Demo Antimasker Marak di Eropa

Senin, 31 Agustus 2020 - 06:42 WIB
loading...
Demo Antimasker Marak di Eropa
Ilustrasi, demonstrasi. Foto: dok/Reuters
A A A
BERLIN - Gerakan perlawanan terhadap kebijakan pencegahan penyebaran pandemi corona (Covid-19) semakin intensif melanda kawasan Eropa, dari Jerman, Prancis hingga Inggris. Mereka menentang kebijakan kewajiban menggunakan masker dan menjaga jarak.

Di Paris, Prancis, otoritas keamanan menangkap 200 demonstran yang menggelar aksi memprotes kebijakan menjaga kebersihan. Mereka berteriak, “katakan tidak untuk kediktatoran kesehatan” dan “biarkan anak-anak bernapas”. Banyak demonstran pada aksi itu mengabaikan protokol kesehatan Covid seperti tanpa menjaga jarak dan tak menggunakan masker. (Baca: Malaysia: 32 Persen Infeksi Covid-19 adalah Kasus Impor dari Indonesia)

Aksi serupa juga dilaksanakan ratusan pendemo di Alun-Alun Trafalgar, London, Inggris. Mereka menyebut virus corona sebagai kabar bohong dan menuntut diakhirinya berbagai pembatasan yang mengakibatkan pelemahan ekonomi. Banyak para pengunjuk rasa yang membawa spanduk bertuliskan “Fake News” atau "Masks are Muzzles". Mereka juga menolak program vaksinasi massal Covid-19 .

Aksi demonstrasi bertajuk "Unite for Freedom" meminta akhirnya berbagai kebijakan yang mengekang seperti lockdown, jaga jarak, penggunaan masker, dan sistem pelacakan. Mereka menyebut berbagai kebijakan itu melanggar hak kebebasan masyarakat. (Baca Juga: Pintu Ruko Susah Dibuka, 5 Orang Tewas dalam Kebakaran di Surabaya

Hal sama juga berlangsung di Berlin. Pada Sabtu (25/8/2020), polisi membubarkan aksi massal yang dihadiri 38.000 orang di berbagai penjuru kota. Pembubaran itu karena para demonstran tidak menjaga jarak dan mengenakan masker. Polisi pun menangkap sekitar 300 demonstran. “Sangat disayangkan, kita tidak memiliki opsi lain,” kata Kepolisian Berlin, dilansir Reuters. Mereka menyatakan gagal menjaga kondisi keamanan dan kesehatan para demonstran. (Baca juga: Pertanayakan BLT, Warga Aceh Utara Luka Parah Dibacok Kepala Desa)

Kerusuhan pun terjadi ketika para demonstran melempari botol dan batu kepada para polisi. “Demonstran itu adalah kelompok ekstremis,” kata Menteri Dalam Negeri Jerman, Andreas Geisel. Dia mengatakan, ada juga sekelompok demonstran berjumlah 30.000 yang tetap menjaga jarak.

Polisi memerintahkan sekelompok pengunjuk rasa di dekat Gerbang Brandenburg untuk membubarkan diri karena melanggar aturan keselamatan, kemudian 200 orang ditangkap setelah melempar batu dan botol. Para pengunjuk rasa berdesakan dalam demonstrasi di beberapa tempat, dan duduk berdekatan pada satu titik.

Di antara mereka yang ditangkap adalah penulis masakan dan ahli teori konspirasi Attila Hildmann, yang berorasi kepada orang banyak melalui pengeras suara. Meskipun Jerman sejauh ini belum melihat gelombang kasus yang memengaruhi beberapa bagian Eropa, tingkat infeksinya terus meningkat. Jumlah kasus baru mencapai angka tertinggi sejak April.

Pihak berwenang mengatakan pengunjuk rasa yang berdemo di luar Kedutaan Besar Rusia di Unter den Linden adalah "ekstremis sayap kanan" dan sejumlah tujuh petugas kepolisian terluka. Beberapa pengunjuk rasa kemudian menerobos penjagaan di gedung Reichstag dan dibubarkan oleh polisi menggunakan semprotan merica.

Beberapa pengunjuk rasa kemudian menerobos penjagaan di gedung Reichstag dan dibubarkan oleh polisi menggunakan semprotan merica. Situs berita Jerman, Deutsche Welle, melaporkan bahwa bendera dan kaus bertuliskan slogan mendukung sayap kanan tampak di kerumunan pengunjuk rasa. (Baca juga: Begini Cara Mecegah Kanker Usus)

Demonstrasi di sebelah barat gerbang Victory Column diorganisir oleh gerakan yang berbasis di Stuttgart, Querdenken 711 (atau Lateral Thinking 711). Kelompok ini memiliki lebih dari 16.000 pengikut di Facebook dan sebagian besar berkomunikasi melalui layanan pesan terenkripsi Telegram. Kelompok ini meyakini bahwa peraturan virus korona melanggar hak-hak dasar dan kebebasan yang diabadikan dalam konstitusi Jerman dan mereka menuntut agar aturan-aturan pembatasan ini dicabut.

Kelompok itu sebelumnya mengadakan protes di Berlin pada 1 Agustus yang dijuluki "hari kebebasan". Ribuan orang bergabung, termasuk beberapa dari sayap kanan dan beberapa ahli teori konspirasi yang tidak percaya Covid-19 ada. (Baca juga: Reaksi Panglima TNI Soal Insiden Penyerangan Mapolsek Ciracas)

Demonstrasi juga mendapat dukungan dari Robert F Kennedy Jr. Juru kampanye anti-vaksinasi itu, yang juga putra calon presiden dari Partai Demokrat AS Robert F Kennedy dan keponakan dari Presiden AS John F Kennedy yang tewas terbunuh, berada di demonstrasi di Berlin. Kennedy mengatakan kepada kerumunan di Victory Column bahwa pamannya pernah berbicara di Berlin pada 1963 untuk melawan totalitarianisme dan bahwa "hari ini Berlin kembali menjadi garis depan melawan totalitarianisme", memperingatkan akan pengawasan negara dan kekuatan jaringan telepon 5G.

Peserta demo juga termasuk keluarga dan anak-anak. Beberapa orang mengatakan bahwa mereka hanya menginginkan hak untuk memprotes. Seorang demonstran, Stefan, seorang warga Berlin berusia 43 tahun, mengaku dirinya bukan simpatisan sayap kanan yang ekstrem. “Saya di sini untuk membela kebebasan fundamental kita,” katanya. (Lihat videonya: Polsek Ciaracas Dibakar Gerombolan Orang Tak Dikenal)

Jerman mulai mengurangi jarak fisik pada awal April, tetapi terus melakukan pelacakan infeksi yang meningkat pada Agustus. Pada Kamis (27/8), Kanselir Jerman Angela Merkel dan 16 negara bagian federal memberlakukan denda minimum sebesar Rp865.000 bagi mereka yang tidak mengenakan masker. “Kita harus hidup dengan virus ini dalam jangka waktu lama. (Virus) ini masih serius,” kata Merkel. (Andika H Mustaqim)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1368 seconds (0.1#10.140)