Kerasnya Saudi pada Israel Mengingatkan pada Raja Faisal yang Gebuk AS dengan Embargo Minyak
loading...

Para petinggi Arab Saudi mulai bersuara keras pada Israel dan AS yang ingin mengusir rakyat Palestina dari Gaza. Foto/SPA
A
A
A
RIYADH - Selama dua pekan ini, suara-suara keras dari petinggi Kerajaan Arab Saudi muncul untuk melawan kekurangajaran Israel dan rencana Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang ingin mencaplok Gaza.
Reaksi keras mereka mengingatkan dunia pada almarhum Raja Faisal bin Abdulaziz al-Saud, raja yang terkenal anti-Zionis Israel dan pernah menyengsarakan Amerika Serikat dengan melakukan embargo minyak—yang saat itu sebagai respons karena Amerika pro-Israel.
Pada pekan lalu, pangeran senior Kerajaan Arab Saudi, Turki al-Faisal, dengan lantang menentang rencana Trump mengambil alih Jalur Gaza, Palestina.
Dia menyebut rencana itu sebagai bentuk pembersihan etnis. "Apa yang keluar dari Trump tidak dapat dicerna. Saya dengan hormat menolak untuk menambahkan lebih banyak komentar yang tidak sopan terhadap itu, tetapi adalah fantasi untuk berpikir bahwa pembersihan etnis di abad ke-21 dapat dimaafkan oleh komunitas dunia yang tidak menanggapinya," kata Pangeran Turki al-Faisal kepada CNN.
Pangeran tersebut tak lain adalah putra almarhum Raja Faisal yang terkenal berani mengobarkan perlawanan pada Israel dan AS.
Selama konferensi pers pada Selasa malam pekan lalu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Trump mengatakan Gaza adalah lokasi pembongkaran dan warga Palestina yang tinggal di sana harus dikirim ke berbagai negara agar dapat menjalani kehidupan yang lebih baik. Dia juga mengisyaratkan bahwa pasukan AS dapat dikerahkan jika diperlukan.
Netanyahu dan pemerintahannya menyambut baik rencana Trump, yang dengan cepat dikutuk oleh masyarakat internasional, termasuk Arab Saudi dan seluruh dunia Arab. Pangeran Turki al-Faisal, yang sebelumnya juga merupakan duta besar Arab Saudi untuk AS, mengatakan masalah di Palestina bukanlah warga Palestina.
"Ini adalah pendudukan Israel, dan ini telah jelas dan dipahami oleh semua orang," katanya.
Sementara AS dan Israel telah menyatakan harapan mereka untuk normalisasi antara Arab Saudi dan Israel, Riyadh telah berulang kali menekankan posisinya: tidak akan ada hubungan seperti itu tanpa negara Palestina yang didasarkan pada perbatasan tahun 1967 dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. AS telah mengadopsi posisi yang sama selama beberapa dekade.
Reaksi keras mereka mengingatkan dunia pada almarhum Raja Faisal bin Abdulaziz al-Saud, raja yang terkenal anti-Zionis Israel dan pernah menyengsarakan Amerika Serikat dengan melakukan embargo minyak—yang saat itu sebagai respons karena Amerika pro-Israel.
Pada pekan lalu, pangeran senior Kerajaan Arab Saudi, Turki al-Faisal, dengan lantang menentang rencana Trump mengambil alih Jalur Gaza, Palestina.
Dia menyebut rencana itu sebagai bentuk pembersihan etnis. "Apa yang keluar dari Trump tidak dapat dicerna. Saya dengan hormat menolak untuk menambahkan lebih banyak komentar yang tidak sopan terhadap itu, tetapi adalah fantasi untuk berpikir bahwa pembersihan etnis di abad ke-21 dapat dimaafkan oleh komunitas dunia yang tidak menanggapinya," kata Pangeran Turki al-Faisal kepada CNN.
Pangeran tersebut tak lain adalah putra almarhum Raja Faisal yang terkenal berani mengobarkan perlawanan pada Israel dan AS.
Selama konferensi pers pada Selasa malam pekan lalu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Trump mengatakan Gaza adalah lokasi pembongkaran dan warga Palestina yang tinggal di sana harus dikirim ke berbagai negara agar dapat menjalani kehidupan yang lebih baik. Dia juga mengisyaratkan bahwa pasukan AS dapat dikerahkan jika diperlukan.
Netanyahu dan pemerintahannya menyambut baik rencana Trump, yang dengan cepat dikutuk oleh masyarakat internasional, termasuk Arab Saudi dan seluruh dunia Arab. Pangeran Turki al-Faisal, yang sebelumnya juga merupakan duta besar Arab Saudi untuk AS, mengatakan masalah di Palestina bukanlah warga Palestina.
"Ini adalah pendudukan Israel, dan ini telah jelas dan dipahami oleh semua orang," katanya.
Sementara AS dan Israel telah menyatakan harapan mereka untuk normalisasi antara Arab Saudi dan Israel, Riyadh telah berulang kali menekankan posisinya: tidak akan ada hubungan seperti itu tanpa negara Palestina yang didasarkan pada perbatasan tahun 1967 dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. AS telah mengadopsi posisi yang sama selama beberapa dekade.
Lihat Juga :