Erdogan: Pendudukan Armenia di Nagorno-Karabakh Akan Berakhir

Rabu, 11 November 2020 - 20:20 WIB
loading...
Erdogan: Pendudukan...
Presiden Turki Recep Tayyep Erdogan. Foto/Independent
A A A
ANKARA - Presiden Turki Recep Tayyep Erdogan mengatakan bahwa 28 tahun pemerintahan Armenia atas Nagorno Karabakh telah berakhir. Ia mengatakan hal tersebut menyusul gencatan senjata di wilayah yang disengketakan pada hari Selasa kemarin.

Erdogan membuat komentar tersebut dalam pidatonya di depan parlemen Turki, sehari setelah pasukan penjaga perdamaian Rusia dikirim ke daerah kantong setelah berakhirnya perang enam minggu antara pasukan Armenia dan Azerbaijan.

Pertempuran sengit pecah antara kedua negara pada akhir September di Nagorno Karabakh, dengan Turki memberikan bantuan militer kepada Azerbaijan.

Dalam minggu-minggu berikutnya, pasukan Azerbaijan merebut kembali sebagian besar wilayah itu - termasuk kota Shusha yang berharga - yang telah dikalahkan Armenia dalam perang hampir tiga dekade lalu.

"Sekarang permusuhan antara Yerevan dan Baku telah berhenti, Turki dan Rusia akan bersama-sama memantau gencatan senjata di wilayah tersebut," menurut Erdogan seperti dikutip dari Independent, Rabu (11/11/2020).(Baca juga: Kremlin: Tak Ada Kesepakatan Penempatan Pasukan Turki di Nagorno Karabakh )

Kata-kata presiden Turki tentang akhir "pendudukan" Armenia pada hari Rabuseolah membenarkan ucapan menteri luar negeri Mevlut Cavusoglu pada konferensi pers hari sebelumnya.

Cavusoglu memuji kesepakatan gencatan senjata sebagai kesuksesan dan kemenangan besar bagi Azerbaijan, menambahkan bahwa tanah di bawah pendudukan selama 30 tahun sedang dibebaskan.

Presiden Azerbaijan, Ilham Aliyev, menandai kesempatan itu dengan men-tweet bahwa penandatanganan kesepakatan itu adalah "hari bersejarah".

“Konflik Armenia-Azerbaijan Nagorno-Karabakh sedang diakhiri. Bagi orang-orang kami, hari-hari ini adalah yang paling bahagia. Dan saya juga dengan senang hati menyampaikan kabar menyenangkan ini kepada orang-orang saya,” tambahnya.



Sementara Azerbaijan merayakan gencatan senjata, ribuan orang di Armenia menuntut pengunduran diri perdana menteri mereka Nikol Pashinyan, yang berkuasa pada 2018 dalam pemberontakan rakyat. Beberapa dari mereka, termasuk tokoh oposisi terkemuka, ditangkap.

Aksi protes ini terjadi sehari setelah beberapa pengunjuk rasa Armenia menyerbu parlemen distrik untuk memprotes kesepakatan gencatan senjata.

Awal pekan ini, Pashinyan menulis di Facebook bahwa keputusan untuk menandatangani perjanjian itu "sulit" dan "menyakitkan", tetapi didasarkan pada pertimbangan militer dan nasihat para ahli.

Pada hari Selasa, dia mengakui bahwa akibat konflik tersebut merupakan kegagalan dan bencana besar bagi negaranya.

Meskipun jumlah pasti korban tewas tidak diketahui, Rusia memperkirakan pada bulan Oktober bahwa hampir 5.000 orang tewas akibat pertempuran di Nagorno Karabakh, termasuk hampir 150 warga sipil di kedua sisi.

Sementara Azerbaijan belum merilis angka korban, Armenia mengatakan bahwa lebih dari 1.220 personel militernya telah tewas.

Sebelum pertempuran terakhir, Nagorno Karabakh, yang secara internasional diakui sebagai bagian dari Azerbaijan, sepenuhnya dikuasai oleh etnis Armenia.

Sebagai bagian dari gencatan senjata, Azerbaijan akan mempertahankan wilayah yang dimilikinya, sedangkan Armenia harus menyerahkan kendali atas beberapa daerah lain pada 1 Desember.

Hampir 2.000 prajurit akan dikerahkan ke Nagorno Karabakh untuk operasi penjaga perdamaian, kata kementerian pertahanan Rusia.(Baca juga: Armenia, Azerbaijan, Rusia Sepakat Akhiri Konflik Nagorno-Karabakh )
(ber)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1543 seconds (0.1#10.140)