Ketegangan Meningkat, AS-China Dikhawatirkan Memasuki Fase Perang Dingin
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Ketegangan meningkat dari hari ke hari antara Amerika Serikat (AS) dan China, yang mengarah ke pembicaraan tentang Perang Dingin yang baru. Para ahli melihat perbedaan historis yang penting, tetapi percaya kedua kekuatan memasuki wilayah berbahaya.
Stephen Walt, seorang profesor urusan internasional di Universitas Harvard, mengatakan dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia itu terlibat dalam kompetisi jangka panjang mengenai visi strategis yang tidak sesuai, termasuk keinginan China untuk mendominasi Asia.
"China melihat Trump sebagai pemimpin yang lemah dan rawan kesalahan dan kemungkinan meyakini tanggapan "bencana" AS terhadap pandemi Covid-19 menghadirkan peluang untuk menekan keunggulannya," katanya, seperti dilansir Japan Today.
(Baca: Otoritas AS Paksa Masuk ke Konjen China di Houston, Beijing Kesal )
"Itu menyerupai 'Perang Dingin' AS-Soviet dalam hal-hal tertentu, tetapi belum sama berbahayanya dengan persaingan sebelumnya. Satu perbedaan utama adalah bahwa kedua negara masih berhubungan erat secara ekonomi, meskipun hubungan itu sekarang berada di bawah tekanan yang cukup besar," sambungnya.
Oriana Skylar Mastro, seorang asisten profesor di Universitas Georgetown dan sarjana penduduk di American Enterprise Institute, mengatakan berbahaya berbicara tentang Perang Dingin dengan China.
"Situasi dengan China tidak seperti Perang Dingin. Di sisi positif, kami memiliki keterlibatan luas. Di sisi negatif, ada kemungkinan nyata perang panas antara kedua belah pihak ke tingkat yang tidak pernah ada dengan Uni Soviet," ungkapnya.
Dia mengatakan bahwa menggunakan lensa Perang Dingin mengarah pada tanggapan yang tidak efektif, termasuk Washington salah memandang Beijing sebagai ancaman ideologis. Mastro mengatakan bahwa China memiliki banyak pilihan untuk meredakan kekhawatiran AS, seperti menarik kembali sistem senjata di Laut Cina Selatan.
"Tapi, Beijing tidak akan melakukan ini karena secara fundamental salah paham terhadap penggerak kebijakan AS. Berpikir AS merespons penurunan kekuatannya sendiri, bahwa tidak peduli bagaimana Beijing bertindak, AS akan menyerang," katanya.
"Jadi, tidak ada dorongan untuk mencoba memodernasi ambisinya dan bagaimana upaya untuk mencapainya. Ini adalah kesalahan dan kegagalan China untuk melakukannya, untuk mencoba meyakinkan AS, dapat membawa kita ke dalam perang," ujarnya.
Stephen Walt, seorang profesor urusan internasional di Universitas Harvard, mengatakan dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia itu terlibat dalam kompetisi jangka panjang mengenai visi strategis yang tidak sesuai, termasuk keinginan China untuk mendominasi Asia.
"China melihat Trump sebagai pemimpin yang lemah dan rawan kesalahan dan kemungkinan meyakini tanggapan "bencana" AS terhadap pandemi Covid-19 menghadirkan peluang untuk menekan keunggulannya," katanya, seperti dilansir Japan Today.
(Baca: Otoritas AS Paksa Masuk ke Konjen China di Houston, Beijing Kesal )
"Itu menyerupai 'Perang Dingin' AS-Soviet dalam hal-hal tertentu, tetapi belum sama berbahayanya dengan persaingan sebelumnya. Satu perbedaan utama adalah bahwa kedua negara masih berhubungan erat secara ekonomi, meskipun hubungan itu sekarang berada di bawah tekanan yang cukup besar," sambungnya.
Oriana Skylar Mastro, seorang asisten profesor di Universitas Georgetown dan sarjana penduduk di American Enterprise Institute, mengatakan berbahaya berbicara tentang Perang Dingin dengan China.
"Situasi dengan China tidak seperti Perang Dingin. Di sisi positif, kami memiliki keterlibatan luas. Di sisi negatif, ada kemungkinan nyata perang panas antara kedua belah pihak ke tingkat yang tidak pernah ada dengan Uni Soviet," ungkapnya.
Dia mengatakan bahwa menggunakan lensa Perang Dingin mengarah pada tanggapan yang tidak efektif, termasuk Washington salah memandang Beijing sebagai ancaman ideologis. Mastro mengatakan bahwa China memiliki banyak pilihan untuk meredakan kekhawatiran AS, seperti menarik kembali sistem senjata di Laut Cina Selatan.
"Tapi, Beijing tidak akan melakukan ini karena secara fundamental salah paham terhadap penggerak kebijakan AS. Berpikir AS merespons penurunan kekuatannya sendiri, bahwa tidak peduli bagaimana Beijing bertindak, AS akan menyerang," katanya.
"Jadi, tidak ada dorongan untuk mencoba memodernasi ambisinya dan bagaimana upaya untuk mencapainya. Ini adalah kesalahan dan kegagalan China untuk melakukannya, untuk mencoba meyakinkan AS, dapat membawa kita ke dalam perang," ujarnya.