Ketegangan di Laut China Selatan Memanas, Sentimen Anti-China Meningkat di Filipina

Kamis, 04 Juli 2024 - 09:01 WIB
loading...
Ketegangan di Laut China...
Coast Guard China dan Angkatan Laut Filipina bentrok di Second Thomas Shoal, Laut China Selatan. Ini memicu meningkatnya sentimen anti-China di Filipina. Foto/AL Filipina
A A A
MANILA - Ketegangan terkait sengketa wilayah Laut China Selatan antara Beijing dan Manila semakin memanas. Kondisi itu ikut memicu meningkatnya sentimen anti-China di Filipina.

Komunitas etnis China atau Tionghoa yang tinggal di Filipina mulai dilanda ketakutan. Mereka khawatir bisa menjadi sasaran kemarahan masyarakat pribumi, walau kewarganegaraan mereka pun sebenarnya Filipina, bukan China.

Kekhawatiran mereka menjadi semakin kuat, terutama sejak ketegangan perihal sengketa Second Thomas Shoal di Laut China Selatan.

Menurut laporan South China Morning Post (SCMP) dan The Hong Kong Post pada Kamis (4/7/2024), meningkatnya sentimen anti-China juga telah memicu gelombang Sinofobia yang saat ini terlihat menyebar ke komunitas etnis Tionghoa lokal di Filipina.

Filipina adalah rumah bagi 1,2 juta etnis Tionghoa yang sering dikenal sebagai Tsinoy. Dari total populasi etnis Tionghoa di negara Asia Tenggara tersebut, 93 persen di antaranya menelusuri akar mereka ke provinsi Fujian di China.



Kehadiran mereka di Filipina telah ada sejak lebih dari 300 tahun lalu, dan mereka berkontribusi pada masuknya pengaruh China ke dalam budaya arus utama Filipina.

Meski demikian, atmosfer ketegangan antara China dan Filipina saat ini telah memperkuat sentimen negatif di kalangan warga Filipina terhadap etnis Tionghoa yang dipandang tidak loyal secara politik dan asing secara budaya, menurut laporan SCMP yang berbasis di Hong Kong.

Namun, yang sangat mencolok dari etnis Tionghoa di Filipina adalah mereka pekerja keras, sukses secara finansial, dan makmur. Pada tahun 2021, Daftar Orang Terkaya Global—yang disusun grup riset Hurun Report yang berbasis di London—menunjukkan bahwa dari 20 miliarder di Filipina, sembilan di antaranya atau sekitar 45 persen adalah etnis Tionghoa.

Bentrokan di Laut China Selatan


Para etnis Tionghoa ini menempati posisi sentral dalam perdagangan dan pertanian komersial di tingkat provinsi dan lokal Filipina. Mereka juga mendominasi dunia korporat. Mereka telah membantu mendirikan sekolah dan yayasan amal, serta membangun Pecinan tertua di dunia; Binondo, sejak didirikan tahun 1594.

Namun, kesetiaan mereka kepada Filipina dipertanyakan oleh warga pribumi karena masalah etnis Tionghoa mereka, dan sikap cenderung bungkam atas perilaku agresif Beijing terhadap Manila di Second Thomas Shoal, sebuah terumbu karang di Laut China Selatan.

Pada 17 Juni lalu, bentrokan hebat terjadi antara anggota Angkatan Laut Filipina dan Coast Guard China di Second Thomas Shoal, tempat terdamparnya kapal era Perang Dunia II, Sierra Madre.



Dalam bentrokan ini, pasukan Coast Guard China melukai personel Angkatan Laut Filipina dan merusak kapal mereka dengan kapak, parang, serta palu.

Seorang anggota Angkatan Laut Filipina kehilangan ibu jari dalam bentrokan tersebut. Filipina juga menuduh personel Coast Guard China telah menjarah serta merusak peralatan mereka, termasuk senjata api dan perahu karet.

Insiden ini semakin menanamkan sentimen anti-China di kalangan warga pribumi Filipina. Sentimen anti-China ini terlihat di media sosial, yang mengindikasikan semakin lebarnya jurang pemisah antara dua komunitas di Filipina.

Sebuah survei terbaru oleh WRNumero, sebuah perusahaan jajak pendapat independen, terhadap 1.765 warga Filipina di daerah perkotaan dan pedesaan, menemukan tingkat ketidakpercayaan yang tinggi terhadap etnis China dibandingkan anggota komunitas lain.

Menurut survei tersebut, 58,3 persen warga mengatakan mereka tidak percaya kepada etnis Tionghoa, sementara 13,4 persen mengatakan mereka sangat tidak percaya.

Beberapa pengamat mengatakan warga etnis Tionghoa yang telah tinggal di Filipina selama bertahun-tahun khawatir menjadi sasaran kemarahan publik. Faktanya, Manila dan kota-kota lain di Filipina telah menyaksikan aksi protes dan unjuk rasa setiap hari terhadap China atas agresinya di Laut China Selatan.

Terlebih lagi, mengingat ketegangan China dan Filipina belum akan mencair dalam waktu dekat, atmosfer permusuhan warga Filipina terhadap China menyelimuti seantero negeri.

”Persepsi Buruk”


Kondisi itu tercermin dalam peraturan visa baru Filipina bagi warga negara China yang ingin mengunjungi negara Asia Tenggara tersebut.

Beberapa hari lalu, Filipina memberlakukan persyaratan tambahan bagi wisatawan China yang mengajukan visa. Warga negara China yang mengajukan visa kunjungan diminta menyerahkan Sertifikat Catatan Asuransi Sosial China, selain bukti kapasitas finansial dengan sertifikat kerja dan laporan bank.

Peraturan baru ini diterapkan Filipina menyusul ditemukannya aplikasi imigrasi palsu, yang menyebabkan masuknya warga negara China secara ilegal dan melebihi batas waktu tinggal.

Pejabat Filipina mengatakan kebijakan tersebut bertujuan menyingkirkan wisatawan ilegal dari turis resmi. Beberapa warga negara China telah ditemukan terlibat dalam kejahatan terorganisasi seperti perdagangan manusia, prostitusi, penculikan, dan penipuan di Filipina.

Saat ini, Filipina berusaha menunjukkan kepada China bahwa mereka memiliki kendali yang cukup untuk menghadapi intimidasi terkait masalah teritorial di Laut China Selatan.

Namun, dalam tindakan balasan seperti ini, warga biasa dari etnis Tionghoa menjadi pihak paling menderita karena mereka berpotensi menjadi sasaran empuk kemarahan warga atas persepsi buruk yang telah terbangun terhadap mereka.
(mas)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1102 seconds (0.1#10.140)