Hasil Penelitian UNICEF, Mental Anak di Negara Maju Rapuh
loading...
A
A
A
NEW YORK - Kondisi lingkungan, ekonomi, dan sosial yang bagus ternyata tidak menjamin kesehatan mental anak. Faktanya banyak anak di negara maju yang mengalami depresi. Banyak dari mereka memiliki tingkat kebahagiaan rendah dan perlu mendapatkan perhatian khusus.
Fakta itu didasarkan atas hasil penelitian Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) di negara anggota Uni Eropa (UE) dan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Mereka menemukan anak-anak di negara maju rentan mengalami stres. (Baca: Megawati Mengaku Masih Ada yang Memanas-manasi untuk Maju Pilpres)
“Anak-anak yang memiliki kesehatan mental positif akan memiliki perasaan dan pikiran positif. Hal itu merupakan aspek utama yang perlu diperhatikan agar mereka memiliki kualitas hidup terbaik,” ungkap UNICEF dalam laporannya World of Influence: Understanding What Shapes Child Well-being in Rich Countries.
Menurut mereka, hanya 12 dari 41 negara maju yang memiliki lingkungan bagus. Sebesar 75% anak-anak berusia 15 tahun di negara tersebut mengaku puas, sedangkan kebanyakan anak-anak di 29 negara mengaku mengalami depresi.
Sejauh ini tidak ada data lengkap yang dapat digunakan untuk melakukan komparasi dalam menentukan kesehatan mental anak-anak di negara maju. Namun, menurut UNICEF, angka bunuh diri anak-anak berusia 15–19 tahun di negara maju masih tinggi dan itu membuktikan kesehatan mental mereka rawan.
Selain itu kesehatan fisik anak-anak di negara maju memprihatinkan. Sebanyak 1 dari 15 bayi di negara maju terlahir dengan berat badan buruk. Adapun di 10 negara maju, 1 dari 3 anak-anak berusia 5–19 tahun mengalami obesitas. Angka anak-anak obesitas diperkirakan naik dari 158 juta menjadi 250 juta pada 2030.
“Kondisi ini diperburuk dengan rendahnya kemampuan sosial dan akademik dasar,” ungkap UNICEF. “Sebanyak 2 dari 5 anak-anak kurang memiliki keterampilan matematika dan membaca di usia 15 tahun. Sebanyak 1 dari 4 anak-anak di 18 negara maju juga memiliki kepercayaan diri yang buruk dalam sosialisasi.”
Buruknya kesehatan mental anak-anak di negara maju merupakan dampak dari buruknya hubungan anak-anak dengan orang tua. Anak-anak yang dibesarkan di keluarga harmonis memiliki kesehatan mental lebih baik bila dibandingkan dengan mereka yang ditekan, diabaikan, atau dididik melalui sikap yang buruk. (Baca juga: Mulai Hari Ini, Seluruh ASN DKI Hanya Bekerja 5,5 Jam Perhari)
Sebagian besar anak-anak mengaku bermain merupakan aktivitas yang membuat mereka bahagia. Ironisnya anak-anak yang stres akibat ketidakharmonisan keluarga dan bullying tidak dapat menikmati fasilitas bermain di lingkungan sekitar. Mereka lebih senang bermain gawai dan melarikan diri ke dunia maya.
Tuntutan hidup anak-anak di negara maju juga tinggi. Sayangnya tidak semua anak di negara maju terlahir dari keluarga kaya-raya, sedangkan tekanan terhadap mereka untuk dapat sukses sangatlah tinggi. “Sebanyak 1 dari 5 anak-anak di negara maju sebenarnya hidup dalam kemiskinan,” ungkap UNICEF.
Penderitaan yang dialami anak-anak tidak terlepas dari sistem kerja yang mengikat orang tua. Sebagian besar orang tua di negara maju yang menjadi karyawan tidak memiliki waktu dan tenaga untuk memerhatikan anak mereka. Bahkan mereka sendiri mengaku mengalami stres akibat pekerjaan yang menumpuk. (Baca juga: Pentagon: China Lirik Indonesia untuk Menjadi Pangkalan Militernya)
“Kami mengimbau negara maju untuk memperhatikan anak-anak karena mereka merupakan generasi penerus bangsa. Pendekatannya dapat melalui konsultasi anak, kebijakan ramah anak, mengurangi kesenjangan, meningkatkan akses, dan mengimplementasikan kebijakan ramah keluarga di tempat kerja.”
Berdasarkan laporan Mental Health Network, masyarakat di negara maju pada umumnya mengalami krisis kesehatan mental. Sebanyak 19% orang dewasa di Inggris saja didiagnosis mengalami depresi per tahun, sedangkan 1 dari 4 orang dewasa hampir per bulan. Penyakit itu diyakini menular kepada anak-anak.
Meski tidak memiliki bukti, sebagian orang menganggap penyakit mental dan depresi merupakan permasalahan kelas menengah ke bawah. Namun, kenyataannya, krisis kesehatan mental dapat menyerang siapa saja tanpa melihat kelompok sosial. Bahkan setiap orang memiliki permasalahan sendiri. (Lihat videonya: Gadis Cantik Berprofesi Sebagai Operator Alat Berat)
Sesuai dengan laporan UNICEF, anak-anak Jepang mengalami krisis kesehatan mental terburuk kedua setelah Selandia Baru di antara 38 negara maju lain menyusul tingginya angka bunuh diri dan rendahnya tingkat kebahagiaan. Selain itu angka bullying dan ketidakharmonisan di dalam keluarga juga sangat tinggi. (Muh Shamil)
Fakta itu didasarkan atas hasil penelitian Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) di negara anggota Uni Eropa (UE) dan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Mereka menemukan anak-anak di negara maju rentan mengalami stres. (Baca: Megawati Mengaku Masih Ada yang Memanas-manasi untuk Maju Pilpres)
“Anak-anak yang memiliki kesehatan mental positif akan memiliki perasaan dan pikiran positif. Hal itu merupakan aspek utama yang perlu diperhatikan agar mereka memiliki kualitas hidup terbaik,” ungkap UNICEF dalam laporannya World of Influence: Understanding What Shapes Child Well-being in Rich Countries.
Menurut mereka, hanya 12 dari 41 negara maju yang memiliki lingkungan bagus. Sebesar 75% anak-anak berusia 15 tahun di negara tersebut mengaku puas, sedangkan kebanyakan anak-anak di 29 negara mengaku mengalami depresi.
Sejauh ini tidak ada data lengkap yang dapat digunakan untuk melakukan komparasi dalam menentukan kesehatan mental anak-anak di negara maju. Namun, menurut UNICEF, angka bunuh diri anak-anak berusia 15–19 tahun di negara maju masih tinggi dan itu membuktikan kesehatan mental mereka rawan.
Selain itu kesehatan fisik anak-anak di negara maju memprihatinkan. Sebanyak 1 dari 15 bayi di negara maju terlahir dengan berat badan buruk. Adapun di 10 negara maju, 1 dari 3 anak-anak berusia 5–19 tahun mengalami obesitas. Angka anak-anak obesitas diperkirakan naik dari 158 juta menjadi 250 juta pada 2030.
“Kondisi ini diperburuk dengan rendahnya kemampuan sosial dan akademik dasar,” ungkap UNICEF. “Sebanyak 2 dari 5 anak-anak kurang memiliki keterampilan matematika dan membaca di usia 15 tahun. Sebanyak 1 dari 4 anak-anak di 18 negara maju juga memiliki kepercayaan diri yang buruk dalam sosialisasi.”
Buruknya kesehatan mental anak-anak di negara maju merupakan dampak dari buruknya hubungan anak-anak dengan orang tua. Anak-anak yang dibesarkan di keluarga harmonis memiliki kesehatan mental lebih baik bila dibandingkan dengan mereka yang ditekan, diabaikan, atau dididik melalui sikap yang buruk. (Baca juga: Mulai Hari Ini, Seluruh ASN DKI Hanya Bekerja 5,5 Jam Perhari)
Sebagian besar anak-anak mengaku bermain merupakan aktivitas yang membuat mereka bahagia. Ironisnya anak-anak yang stres akibat ketidakharmonisan keluarga dan bullying tidak dapat menikmati fasilitas bermain di lingkungan sekitar. Mereka lebih senang bermain gawai dan melarikan diri ke dunia maya.
Tuntutan hidup anak-anak di negara maju juga tinggi. Sayangnya tidak semua anak di negara maju terlahir dari keluarga kaya-raya, sedangkan tekanan terhadap mereka untuk dapat sukses sangatlah tinggi. “Sebanyak 1 dari 5 anak-anak di negara maju sebenarnya hidup dalam kemiskinan,” ungkap UNICEF.
Penderitaan yang dialami anak-anak tidak terlepas dari sistem kerja yang mengikat orang tua. Sebagian besar orang tua di negara maju yang menjadi karyawan tidak memiliki waktu dan tenaga untuk memerhatikan anak mereka. Bahkan mereka sendiri mengaku mengalami stres akibat pekerjaan yang menumpuk. (Baca juga: Pentagon: China Lirik Indonesia untuk Menjadi Pangkalan Militernya)
“Kami mengimbau negara maju untuk memperhatikan anak-anak karena mereka merupakan generasi penerus bangsa. Pendekatannya dapat melalui konsultasi anak, kebijakan ramah anak, mengurangi kesenjangan, meningkatkan akses, dan mengimplementasikan kebijakan ramah keluarga di tempat kerja.”
Berdasarkan laporan Mental Health Network, masyarakat di negara maju pada umumnya mengalami krisis kesehatan mental. Sebanyak 19% orang dewasa di Inggris saja didiagnosis mengalami depresi per tahun, sedangkan 1 dari 4 orang dewasa hampir per bulan. Penyakit itu diyakini menular kepada anak-anak.
Meski tidak memiliki bukti, sebagian orang menganggap penyakit mental dan depresi merupakan permasalahan kelas menengah ke bawah. Namun, kenyataannya, krisis kesehatan mental dapat menyerang siapa saja tanpa melihat kelompok sosial. Bahkan setiap orang memiliki permasalahan sendiri. (Lihat videonya: Gadis Cantik Berprofesi Sebagai Operator Alat Berat)
Sesuai dengan laporan UNICEF, anak-anak Jepang mengalami krisis kesehatan mental terburuk kedua setelah Selandia Baru di antara 38 negara maju lain menyusul tingginya angka bunuh diri dan rendahnya tingkat kebahagiaan. Selain itu angka bullying dan ketidakharmonisan di dalam keluarga juga sangat tinggi. (Muh Shamil)
(ysw)