Covid-19 Muncul di Italia Oktober 2019, China Tolak Dicap Biang Keladi

Jum'at, 20 November 2020 - 04:24 WIB
loading...
Covid-19 Muncul di Italia...
Tim medis Indonesia saat melakukan tes usap (swab test) Covid-19 pada seorang perempuan. Foto/SINDOnews.com
A A A
ROMA - Sebuah studi baru menemukan adanya antibodi virus corona baru ( Covid-19 ) pada pasien di Italia pada Oktober 2019. China menggunakan temuan baru ini untuk "membebaskan diri" dari tuduhan negara biang keladi munculnya virus tersebut.

Makalah penelitian oleh Institut Kanker Italia (ICI) menunjukkan bahwa virus itu kemungkinan aktif di Italia sebelum kasussuspect pertama dilaporkan di kota Wuhan di China pada bulan Desember 2019.

Jika datanya benar, studi itu akan mengubah sejarah pandemi dan menimbulkan pertanyaan tentang kapan dan di mana virus itu muncul pertama kali. (Baca: Penasihat Khamenei: Serangan Taktis AS terhadap Iran Akan Jadi Perang Skala Penuh )

Pasien pertama yang dilaporkan di Italia adalah pada 21 Februari dan dari Lombardy, sebuah kota di dekat kota utara Milan.

"Kami telah melihat dan mendengar laporan internasional terus-menerus tentang di mana dan kapan Covid-19 pertama kali muncul," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian, seperti dikutip dari Daily Mirror, Jumat (20/11/2020).

"Ini sekali lagi menunjukkan bahwa asal mula virus adalah masalah ilmiah yang kompleks, dan kerjasama penelitian ilmiah internasional harus dilakukan secara global oleh para ilmuwan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang reservoir hewan dan jalur penularan virus, dengan tujuan untuk waspada terhadap risiko di masa depan dan melindungi keselamatan dan kesehatan orang-orang di semua negara," ujar Zhao.

Dia melanjutkan bahwa menelusuri asal usul Covid-19 memerlukan proses berkelanjutan yang melibatkan banyak negara. (Baca juga: Panik dengan Hasil Pilpres AS, Donald Trump Jr Serukan Perang Total )

“Kami berharap semua negara akan mengambil sikap positif dan memperkuat kerjasama dengan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) untuk memajukan penelusuran asal usul (Covid-19),” katanya.

Makalah penelitian tersebut menjelaskan keberadaan antibodi penawar SARS-CoV-2 dalam darah yang diambil dari pasien sehat di Italia pada Oktober tahun lalu selama uji coba skrining kanker paru-paru.

Tetapi beberapa ilmuwan yang diwawancarai oleh Reuters mengatakan pemeriksaan lebih lanjut diperlukan.

"Hasil ini layak untuk dilaporkan, tetapi sebagian besar harus diambil sebagai sesuatu untuk ditindaklanjuti dengan pengujian lebih lanjut," kata Mark Pagel, profesor di Sekolah Ilmu Biologi di Universitas Reading Inggris.

"Semua pasien dalam penelitian ini tidak menunjukkan gejala meskipun sebagian besar berusia 55-65 tahun dan pernah menjadi perokok. Ini biasanya merupakan kelompok berisiko tinggi untuk Covid-19, jadi membingungkan mengapa semua pasien tidak menunjukkan gejala."

Seorang co-author studi tersebut mengatakan dia dan rekan-rekannya sedang merencanakan penyelidikan lebih lanjut dan meminta para ilmuwan di seluruh dunia untuk berkontribusi.

WHO mengatakan asal usul virus corona SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 tidak diketahui sebelum wabah di Wuhan dilaporkan. Tetapi WHO menyatakan ada kemungkinan yang tidak dapat dikesampingkan bahwa virus itu "diam-diam beredar di tempat lain".

Setidaknya ada 55.573.000 kasus infeksi yang dilaporkan secara global dengan 1.336.000 kematian.

Temuan para peneliti Italia menunjukkan 11,6% dari 959 relawan sehat yang terdaftar dalam uji coba skrining kanker antara September 2019 dan Maret 2020 memiliki tanda-tanda telah terkena virus corona SARS-CoV-2, kebanyakan dari mereka jauh sebelum Februari.

Tes antibodi SARS-CoV-2 lebih lanjut dilakukan oleh Universitas Siena untuk makalah penelitian yang sama, yang berjudul "Deteksi tak terduga dari antibodi SARS-CoV-2 pada periode pra-pandemi di Italia".

Itu menunjukkan bahwa dalam enam kasus, antibodi mampu membunuh SARS-CoV-2. Empat kasus terjadi pada Oktober 2019, yang berarti pasien telah terinfeksi pada September.

"Angka (enam) ini sepenuhnya cocok dengan kesalahan uji dan gangguan statistik. Untuk alasan ini, bagi saya tampaknya bukti yang dibawa untuk mendukung klaim luar biasa seperti itu tidak cukup kuat," kata Enrico Bucci, asisten profesor biologi di Philadelphia's Temple University.

"Banyak basa-basi tentang apa-apa," imbuh Antonella Viola, profesor patologi umum di Universitas Padua, kepada Reuters.

Kedua ilmuwan Italia itu mengatakan tes antibodi dirancang sendiri dan tidak pernah divalidasi oleh peneliti lain dalam tinjauan sejawat.

Sebagian besar skeptisisme ilmuwan berfokus pada apa yang disebut spesifisitas tes antibodi, yang, jika tidak sempurna, mungkin mengungkap keberadaan antibodi terhadap penyakit lain.

"Laporan terbaru lainnya menunjukkan bahwa virus corona musiman dapat menimbulkan antibodi penetralisir," kata Jonathan Stoye, pemimpin kelompok peneliti di Francis Crick Institute.

"Saya pikir kita memerlukan demonstrasi yang benar-benar meyakinkan bahwa sampel-sampel itu mengambil virus Covid-19 dan bahwa antibodi itu sebenarnya tidak dipicu oleh virus lain," kata Andrew Preston, pembaca patogenesis mikroba di Universitas Bath, kepada Reuters.

Preston mengatakan dia terkejut bahwa persyaratan tersebut tidak diperlukan untuk publikasi makalah penelitian.

Direktur ilmiah INT dan co-author studi ini merencanakan investigasi lebih lanjut untuk mempelajari sejarah klinis pasien.

"Kami perlu memahami apakah mereka memiliki gejala penyakit. Ke mana mereka pergi, jika mereka melakukan kontak dengan China," kata Giovanni Apolone kepada Reuters, yang menyerukan kepada rekannya secara global untuk membuka database mereka dan melakukan penelitian retrospektif.
(min)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1066 seconds (0.1#10.140)