Kerasnya Saudi pada Israel Mengingatkan pada Raja Faisal yang Gebuk AS dengan Embargo Minyak
loading...
A
A
A
Pada hari Kamis, Benjamin Netanyahu mengatakan dalam sebuah wawancara dengan Channel 14 Israel: "Saudi dapat mendirikan Negara Palestina di Arab Saudi; mereka memiliki banyak tanah di sana."
Suara keras Arab Saudi semakin melebar. Kabinet yang dipimpin Putra Mahkota Mohammed bin Salman blakblakan menyebut Israel “ekstremis” ketika menyuarakan penolakan atas rencana pengusiran rakyat Palestina dari Gaza.
Media-media pemerintah Arab Saudi juga serempak menyuarakan kecaman terhadap Netanyahu, salah satunya bahkan dengan narasi kasar.
Kerajaan Arab Saudi pernah menorehkan sejarah dengan berani mencekik ekonomi AS melalui embargo minyak. Itu dilakukan oleh raja pemberani, Raja Faisal bin Abdulaziz al-Saud, pada tahun 1973. Langkah embargo minyak itu diambil sebagai respons terhadap dukungan AS terhadap Israel selama Perang Yom Kippur atau Perang Oktober.
Perang Yom Kippur dimulai pada 6 Oktober 1973, ketika Mesir dan Suriah melancarkan serangan mendadak terhadap Israel yang pada saat itu sedang merayakan hari libur Yom Kippur.
Konflik tersebut merupakan usaha negara-negara Arab untuk merebut kembali wilayah yang hilang selama Perang Enam Hari pada 1967.
Amerika Serikat, sebagai sekutu utama Israel, memberikan dukungan militer dan politik yang signifikan kepada negara tersebut.
Sebagai reaksi terhadap dukungan AS kepada Israel, Raja Faisal memimpin keputusan untuk melaksanakan embargo minyak. Pada 17 Oktober 1973, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), yang pada waktu itu didominasi oleh negara-negara Arab, memutuskan untuk menurunkan produksi minyak dan menghentikan ekspor minyak ke negara-negara yang dianggap mendukung Israel, termasuk AS.
Menurut Daniel Yergin dalam bukunya The Prize: The Epic Quest for Oil, Money & Power, “Embargo minyak 1973 adalah salah satu momen yang mengubah secara radikal lanskap energi global. Dalam waktu singkat, negara-negara penghasil minyak Arab memanfaatkan posisi mereka untuk memengaruhi kebijakan luar negeri dan ekonomi negara-negara Barat.”
Langkah ini memiliki dampak langsung yang signifikan terhadap ekonomi global. Selama periode embargo, Arab Saudi mengurangi produksi minyak dari 10,5 juta barel per hari menjadi sekitar 5,5 juta barel per hari, dan harga minyak dunia melonjak dari sekitar USD3 per barel menjadi USD12 per barel dalam waktu singkat. Ini menunjukkan peningkatan harga minyak sebesar 300%.
Embargo minyak menyebabkan krisis energi global yang mempengaruhi banyak negara, dengan AS menjadi salah satu yang paling terdampak.
Suara keras Arab Saudi semakin melebar. Kabinet yang dipimpin Putra Mahkota Mohammed bin Salman blakblakan menyebut Israel “ekstremis” ketika menyuarakan penolakan atas rencana pengusiran rakyat Palestina dari Gaza.
Media-media pemerintah Arab Saudi juga serempak menyuarakan kecaman terhadap Netanyahu, salah satunya bahkan dengan narasi kasar.
Raja Faisal dan Embargo Minyak
Kerajaan Arab Saudi pernah menorehkan sejarah dengan berani mencekik ekonomi AS melalui embargo minyak. Itu dilakukan oleh raja pemberani, Raja Faisal bin Abdulaziz al-Saud, pada tahun 1973. Langkah embargo minyak itu diambil sebagai respons terhadap dukungan AS terhadap Israel selama Perang Yom Kippur atau Perang Oktober.
Perang Yom Kippur dimulai pada 6 Oktober 1973, ketika Mesir dan Suriah melancarkan serangan mendadak terhadap Israel yang pada saat itu sedang merayakan hari libur Yom Kippur.
Konflik tersebut merupakan usaha negara-negara Arab untuk merebut kembali wilayah yang hilang selama Perang Enam Hari pada 1967.
Amerika Serikat, sebagai sekutu utama Israel, memberikan dukungan militer dan politik yang signifikan kepada negara tersebut.
Sebagai reaksi terhadap dukungan AS kepada Israel, Raja Faisal memimpin keputusan untuk melaksanakan embargo minyak. Pada 17 Oktober 1973, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), yang pada waktu itu didominasi oleh negara-negara Arab, memutuskan untuk menurunkan produksi minyak dan menghentikan ekspor minyak ke negara-negara yang dianggap mendukung Israel, termasuk AS.
Menurut Daniel Yergin dalam bukunya The Prize: The Epic Quest for Oil, Money & Power, “Embargo minyak 1973 adalah salah satu momen yang mengubah secara radikal lanskap energi global. Dalam waktu singkat, negara-negara penghasil minyak Arab memanfaatkan posisi mereka untuk memengaruhi kebijakan luar negeri dan ekonomi negara-negara Barat.”
Langkah ini memiliki dampak langsung yang signifikan terhadap ekonomi global. Selama periode embargo, Arab Saudi mengurangi produksi minyak dari 10,5 juta barel per hari menjadi sekitar 5,5 juta barel per hari, dan harga minyak dunia melonjak dari sekitar USD3 per barel menjadi USD12 per barel dalam waktu singkat. Ini menunjukkan peningkatan harga minyak sebesar 300%.
Embargo minyak menyebabkan krisis energi global yang mempengaruhi banyak negara, dengan AS menjadi salah satu yang paling terdampak.
Lihat Juga :