China Diduga Miliki Agenda Tersembunyi dalam Pengentasan Kemiskinan di Tibet

Selasa, 08 Oktober 2024 - 10:55 WIB
loading...
China Diduga Miliki...
China diduga memiliki agenda tersembunyi dalam pengentasan kemiskinan di Tibet. Foto/via Human Rights Watch
A A A
LHASA - Baru-baru ini, otoritas China mengumumkan "kemenangan besar" dalam upaya mereka mengurangi kemiskinan di Tibet.

Namun, penting untuk dicermati lebih jauh mengenai bagaimana kampanye anti-kemiskinan ini dilaksanakan, terutama mengingat beberapa laporan terkini yang mengindikasikan adanya pelatihan kerja paksa di sana, serupa dengan yang diduga telah terjadi di Xinjiang.

Mengutip dari editorial European Times, Selasa (8/10/2024), China telah memperkenalkan program "pelatihan dan pemindahan tenaga kerja" di Tibet sebagai bagian dari strategi pengentasan kemiskinan. Program ini sebagian besarnya ditujukan kepada para pengembara dan petani Tibet.

Menurut sejumlah pejabat China, program pelatihan ini, seperti yang diterapkan di Xinjiang, bertujuan membekali para penggembala dan petani Tibet dengan keterampilan baru seperti memasak dan menambang, sehingga mereka mendapat nafkah yang lebih baik.



Namun, masalahnya terletak pada penerapan kebijakan yang tampaknya bermaksud baik ini, dan potensi konsekuensi negatif jangka panjang yang mungkin ditimbulkannya.

Sekilas, tidak ada yang salah dengan negara yang mengangkat rakyatnya keluar dari kemiskinan—itu adalah sesuatu yang harus diapresiasi.

Namun, ketika ada agenda politik tersembunyi di baliknya, berbagai hal menjadi bermasalah.

Hal itu tampaknya terjadi pada kampanye anti-kemiskinan China di Tibet. Kampanye tersebut sangat dipengaruhi motif politik dan keamanan, seperti pendidikan teologi dan menjaga stabilitas.

Salah satu aspek utama dari program pelatihan tenaga kerja dimulai dengan pendidikan pemikiran. Beijing berpendapat bahwa hal ini diperlukan demi menghilangkan apa yang mereka sebut sebagai "pengaruh negatif agama" dan untuk mengoreksi pemikiran yang terbelakang.

Hal itu melibatkan mengesampingkan budaya spiritual Tibet demi pola pikir yang berpusat pada uang.

China berusaha mendorong pemikiran bahwa warga Tibet cenderung miskin karena budaya mereka yang terbelakang, dan untuk maju secara material, mereka perlu mengadopsi budaya dan sistem China. Misi bergaya kolonial ini sedang dilakukan pasukan kader Partai Komunis China (CCP) dan agen keamanan, termasuk Tentara Pembebasan Rakyat (PLA).

Pembenaran resmi untuk memasukkan militer ke dalam program pelatihan tenaga kerja adalah untuk meningkatkan disiplin dan menanamkan rasa patriotisme di antara penduduk Tibet. Prakarsa ini diawasi oleh garnisun PLA setempat dan Polisi Bersenjata Rakyat.

Keterlibatan badan keamanan menunjukkan bahwa motif politik lebih penting daripada pertimbangan ekonomi atau sosial. Dari sudut pandang Foucauldian, tujuannya adalah untuk menciptakan pekerja yang disiplin dan patuh serta rakyat kolonial yang loyal.

Pendekatan tersebut menggarisbawahi prioritas kontrol politik dan kesesuaian ideologis ketimbang pembangunan ekonomi sejati atau kesejahteraan sosial.

Kamp Relokasi


Aspek lain dari kampanye ini melibatkan relokasi para pengembara dan petani Tibet dari tanah leluhur mereka ke lokasi pemukiman baru, yang diklaim demi memberi mereka kondisi hidup yang lebih baik.



Menurut otoritas China, sekitar 266.000 pengembara dan petani Tibet telah dipindahkan ke 960 daerah relokasi baru. Namun, di luar narasi resmi, orang-orang Tibet yang direlokasi ini dipaksa meninggalkan tidak hanya tanah mereka, tetapi juga mata pencaharian dan cara hidup tradisional mereka.

Selain itu, warga Tibet ini juga didorong beradaptasi dengan sistem yang beroperasi dalam kondisi yang tidak dikenal. Keterampilan bertahan hidup mereka sebagai pengembara atau petani tidak berlaku di pasar yang didominasi norma dan praktik China, termasuk hukum dan bahasa.

Hal itu menciptakan tantangan signifikan bagi para warga Tibet, karena mereka berjuang untuk menavigasi dan berkembang dalam lingkungan yang sangat berbeda dari apa yang mereka ketahui. Kesulitan yang mereka hadapi jauh melampaui sekadar relokasi.

Setelah direlokasi, para warga Tibet ini menjadi sasaran berbagai kelas politik dan tindakan pengawasan. Setiap lokasi memiliki anggota CCP, yang dikenal sebagai tim kerja residensial, yang menyusun catatan tentang orang-orang—termasuk pendapatan, pandangan politik, dan keyakinan agama mereka—untuk menilai kredibilitas politik mereka.

Hal itu disertai dengan pendidikan politik, yang mencakup kebijakan Beijing tentang agama, etnis, anti-separatisme, dan pendidikan rasa syukur. Tim kerja residensial memberikan pendidikan ideologis kepada kelompok besar dan kelompok sasaran yang lebih kecil.

Misalnya, di satu kamp relokasi di distrik Toklongdechen dekat Lhasa, sumber-sumber China melaporkan bahwa tim kerja telah mengadakan 2.213 sesi tentang pendidikan politik umum dan 1.063 sesi anti-separatisme pada tahun 2018. Di samping pendidikan ideologis ini terdapat sistem pengawasan canggih yang dirancang untuk memantau pikiran dan perilaku.

Ketergantungan pada Negara


Struktur relokasi baru bagi para pengembara dan petani Tibet yang terusir dirancang dengan tujuan menyeluruh, yang menampilkan sistem pengawasan komprehensif.

Setelah direlokasi, rumah tangga diorganisasikan ke dalam sistem manajemen jaringan, dengan 10 hingga 15 keluarga per jaringan. Mereka diharuskan saling melapor, berbagi masalah dan pandangan mereka dengan pejabat CCP yang mengawasi segmen jaringan.

Pengawasan lingkungan kolektif ini semakin diperkuat oleh sistem pengawasan berteknologi tinggi, termasuk kamera pengenalan wajah bertenaga kecerdasan buatan (AI).

Sejumlah kamp relokasi China ini lebih mengutamakan kontrol daripada kenyamanan. Kamp-kamp ini lebih bersifat otomatis daripada otonom.

Alih-alih mengatasi kemiskinan, kamp relokasi ini berfokus pada ketidakstabilan politik. Relokasi para pengembara dan petani Tibet dari tanah leluhur mereka bukan hanya tentang pendidikan; tetapi juga tentang menjadikan mereka sebagai warga China.

Pendekatan tersebut jauh dari pemberdayaan. Pendekatan semacam itu membuat mereka lebih rentan terhadap sejumlah kemungkinan, termasuk berbagai bentuk eksploitasi dan perampasan.

Sistem pengawasan memastikan bahwa setiap aspek kehidupan warga Tibet dipantau, sehingga hanya menyisakan sedikit ruang untuk kebebasan pribadi atau otonomi. Sistem manajemen jaringan menciptakan lingkungan yang tidak saling percaya, karena keluarga didorong untuk saling melaporkan.

Hal ini tidak hanya mengganggu cara hidup tradisional warga Tibet, tetapi juga menanamkan rasa takut dan ketergantungan pada negara.

Penekanan pada pelatihan kerja dengan keterampilan rendah semakin meminggirkan mereka, karena mereka dipaksa meninggalkan keterampilan tradisional mereka dan beradaptasi dengan cara hidup baru yang sangat dipengaruhi oleh norma dan praktik China.

Transisi tersebut menantang dan sering kali membuat para warga Tibet tidak siap untuk berkembang di lingkungan baru, sehingga membuat mereka lebih rentan terhadap eksploitasi dan perampasan.
(mas)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1079 seconds (0.1#10.140)