Oposisi Turki Menang di Istanbul dan Ankara, Ini Reaksi Erdogan
loading...
A
A
A
ISTANBUL - Partai oposisi utama Turki menang dalam pemilu lokal di Istanbul dan Ankara. Kemenangan ini menjadikan bintang politik oposisi muncul sebagai penantang serius Presiden Recep Tayyip Erdogan.
Erdogan, ketika berbicara kepada para pendukungnya di markas besar partainya, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di Ankara, mengakui adanya “titik balik” bagi partainya dan berjanji untuk menghormati hasil pemilu.
Hasil parsial dari seluruh negara berpenduduk 85 juta orang menunjukkan kemajuan besar bagi Partai Rakyat Republik (CHP)—partai oposisi utama—dibandingkan AKP pimpinan Erdogan yang telah mendominasi politik Turki selama lebih dari dua dekade.
Erdogan (70) telah meluncurkan kampanye pribadi secara habis-habisan untuk memenangkan kembali Istanbul, pusat perekonomian di mana dia pernah menjadi wali kota. Namun inflasi yang merajalela dan krisis ekonomi telah memukul kepercayaan terhadap AKP.
Dengan 96 persen kotak suara dihitung, wali kota petahana Istanbul Ekrem Imamoglu dari CHP mengatakan dia telah mengalahkan kandidat dari partainya Erdogan dengan selisih lebih dari satu juta suara.
“Kami telah memenangkan pemilu,” katanya, seperti dikutip AFP, Senin (1/4/2024).
Kerumunan besar memenuhi alun-alun di luar markas besar CHP di kota Istanbul sambil mengibarkan bendera Turki dan menyalakan obor untuk merayakan hasil pemilu lokal tersebut.
Setelah memberikan suaranya, Imamoglu mendapat tepuk tangan dan teriakan “Semuanya akan baik-baik saja”, slogan yang dia gunakan saat pertama kali mengambil alih kekuasan balai kota Istanbul dari AKP pada tahun 2019.
Politisi berusia 52 tahun ini semakin dipandang sebagai saingan terbesar Erdogan menjelang pemilihan presiden berikutnya pada tahun 2028.
Di Ankara, wali kota petahanan Mansur Yavas dari CHP juga mengeklaim kemenangan di depan banyak pendukungnya."Pemilu telah selesai, kami akan terus melayani Ankara," katanya.
“Mereka yang diabaikan telah mengirimkan pesan yang jelas kepada mereka yang memerintah negara ini,” ujarnya.
Yavas memimpin dengan 58,6 persen suara berbanding 33,5 persen untuk lawannya dari AKP, dengan 46,4 persen kotak suara dibuka.
CHP juga unggul di Izmir, kota terbesar ketiga di Turki, dan Antalya di mana para pendukung partai membanjiri jalan-jalan.
Bahkan beberapa kota yang menjadi basis AKP berisiko hilang, seperti yang ditunjukkan oleh hasil pemilu lokal.
“Para pemilih telah memilih untuk mengubah wajah Turki,” kata ketua CHP Ozgur Ozel ketika hasil pemilu lokal diumumkan.
“Mereka ingin membuka pintu menuju iklim politik baru di negara kita.”
Erdogan mengakui kemunduran AKP dalam pemilu lokal ketika berpidato di hadapan para pendukungnya di markas besar partai tersebut.
“Sayangnya, kami belum memperoleh hasil yang kami inginkan,” katanya kepada massa.
“Tentu saja kami akan menghormati keputusan bangsa. Kita hindari bersikap keras kepala, bertindak bertentangan dengan kemauan nasional, dan mempertanyakan kekuatan bangsa,” imbuhnya.
Erdogan telah menjadi presiden sejak 2014 dan memenangkan masa jabatan baru pada Mei tahun lalu.
Dia menyebut Istanbul sebagai “harta” nasional ketika meluncurkan kampanyenya untuk merebut kembali kota tersebut.
Meski dia mendominasi kampanye, peran pribadinya tidak membantu mengatasi kekhawatiran yang meluas terhadap perekonomian negara.
“Semua orang khawatir tentang kehidupan sehari-hari,” kata Guler Kaya, warga Istanbul berusia 43 tahun, saat dia memberikan suaranya.
“Krisis ini menelan kelas menengah. Kami harus mengubah semua kebiasaan kami,” katanya. “Jika Erdogan menang, keadaan akan menjadi lebih buruk lagi”.
Meskipun partai-partai oposisi terpecah menjelang pemilu, para analis meramalkan masa depan politik yang penuh badai bagi AKP dan sekutunya.
Berk Esen, seorang akademisi di Universitas Sabanci, mengatakan bahwa CHP telah mencapai “kekalahan pemilu terbesar dalam karier Erdogan”.
“Meskipun persaingannya tidak seimbang, kandidat pemerintah telah kalah bahkan di kubu konservatif. Ini hasil terbaik CHP sejak pemilu 1977,” kata Esen di akun media sosialnya.
“Siapapun yang memenangkan Istanbul, maka Turki juga akan menang,” Erman Bakirci, seorang jajak pendapat dari Konda Research and Consultancy, mengenang perkataan Erdogan.
Pemilu tersebut diadakan ketika negara tersebut terhuyung-huyung dari tingkat inflasi sebesar 67 persen dan mata uang lira merosot dari 19 per dolar menjadi 32 per dolar dalam satu tahun.
Bentrokan dilaporkan terjadi di wilayah tenggara Turki yang mayoritas penduduknya Kurdi, menyebabkan satu orang tewas dan 12 lainnya luka-luka, kata seorang pejabat setempat kepada AFP.
Partai DEM yang pro-Kurdi mengatakan mereka telah mengidentifikasi kecurangan “di hampir semua provinsi Kurdi”, khususnya melalui kasus-kasus mencurigakan dalam pemungutan suara proksi.
Pengamat dari Perancis tidak diberi akses ke tempat pemungutan suara di wilayah tersebut, menurut asosiasi pengacara MLSA.
Sekitar 61 juta orang berhak memilih wali kota di 81 provinsi di Turki, serta anggota dewan provinsi dan pejabat lokal lainnya.
Erdogan, ketika berbicara kepada para pendukungnya di markas besar partainya, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di Ankara, mengakui adanya “titik balik” bagi partainya dan berjanji untuk menghormati hasil pemilu.
Hasil parsial dari seluruh negara berpenduduk 85 juta orang menunjukkan kemajuan besar bagi Partai Rakyat Republik (CHP)—partai oposisi utama—dibandingkan AKP pimpinan Erdogan yang telah mendominasi politik Turki selama lebih dari dua dekade.
Erdogan (70) telah meluncurkan kampanye pribadi secara habis-habisan untuk memenangkan kembali Istanbul, pusat perekonomian di mana dia pernah menjadi wali kota. Namun inflasi yang merajalela dan krisis ekonomi telah memukul kepercayaan terhadap AKP.
Dengan 96 persen kotak suara dihitung, wali kota petahana Istanbul Ekrem Imamoglu dari CHP mengatakan dia telah mengalahkan kandidat dari partainya Erdogan dengan selisih lebih dari satu juta suara.
“Kami telah memenangkan pemilu,” katanya, seperti dikutip AFP, Senin (1/4/2024).
Kerumunan besar memenuhi alun-alun di luar markas besar CHP di kota Istanbul sambil mengibarkan bendera Turki dan menyalakan obor untuk merayakan hasil pemilu lokal tersebut.
Setelah memberikan suaranya, Imamoglu mendapat tepuk tangan dan teriakan “Semuanya akan baik-baik saja”, slogan yang dia gunakan saat pertama kali mengambil alih kekuasan balai kota Istanbul dari AKP pada tahun 2019.
Politisi berusia 52 tahun ini semakin dipandang sebagai saingan terbesar Erdogan menjelang pemilihan presiden berikutnya pada tahun 2028.
Di Ankara, wali kota petahanan Mansur Yavas dari CHP juga mengeklaim kemenangan di depan banyak pendukungnya."Pemilu telah selesai, kami akan terus melayani Ankara," katanya.
“Mereka yang diabaikan telah mengirimkan pesan yang jelas kepada mereka yang memerintah negara ini,” ujarnya.
Yavas memimpin dengan 58,6 persen suara berbanding 33,5 persen untuk lawannya dari AKP, dengan 46,4 persen kotak suara dibuka.
CHP juga unggul di Izmir, kota terbesar ketiga di Turki, dan Antalya di mana para pendukung partai membanjiri jalan-jalan.
Bahkan beberapa kota yang menjadi basis AKP berisiko hilang, seperti yang ditunjukkan oleh hasil pemilu lokal.
“Para pemilih telah memilih untuk mengubah wajah Turki,” kata ketua CHP Ozgur Ozel ketika hasil pemilu lokal diumumkan.
“Mereka ingin membuka pintu menuju iklim politik baru di negara kita.”
Erdogan mengakui kemunduran AKP dalam pemilu lokal ketika berpidato di hadapan para pendukungnya di markas besar partai tersebut.
“Sayangnya, kami belum memperoleh hasil yang kami inginkan,” katanya kepada massa.
“Tentu saja kami akan menghormati keputusan bangsa. Kita hindari bersikap keras kepala, bertindak bertentangan dengan kemauan nasional, dan mempertanyakan kekuatan bangsa,” imbuhnya.
Erdogan telah menjadi presiden sejak 2014 dan memenangkan masa jabatan baru pada Mei tahun lalu.
Dia menyebut Istanbul sebagai “harta” nasional ketika meluncurkan kampanyenya untuk merebut kembali kota tersebut.
Meski dia mendominasi kampanye, peran pribadinya tidak membantu mengatasi kekhawatiran yang meluas terhadap perekonomian negara.
“Semua orang khawatir tentang kehidupan sehari-hari,” kata Guler Kaya, warga Istanbul berusia 43 tahun, saat dia memberikan suaranya.
“Krisis ini menelan kelas menengah. Kami harus mengubah semua kebiasaan kami,” katanya. “Jika Erdogan menang, keadaan akan menjadi lebih buruk lagi”.
Meskipun partai-partai oposisi terpecah menjelang pemilu, para analis meramalkan masa depan politik yang penuh badai bagi AKP dan sekutunya.
Berk Esen, seorang akademisi di Universitas Sabanci, mengatakan bahwa CHP telah mencapai “kekalahan pemilu terbesar dalam karier Erdogan”.
“Meskipun persaingannya tidak seimbang, kandidat pemerintah telah kalah bahkan di kubu konservatif. Ini hasil terbaik CHP sejak pemilu 1977,” kata Esen di akun media sosialnya.
Kerusuhan di Tenggara
“Siapapun yang memenangkan Istanbul, maka Turki juga akan menang,” Erman Bakirci, seorang jajak pendapat dari Konda Research and Consultancy, mengenang perkataan Erdogan.
Pemilu tersebut diadakan ketika negara tersebut terhuyung-huyung dari tingkat inflasi sebesar 67 persen dan mata uang lira merosot dari 19 per dolar menjadi 32 per dolar dalam satu tahun.
Bentrokan dilaporkan terjadi di wilayah tenggara Turki yang mayoritas penduduknya Kurdi, menyebabkan satu orang tewas dan 12 lainnya luka-luka, kata seorang pejabat setempat kepada AFP.
Partai DEM yang pro-Kurdi mengatakan mereka telah mengidentifikasi kecurangan “di hampir semua provinsi Kurdi”, khususnya melalui kasus-kasus mencurigakan dalam pemungutan suara proksi.
Pengamat dari Perancis tidak diberi akses ke tempat pemungutan suara di wilayah tersebut, menurut asosiasi pengacara MLSA.
Sekitar 61 juta orang berhak memilih wali kota di 81 provinsi di Turki, serta anggota dewan provinsi dan pejabat lokal lainnya.
(mas)