Pembatasan Ibadah Haji, Perekonomian Masyarakat Arab Saudi Terpukul
loading...
A
A
A
RIYADH - Sajjad Malik memegang kepalanya yang terasa berat. Pemilik perusahaan transportasi umum di dekat Masjidilharam tengah menghadapi problem keuangan perusahaan. Akibatnya tidak ada jamaah haji yang bisa diangkut seperti musim haji sebelumnya, dan tidak ada lagi rombongan jamaah umrah yang bergelombang mendatangi Tanah Suci.
Sajjad dan masyarakat Saudi lainnya sebenarnya bisa memaklumi keputusan pemerintah negara membatalkan ibadah umrah dan membatasi jamaah haji . Namun, mereka tidak menampik dampaknya secara ekonomi besar, sebab beberapa dari mereka menggantungkan penghasilan dari turis asing yang datang melaksanakan haji.
“Kami tidak memiliki pekerjaan, tidak ada pendapatan, tidak ada apa pun. Biasanya kami meraup cukup uang selama haji,’’ ujar Sajjad, dilansir CNN, sambil meratapi buku daftar pelanggannya yang kosong.
Salah satu karyawannya, Samiur Rahman, seorang sopir, juga mengatakan kondisi keuangannya kian mengering. Dia pun mengaku rindu melihat lautan jamaah haji yang memadati jalan raya berbalutkan kain putih. Saat ini jalanan tampak lengang. Hanya burung-burung merpati yang mengisi kekosongan aspal Mekkah. (Baca: Tiba di Mina, Jamah Mulai Laksanakan Ibadah haji)
“Kami kelaparan. Kami kini tidur empat hingga lima orang di satu kamar yang seharusnya diisi dua orang,” ujar Samiur. Sajjad sendiri mengaku tidak sanggup untuk membantu 50 karyawannya. “Saya lalu bertanya apakah mereka mendapatkan bantuan dari pemerintah. Mereka mengatakan tidak.”
Mazen Al-Sudairi, kepala riset lembaga keuangan Al-Rajhi Capital, mengakui keterpurukan tersebut. Dia mengungkapkan, Mekkah dan Madinah akan kehilangan pendapatan sekitar USD9–12 miliar pada musim haji tahun ini. Pemerintah Arab Saudi sudah mencoba membantu pengusaha menengah dan kecil. Namun, proses pemulihannya masih belum optimal.
Bukan hanya masyarakat Saudi yang terdampak. Pebisnis yang selama ini terkait langsung dengan dinamika haji dan umroh juga terdampak. Peternak sapi di Kenya yang sering melakukan impor menuju Arab Saudi juga terdampak. Patrick Kimani dari Asosiasi Produsen Peternakan Kenya mengatakan banyak ternaknya yang tidak terjual, sebab permintaan dari Arab Saudi menurun. Padahal, biasanya mereka mengimpor hingga 5.000 sapi selama haji. (Baca juga: Ternyata Jumlah Jamaah Haji Tak Hanya 1.000 tapi 10.000 Orang)
“Kami sekarang mencoba menjualnya di pasar lokal,” ujar Patrick. “Namun, kami tidak dapat menyangkal merasa cemas. Pasalnya, dengan banyaknya pasokan maka harganya akan turun. Semua sapi yang ditawarkan kepada pemborong akan ‘dibuang’ dan dijual dengan harga rendah supaya penjualannya berlangsung cepat.”
Perusahaan agen haji juga berada di ambang kebangkrutan. Shahzad Tajj, pemilik agen haji dan umrah di Pakistan, mengaku roda bisnisnya tidak berputar. Padahal, tahun lalu Pakistan mengirimkan jamaah haji terbanyak ke Arab Saudi. Akhirnya, Shahzad mau tidak mau merampingkan jumlah karyawannya ke titik minimal.
“Pada dasarnya, bisnis kami nol besar,” ujar Shahzad. “Bahkan, seluruh aktivitas yang berkaitan dengan traveling tidak berjalan, mulai logistik hingga penerbangan. Kami benar-benar tidak siap untuk menghadapi krisis ini. Akhirnya kami terpaksa menjual aset, mobil, dan properti yang kami miliki demi bertahan.”
Sajjad dan masyarakat Saudi lainnya sebenarnya bisa memaklumi keputusan pemerintah negara membatalkan ibadah umrah dan membatasi jamaah haji . Namun, mereka tidak menampik dampaknya secara ekonomi besar, sebab beberapa dari mereka menggantungkan penghasilan dari turis asing yang datang melaksanakan haji.
“Kami tidak memiliki pekerjaan, tidak ada pendapatan, tidak ada apa pun. Biasanya kami meraup cukup uang selama haji,’’ ujar Sajjad, dilansir CNN, sambil meratapi buku daftar pelanggannya yang kosong.
Salah satu karyawannya, Samiur Rahman, seorang sopir, juga mengatakan kondisi keuangannya kian mengering. Dia pun mengaku rindu melihat lautan jamaah haji yang memadati jalan raya berbalutkan kain putih. Saat ini jalanan tampak lengang. Hanya burung-burung merpati yang mengisi kekosongan aspal Mekkah. (Baca: Tiba di Mina, Jamah Mulai Laksanakan Ibadah haji)
“Kami kelaparan. Kami kini tidur empat hingga lima orang di satu kamar yang seharusnya diisi dua orang,” ujar Samiur. Sajjad sendiri mengaku tidak sanggup untuk membantu 50 karyawannya. “Saya lalu bertanya apakah mereka mendapatkan bantuan dari pemerintah. Mereka mengatakan tidak.”
Mazen Al-Sudairi, kepala riset lembaga keuangan Al-Rajhi Capital, mengakui keterpurukan tersebut. Dia mengungkapkan, Mekkah dan Madinah akan kehilangan pendapatan sekitar USD9–12 miliar pada musim haji tahun ini. Pemerintah Arab Saudi sudah mencoba membantu pengusaha menengah dan kecil. Namun, proses pemulihannya masih belum optimal.
Bukan hanya masyarakat Saudi yang terdampak. Pebisnis yang selama ini terkait langsung dengan dinamika haji dan umroh juga terdampak. Peternak sapi di Kenya yang sering melakukan impor menuju Arab Saudi juga terdampak. Patrick Kimani dari Asosiasi Produsen Peternakan Kenya mengatakan banyak ternaknya yang tidak terjual, sebab permintaan dari Arab Saudi menurun. Padahal, biasanya mereka mengimpor hingga 5.000 sapi selama haji. (Baca juga: Ternyata Jumlah Jamaah Haji Tak Hanya 1.000 tapi 10.000 Orang)
“Kami sekarang mencoba menjualnya di pasar lokal,” ujar Patrick. “Namun, kami tidak dapat menyangkal merasa cemas. Pasalnya, dengan banyaknya pasokan maka harganya akan turun. Semua sapi yang ditawarkan kepada pemborong akan ‘dibuang’ dan dijual dengan harga rendah supaya penjualannya berlangsung cepat.”
Perusahaan agen haji juga berada di ambang kebangkrutan. Shahzad Tajj, pemilik agen haji dan umrah di Pakistan, mengaku roda bisnisnya tidak berputar. Padahal, tahun lalu Pakistan mengirimkan jamaah haji terbanyak ke Arab Saudi. Akhirnya, Shahzad mau tidak mau merampingkan jumlah karyawannya ke titik minimal.
“Pada dasarnya, bisnis kami nol besar,” ujar Shahzad. “Bahkan, seluruh aktivitas yang berkaitan dengan traveling tidak berjalan, mulai logistik hingga penerbangan. Kami benar-benar tidak siap untuk menghadapi krisis ini. Akhirnya kami terpaksa menjual aset, mobil, dan properti yang kami miliki demi bertahan.”