tetap Ada)

Ada indikasi kalau otoritas Hong Kong melakukan penangkapan massal terhadap para politikus dan aktivis agar kubu oposisi tidak memiliki kandidat pada pemilu mendatang. Dengan tidak adanya representasi kubu oposisi, maka kubu pro-China yang akan tetap Berjaya di parlemen dan menjadi mayoritas.

“Penangkapan massal itu menunjukkan otoritas China kini mulai memberangus benih demokrasi di Hong Kong,” kata Maya Wang, peneliti senior Human Rights Watch, dilansir Reuters. Dengan tidak ada kelompok oposisi, maka Hong Kong pun akan berstatus sama seperti Beijing. Satu suara, satu rasa dan satu tujuan menjadi identitas yang akan diterapkan Beijing bagi Hong Kong.

Dalam pandangan analis politik Derek Yuen, Hong Kong masih diselimuti polarisasi dan kemarahan populis akibat isu UU keamanan dan intervensi Beijing. Apalagi, tidak ada perubahan kebijakan terhadap Hong Kong dari Beijing. “Beijing berharap bisa mebersihkan parlemen Hong Kong secepatnya,” kata Yuen. (Baca juga: Pakai Setelah Seragam Mirip Polisi, Satpam Merasa Lebih Pede)

Media lokal melaporkan, operasi polisi itu termasuk penggeledaan kantor Hong Kong Public Opinion Research Institute (HKPORI) yang mengorganisir pemilu pendahuluan. Panitia pemilu pendahuluan menghancurkan data lebih dari 600.000 orang setelah penghitungan suara.

“Saat ini, Beijing akan melakukan penangkapan dan intimidasi ketika ada kegiatan yang dianggap mengandung konflik dengan kepentingan rezim,” kata Chung Kim Wah, Wakil CEO HKPORI kepada Cable TV. Bagi HKPORI, menurut dia, pihaknya hanya melakukan kerja operasional dan menawarkan jasa kepada siapa saja yang datang kepadanya.

Stasiun televisi publik RTHK melaporkan seorang pengacara asal Amerika Serikat John Clancey juga ikut ditangkap dalam penggeledahan firma hukum Ho, Tse, Wai & Partners. Clancey merupakan ketua Asian Human Rights Commission dan anggota kelompok pro-demokrasi, Power of Democracy, yang terlibat secara independen dan tidak resmi pada pemilu pendahuluan untuk memiliki kandidat oposisi. Sumber di firma hukum itu menyatakan Clancey merupakan pemegang paspor AS. (Baca juga: Tips Merawat Layar Ponsel Agar Tidak Cepat Rusak)

Polisi Hong Kong juga melakukan penggeledahan di rumah para aktivis.Rumah aktivis Joshua Wong,24,aktivis Hong Kong yang pernah ditangkap tahun lalu karena menggelar demonstrasi anti-pemerintah tahun lalu, juga menjadi target penggeledahan untuk mencari barang bukti. Wong dikenal sebagai aktivis yang kritis dan menjadi politikus yang masuk pada pemilu pendahuluan tidak resmi 2020.

UU keamanan baru Hong Kong merupakan upaya China untuk menegakkan aturan keras mengenai Tindakan subversi,tetorisme dan kolusi dengan kekuatan asing dengan ancaman hukuman penjara. UU tersebut diterapkan, otoritas mengatakan hanya akan menarget sekelompok kecil di bekas koloni Inggris yang berpenduduk 7,5 juta jiwa.

Otoritas di Hong Kong dan Beijing menyebutkan UU menjadi elemen vital untuk mengatasi permasalahan keamanan dan pertahanan seiring dengan Gerakan anti-pemerintah dan anti-China yang mengguncang pusat keuangan global pada 2019. Padahal, dulunya Hong Kong dijanjikan sebagai Kawasan otonomi ketika dikembalikan ke Beijing pada 1997 dengan kesepakatan “satu negara, dua sistem”. (Lihat video: Berkah Pandemi, Ikan Patin Makin Digemari)

Dampak awal pemberlakuan UU tersebut, banyak aktivis pro-demokrasi ditangkap,seperti pengusaha media Jimmy Lai, beberapa anggota parlemen pro-demokrasi didiskualifikasi, aktivis melarikan diri ke pengasingan,dan larangan slogan dan lagu yang bernuansa perlawanan dan demokrasi.

“Pengekangan kebebasan politik dan kebebasan berbicara oleh UU keamanan nasional semakin meningkat,” kata Nathan Law, aktivis pro-demokrasi Hong Kong yang melarikan diri ke Inggris. (Andika H Mustaqim)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1729 seconds (0.1#10.140)