Presiden Myanmar Dorong Reformasi Konstitusi untuk Ras Nasional

Jum'at, 05 Januari 2018 - 15:45 WIB
Presiden Myanmar Dorong Reformasi Konstitusi untuk Ras Nasional
Presiden Myanmar Dorong Reformasi Konstitusi untuk Ras Nasional
A A A
YANGON - Presiden Myanmar Htin Kyaw menyerukan reformasi konstitusi dan keadilan untuk semua minoritas yang diakui dalam sistem federal. Meski demikian, dia tidak menyebut perlakuan pada Muslim Rohingya yang saat ini banyak mengungsi ke Bangladesh.

Perubahan konstitusi untuk mengurangi peran politik militer yang dominan menjadi isu paling besar dihadapi Myanmar setelah hampir setengah abad pemerintahan militer. Debat mengenai reformasi konstitusi telah terhenti sejak tewasnya pengacara yang memberi saran pada partai berkuasa dan pemimpin pemerintahan Aung San Suu Kyi tentang isu itu pada Januari tahun lalu.

"Saat kita membangun Republik Federal Demokratis, sesuai hasil dialog politik, kita semua perlu bekerja bersama untuk menciptakan konstitusi yang cocok," kata Presiden Htin Kyaw saat pidato memperingati 70 tahun kemerdekaan Myanmar dari Inggris.

Posisi Htin lebih bersifat seremonial, tapi dia merupakan aliansi dekat Suu Kyi. Htin tidak menjelaskan apa yang dia maksud dengan konstitusi cocok atau menjelaskan mengapa dia menganggap konstitusi 2008 yang disusun militer itu tidak cocok. Konstitusi melarang Suu Kyi menjadi presiden karena melarang calon presiden dengan pasangan atau anak berkewarganegaraan asing. Mendiang suami Suu Kyi merupakan warga negara Inggris. Dua putra mereka juga memiliki kewarganegaraan Inggris.

Konstitusi itu juga memberikan militer seperempat kursi di parlemen dan beberapa posisi di kabinet yang penting, termasuk menteri pertahanan, menteri dalam negeri, dan menteri urusan perbatasan. Militer juga memiliki hak veto atas perubahan konstitusi dan mengontrol masalah keamanan.

Myanmar mulai bangkit dari 49 tahun pemerintahan militer pada 2011. Partai yang dipimpin Suu Kyi menang pada Pemilu 2015 dan membentuk pemerintahan, tapi kekhawatiran muncul bahwa program reformasi terhenti atau bahkan mundur. Ini ditandai dengan berbagai serangan terhadap kebebasan pers, termasuk penahanan beberapa jurnalis pada tahun lalu. Pada 12 Desember lalu, otoritas menahan dua jurnalis Reuters yang meliput tentang operasi militer yang memicu pengungsi Rohingya ke Bangladesh.

Htin Kyaw menyerukan penghormatan pada hak asasi manusia, tapi dia tidak merujuk pada krisis pengungsi Rohingya yang mencapai 655.000 orang. "Kami bekerja untuk kebangkitan negara demokratis berdasarkan prinsip-prinsip kebebasan untuk semua ras etnik nasional, keadilan, kesetaraan, dan hak penentuan nasib sendiri," katanya, dikutip kantor berita Reuters.

Ras nasional merupakan istilah yang digunakan Myanmar untuk menyebut kelompok etnik pribumi. Rohingya yang selama ini tinggal di Rakhine tidak masuk daftar kelompok etnik nasional. Otoritas Myanmar juga menganggap Rohingya sebagai imigran ilegal yang melintas dari Bangladesh.

Krisis Rohingya muncul pada Agustus lalu setelah militan menyerang pos keamanan di Rakhine sehingga militer Myanmar melancarkan operasi brutal yang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dianggap sebagai pembersihan etnik. Myanmar menyangkal tuduhan pembersihan etnik tersebut.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4827 seconds (0.1#10.140)