Kerap Menelan Korban Jiwa, Budaya Kerja '996' China Jadi Sorotan
loading...
A
A
A
BEIJING - Sebuah laporan Associated Press (AP) dari Miami tertanggal 15 November 2023 menyebutkan bahwa China memimpin daftar pelaku tindak kekerasan terhadap tenaga kerja, serupa dengan perbudakan, seperti yang terjadi dalam sejumlah kasus di kapal penangkap ikan di seluruh dunia.
Karl Marx mungkin terkejut jika masih hidup saat ini, karena dirinya pernah memimpikan masyarakat komunis di mana para pekerja akan bebas dari eksploitasi.
Laporan AP tersebut, dilakukan oleh organisasi nirlaba Financial Transparency Coalition asal Washington yang melacak aliran uang gelap, telah mendeteksi kondisi kerja paksa berbahaya, terkadang mirip perbudakan, di hampir 500 kapal industri penangkapan ikan di seluruh dunia. Seperempat dari kapal-kapal tersebut, yang diduga melakukan kekerasan terhadap pekerja, mengibarkan bendera Republik Rakyat China (RRC).
Armada perairan jauh China mendominasi penangkapan ikan di laut lepas, kata laporan itu. Perairan jauh merujuk pada wilayah tanpa hukum di luar yurisdiksi negara mana pun.
Kerja paksa di industri makanan laut tidak menarik perhatian publik karena hal ini jarang terlihat, namun ini merupakan "krisis hak asasi manusia yang meluas," kata laporan tersebut.
Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) mengatakan para nelayan menghadapi ancaman kekerasan, jeratan utang, kerja lembur berlebihan, dan kondisi kerja paksa lainnya.
Mengutip Financial Post, Jumat (8/12/2023), laporan tersebut mengidentifikasi dua perusahaan China– ZheJiang Hairong Ocean Fisheries dan Pingtan Marine Enterprises–sebagai pelanggar terburuk dalam hal penyalahgunaan tenaga kerja di kapal penangkap ikan. Kedua perusahaan China tersebut, yang masing-masing memiliki 10 dan tujuh kapal, telah dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
Pada 2022, perusahaan Pingtan diberi sanksi oleh pemerintahan Amerika Serikat di bawah Presiden Joe Biden atas tuduhan penangkapan ikan ilegal dan penyalahgunaan tenaga kerja, dan kemudian sahamnya dihapuskan dari Bursa Efek New York.
Industri makanan laut sampai saat ini lolos dari pengawasan terhadap penyalahgunaan tenaga kerja oleh Satuan Tugas Aksi Keuangan (Financial Action Task Force) yang dibentuk negara-negara demokrasi terkaya G7 karena kurangnya alat untuk mengatur apa yang terjadi ratusan mil jauhnya dari daratan.
Karl Marx mungkin terkejut jika masih hidup saat ini, karena dirinya pernah memimpikan masyarakat komunis di mana para pekerja akan bebas dari eksploitasi.
Laporan AP tersebut, dilakukan oleh organisasi nirlaba Financial Transparency Coalition asal Washington yang melacak aliran uang gelap, telah mendeteksi kondisi kerja paksa berbahaya, terkadang mirip perbudakan, di hampir 500 kapal industri penangkapan ikan di seluruh dunia. Seperempat dari kapal-kapal tersebut, yang diduga melakukan kekerasan terhadap pekerja, mengibarkan bendera Republik Rakyat China (RRC).
Armada perairan jauh China mendominasi penangkapan ikan di laut lepas, kata laporan itu. Perairan jauh merujuk pada wilayah tanpa hukum di luar yurisdiksi negara mana pun.
Kerja paksa di industri makanan laut tidak menarik perhatian publik karena hal ini jarang terlihat, namun ini merupakan "krisis hak asasi manusia yang meluas," kata laporan tersebut.
Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) mengatakan para nelayan menghadapi ancaman kekerasan, jeratan utang, kerja lembur berlebihan, dan kondisi kerja paksa lainnya.
Mengutip Financial Post, Jumat (8/12/2023), laporan tersebut mengidentifikasi dua perusahaan China– ZheJiang Hairong Ocean Fisheries dan Pingtan Marine Enterprises–sebagai pelanggar terburuk dalam hal penyalahgunaan tenaga kerja di kapal penangkap ikan. Kedua perusahaan China tersebut, yang masing-masing memiliki 10 dan tujuh kapal, telah dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
Pada 2022, perusahaan Pingtan diberi sanksi oleh pemerintahan Amerika Serikat di bawah Presiden Joe Biden atas tuduhan penangkapan ikan ilegal dan penyalahgunaan tenaga kerja, dan kemudian sahamnya dihapuskan dari Bursa Efek New York.
Industri makanan laut sampai saat ini lolos dari pengawasan terhadap penyalahgunaan tenaga kerja oleh Satuan Tugas Aksi Keuangan (Financial Action Task Force) yang dibentuk negara-negara demokrasi terkaya G7 karena kurangnya alat untuk mengatur apa yang terjadi ratusan mil jauhnya dari daratan.