Suriah Ingiin Bangkit dari Keterpurukan Ekonomi

Selasa, 12 November 2019 - 07:50 WIB
Suriah Ingiin Bangkit dari Keterpurukan Ekonomi
Suriah Ingiin Bangkit dari Keterpurukan Ekonomi
A A A
DAMASKUS - Tahun ini, Pameran Internasional Damaskus sukses digelar. Pameran perdagangan yang kembali dihidupkan pada 2017 setelah lima tahun absen karena perang sipil Suriah menjadi simbol kebangkitan Suriah dari keterpurukan ekonomi. Pameran yang digelar awal September lalu dihadiri lebih dari satu juta warga Suriah dan perwakilan bisnis dari 30 negara menghadiri acara bisnis tersebut.

Banyak pengusaha asing dan lokal menandatangani kesepakatan bisnis pada acara tersebut. Namun, Suriah masih terjebak dengan serangkaian sanksi ekonomi dari berbagai negara maju yang membuat para pengusaha tidak bisa bergerak maju. Revitalisasi ekonomi Suriah yang cepat diperkirakan karena banyak kota besar dan sebagian wilayah yang sudah aman dan meredanya konflik.

Hanya saja, itu membutuhkan waktu karena ladang minyak utama Suriah yang dikuasai Amerika Serikat (AS) bersama pasukan Kurdi, sektor pertanian, dan manufaktur tidak beroperasi maksimal. Situasi ekonomi di Aleppo dan Homs juga lebih baik karena industri dan pertanian sudah berjalan dengan normal.

Padahal sebelum jatuh ke perang sipil, Suriah merupakan negara dengan ekonomi yang stabil dengan mengandalkan sektor pelayanan. Sektor ritel dan pariwisata tidak terlalu mendominasi. Selain itu, ekonomi Suriah juga ditopang oleh ekspor minyak bumi.

Bagaimana kondisi ekonomi Suriah saat ini? Ekspor Suriah pada 2018 hanya USD700 juta dan sangat beda pada ekspor pada 2010 sekitar USD12,2 miliar. Saat ini, Pemerintah Suriah sangat tergantung dengan mitra perdagangan ekstrenal dan nilai mata uangnya pun terdevaluasi sangat tajam.

"Investasi SUriah saat ini hanya mengandalkan Rusia dan Iran di sektor perdagangan,"kata Zaki Mehchy dari Chatham House, lembaga think tank asal Inggris. Pakar ekonomi Nabil Sukkar mengungkapkan, meskipun situasi sudah stabil, dia mengaku tidak optimistis mengenai masa depan Suriah.

Selama dua tahun terakhir, pemeirntah telah membuat rencana rekonstruksi untuk 2030, tetapi tak semua territorial di bawah kontrol pemerintah. “Dalam rencana 10 tahun terdapat dua tahapan, meskipun tidak ada detail rencana tersebut,” paparnya. Investor asal China belum total masuk ke Suriah. Mereka masih menahan investasinya di Libanon sambil menunggu kejelasan perekonomian Suriah.

“China juga mengikuti pameran dagang di Damaskus dengan menyewa tenda yang berukuran sangat besar,” kata Sukkar. Dalam pandangan Anthony H Cordesman, peneliti Center for Strategic & Internation Studies (CSIS), menungkapkan Pemerintah Suriah memiliki peringkat yang jelek untuk menciptakan bisnis baru dan buruknya pertumbuhan ekonomi di masa depan.

Peringkat kemudahan bisnis di Suriah versi Bank Dunia hanya pada 179 dari 190 negara. "Perkembangan sektor swasta akan kerapa mengalami kegagalan karena mereka khawatir dengan konflik," katanya. Pandangan optimistis justru datang dari Joulan Abdul Khalek, konsultan dari Bank DUnia. Di tengah sanksi yang masih diberlakukan, Pemerintah Suriah harus mengurangi pengeluaran untuk investasi publik.

"Pemerintah harus mengandalkan bantuan asing langsung atau transfer tunai untuk menghidupkan pengeluaran pemerintah,"ujarnya. Hal itu bisa dicari dengan mengandalkan negara yang menjadi aliansi Suriah. Ekonomi Suriah, menurut Khalek, juga harus mengandalkan ketahanan sektor informal. Itu dikarenakan rakyat Suriah mengandalkan sektor ekonomi tersebut.

Kedepannya, menurut Khalek, bisa meniru konsep pembangunan pasca-perang yang diterapkan Libanon yang pernah mengalami perang sipil selama 15 tahun. Apa kuncinya? Perlunya penguatan struktur sosial dan kelas menengah. "Berbagai pihak yang bertikai harus menyatukan tujuan bersama dan mencari solusi untuk mengabaikan konflik lama demi pembangunan ekonomi di masa depan,"ujarnya.

Pemerintah Suriah terus mencari mitra untuk membantu mereka bangkit dari keterpurukan. Namun, mereka meminta tanpa prasyarat kepada mitra pemerintah asing. Pemerintah Suriah sudah berunding dengan Iran dan Irak untuk meningkatkan keterkaitan energi antara tiga negara melalui jalur perbatasan darat.

"Iran dan Irak menjadi kekuatan utama SUriah untuk membangkut kebangkitan awal perekonomian," ujar Nour Samaha, peneliti TImur Tengah dari Dewan Eropa untuk Kerja Sama Luar Negeri. Khusus pascaperang, posisi Uni Eropa sangta jelas tidak akan berbisnis dengan Presiden Bashar Assad atau pun elemen di bawah pemerintahannya. AS pun demikian karena mereka memiliki kepentingan dan sanksi sektoran yang jelas. "Sanksi masih menjadi belenggu yang mempersulit ruang gerak Suriah," jelasnya.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5756 seconds (0.1#10.140)