Wajah Baru Ethiopia: Addis Ababa Jadi Hutan Gedung Belantara, Macet Mulai Tiru Jakarta
loading...
A
A
A
"Jangan kaget dengan hawanya. Di Addis Ababa ini memang udaranya seperti ini sepanjang tahun. Sulit berkeringat. Kita hampir tiap hari harus pakai jas atau jaket," ujar Syarif, salah satu staf KBRI Addis Ababa yang melakukan penjemputan di bandara sekaligus mewanti-wanti anggota delegasi untuk menjaga badan dari paparan suhu yang tak biasa dibanding Jakarta.
Foto/Abdul Hakim
Suhu pagi itu tercatat 14 derajat Celcius. Jalanan kota pun sangat lengang karena bertepatan hari Minggu. Namun kekaguman rombongan kembali muncul karena sejak keluar beberapa ratus meter dari bandara, gedung-gedung tinggi sudah banyak menjulang. Tak sekadar perkantoran, bangunan yang tampak masih baru-baru itu juga berfungsi sebagai apartemen atau toko. Perjalanan dari bandara ke Kantor KBRI di Egypt Street Kawasan Mekanisa pun ditempuh cukup singkat, tak lebih 20 menit.
Addis Ababa kini telah menjadi kota metropolis. Ribuan gedung telah menjejali hampir seluruh penjuru kota yang berkontur perbukitan ini. Kepadatan paling mencolok terlihat di kawasan bisnis Bole dan Central Bussiness District di Churchill Avenue. Gedung tak sebatas berupa kotak-kotak, namun sudah berarsitektur unik layaknya di Shanghai atau Dubai. Termasuk bagian tengah Gedung Markas Uni Afrika yang dibangun atas fasilitasi pemerintah China, berbentuk bulat tampak eksotis. Selain China, banyak gedung itu juga menjadi kantor bisnis perusahaan kakap asal Jepang dan Korea. Di Ethiopia, mobil-mobil bermerek Jepang memang sangat mendominasi di jalanan kota, termasuk sebagiannya yang dibuat di pabrik Indonesia.
Banyaknya gedung ini otomatis diikuti dengan kepadatan penghuninya. Jalan-jalan utama sangat padat dengan kendaraan. Bahkan pemandangan kemacetan layaknya di Jakarta terlihat di beberapa titik seperti dekat Monumen Tligachin. Kendati tidak separah Jakarta, namun tren kemacetan yang terus meningkat ini bisa mengindikasikan pertumbuhan ekonomi yang meningkat di kota.
Kamis (8/8/2024) siang, kemacetan parah juga melanda kota ini. Begitu parahnya, rombongan delegasi Indonesia yang menuju ke bandara dibuat deg-degan karena khawatir tertinggal pesawat. Untung, Tesfaye, sopir kepercayaan KBRI, lincah melakukan manuver-manuver dengan mobil vannya di tengah kemacetan. Sesekali mobil hampir menabrak karena tiba-tiba ada penyeberang atau mobil menyerobot tanpa aba-aba.
Macet jalanan pun jelas menjadi tantangan Addis Ababa saat ini. Hebatnya, Ethiopia ternyata selangkah lebih maju dari Indonesia untuk penyediaan moda transportasi mass rapid transit (MRT). Sejak 2017, Ethiopia telah mengoperasikan MRT di Addis Ababa atau dua tahun sebelum Jakarta. Namun MRT di kota ini hanya sebanyak dua gerbong, tak sebanyak di Jakarta. Demikian pula rutenya masih terbilang pendek hanya terkonsentrasi di tengah kota.
Kota seluas 530,14 kilometer persegi ini seolah hanya hidup dari pagi hingga petang. Malam hari, kota yang dalam bahasa Amharik, bahasa resmi Ethiopia bermakna 'Bunga Baru' ini ibarat kota mati. Tak ada mal atau toko buka hingga larut malamnya atau 24 jam layaknya Jakarta. Selain suhu udara yang dingin, keamanan di kota ini masih jadi persoalan.
Addis Ababa tentu bukanlah potret Ethiopia seluruhnya. Namun dibandingkan 40 tahun silam, tepatnya ketika kelaparan sangat parah melanda kawasan Ethiopia utara nan menggegerkan dunia, tepatnya di Tigray dan Wollo, kota berjuluk ibu kotanya Afrika ini telah sangat banyak berubah.
Foto/Abdul Hakim
Suhu pagi itu tercatat 14 derajat Celcius. Jalanan kota pun sangat lengang karena bertepatan hari Minggu. Namun kekaguman rombongan kembali muncul karena sejak keluar beberapa ratus meter dari bandara, gedung-gedung tinggi sudah banyak menjulang. Tak sekadar perkantoran, bangunan yang tampak masih baru-baru itu juga berfungsi sebagai apartemen atau toko. Perjalanan dari bandara ke Kantor KBRI di Egypt Street Kawasan Mekanisa pun ditempuh cukup singkat, tak lebih 20 menit.
Addis Ababa kini telah menjadi kota metropolis. Ribuan gedung telah menjejali hampir seluruh penjuru kota yang berkontur perbukitan ini. Kepadatan paling mencolok terlihat di kawasan bisnis Bole dan Central Bussiness District di Churchill Avenue. Gedung tak sebatas berupa kotak-kotak, namun sudah berarsitektur unik layaknya di Shanghai atau Dubai. Termasuk bagian tengah Gedung Markas Uni Afrika yang dibangun atas fasilitasi pemerintah China, berbentuk bulat tampak eksotis. Selain China, banyak gedung itu juga menjadi kantor bisnis perusahaan kakap asal Jepang dan Korea. Di Ethiopia, mobil-mobil bermerek Jepang memang sangat mendominasi di jalanan kota, termasuk sebagiannya yang dibuat di pabrik Indonesia.
Banyaknya gedung ini otomatis diikuti dengan kepadatan penghuninya. Jalan-jalan utama sangat padat dengan kendaraan. Bahkan pemandangan kemacetan layaknya di Jakarta terlihat di beberapa titik seperti dekat Monumen Tligachin. Kendati tidak separah Jakarta, namun tren kemacetan yang terus meningkat ini bisa mengindikasikan pertumbuhan ekonomi yang meningkat di kota.
Kamis (8/8/2024) siang, kemacetan parah juga melanda kota ini. Begitu parahnya, rombongan delegasi Indonesia yang menuju ke bandara dibuat deg-degan karena khawatir tertinggal pesawat. Untung, Tesfaye, sopir kepercayaan KBRI, lincah melakukan manuver-manuver dengan mobil vannya di tengah kemacetan. Sesekali mobil hampir menabrak karena tiba-tiba ada penyeberang atau mobil menyerobot tanpa aba-aba.
Macet jalanan pun jelas menjadi tantangan Addis Ababa saat ini. Hebatnya, Ethiopia ternyata selangkah lebih maju dari Indonesia untuk penyediaan moda transportasi mass rapid transit (MRT). Sejak 2017, Ethiopia telah mengoperasikan MRT di Addis Ababa atau dua tahun sebelum Jakarta. Namun MRT di kota ini hanya sebanyak dua gerbong, tak sebanyak di Jakarta. Demikian pula rutenya masih terbilang pendek hanya terkonsentrasi di tengah kota.
Kota seluas 530,14 kilometer persegi ini seolah hanya hidup dari pagi hingga petang. Malam hari, kota yang dalam bahasa Amharik, bahasa resmi Ethiopia bermakna 'Bunga Baru' ini ibarat kota mati. Tak ada mal atau toko buka hingga larut malamnya atau 24 jam layaknya Jakarta. Selain suhu udara yang dingin, keamanan di kota ini masih jadi persoalan.
Addis Ababa tentu bukanlah potret Ethiopia seluruhnya. Namun dibandingkan 40 tahun silam, tepatnya ketika kelaparan sangat parah melanda kawasan Ethiopia utara nan menggegerkan dunia, tepatnya di Tigray dan Wollo, kota berjuluk ibu kotanya Afrika ini telah sangat banyak berubah.
Baca Juga