Thailand Memanas Jelang Pemilu, Jenderal Narongpan Janji Tak Lakukan Kudeta

Sabtu, 13 Mei 2023 - 00:33 WIB
loading...
Thailand Memanas Jelang...
Panglima Militer Jenderal Narongpan Jitkaewthae janji tak akan melakukan kudeta meski pemerintah pro-militer terancam kalah pemilu. Foto/REUTERS
A A A
BANGKOK - Jenderal tertinggi Thailand Narongpan Jitkaewthae telah berjanji untuk tidak melakukan kudeta . Itu disampaikan ketika sejumlah partai politik (parpol) siap bertarung berebut kekuasaan dalam pemilu yang membuat situasi politik di negara itu memanas.

Pemilu yang akan berlangsung Minggu (14/5/2023) dapat membuat pemerintah yang didukung militer kalah.

Jenderal Narongpan Jitkaewthae, yang menjabat sebagai Panglima Militer, membuat janji tersebut meskipun tentara merebut kekuasaan belasan kali di Thailand dalam satu abad terakhir, dengan yang terbaru terjadi pada 2014.

Pemilu diperkirakan akan memberikan kekalahan telak kepada pemerintah pimpinan mantan panglima militer yang juga pemimpin kudeta; Perdana Menteri Prayut Chan-O-cha. Kondisi ini memicu kekhawatiran bahwa militer mungkin benar-benar berusaha untuk mempertahankan kekuasaan.



Tetapi Jenderal Narongpan mengatakan kepada wartawan pada hari Kamis bahwa tidak akan ada kembalinya kekuasaan militer, dengan mengatakan bahwa kudeta di masa lalu "sangat negatif".

“Seharusnya tidak ada (kudeta) lagi. Bagi saya, kata ini harus dihapus dari kamus,” ujarnya.

Pemilu hari Minggu adalah bentrokan antara oposisi yang dipimpin oleh Pheu Thai—partai yang digawangi oleh putri berusia 36 tahun dari mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra—dan koalisi militer-royalis konservatif yang lebih tua yang diwujudkan oleh Prayut.

Pheu Thai unggul dalam jajak pendapat, tetapi memenangkan sebagian besar kursi di majelis rendah bukanlah jaminan untuk merebut kekuasaan.

Perdana menteri akan dipilih oleh 500 anggota Parlemen terpilih dan 250 anggota senat—yang anggotanya ditunjuk oleh junta Prayut, mendukung partai-partai yang terkait dengan militer.

Pheu Thai mendesak para pendukungnya untuk memberikan kemenangan telak untuk menghentikan militer dari mempertahankan kekuasaan, seperti yang terjadi pada 2019 ketika Prayut menggunakan dukungan senat untuk menjadi perdana menteri yang memimpin koalisi multi-partai yang kompleks.

Ribuan pendukung diperkirakan akan hadir pada kampanye terakhir yang ramai dan penuh warna untuk partai-partai utama.

Ini adalah dorongan besar terakhir dalam pemilu pertama sejak protes pro-demokrasi hampir tiga tahun lalu mengguncang kerajaan dengan seruan yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk reformasi kekuasaan Raja Maha Vajiralongkorn yang sangat kaya.

Saingan oposisi utama Pheu Thai, Move Forward Party, tampaknya telah memanfaatkan sebagian besar energi gerakan protes yang dipimpin kaum muda, yang menyuarakan ketidakpuasan mendalam terhadap sistem politik lama.

Prayut (69) menyebut dirinya sebagai pria dengan pengalaman yang dibutuhkan untuk memimpin negara melalui masa-masa yang penuh gejolak.

Tapi dia telah mengawasi stagnasi ekonomi dan lonjakan besar-besaran dalam penggunaan undang-undang penistaan kerajaan yang kejam.

Lebih dari 200 orang telah dituduh menghina monarki setelah protes tahun 2020.

Kelompok hak asasi manusia (HAM) menuduh pemerintah yang didukung militer Prayut menyalahgunakan undang-undang karena menindak perbedaan pendapat.

Thailand selama dua dekade terakhir telah terkunci dalam siklus protes jalanan, kudeta dan perintah pengadilan untuk membubarkan partai politik.

Hasil pemilu yang tidak jelas atau disengketakan dapat menyebabkan putaran baru demonstrasi dan ketidakstabilan, yang semakin menghambat pemulihan negara yang bergantung pada pariwisata itu dari pandemi Covid-19.

Perselisihan pahit keluarga Shinawatra dengan militer-royalis telah menjadi pusat drama politik Thailand.

Thaksin disingkirkan dalam kudeta tahun 2006, dan saudara perempuannya Yingluck Shinawatra oleh Prayut pada tahun 2014, dan beberapa analis skeptis bahwa militer akan melepaskan cengkeramannya pada kekuasaan sekarang.

“Saya seorang realis. Jadi, saya sangat pesimistis hasil pemilu akan dihormati oleh para elite,” kata Napisa Waitoolkiat, seorang analis politik di Universitas Naresuen, kepada AFP.

“Jika kita melakukan kudeta, saya tidak terkejut...Thailand tidak bisa keluar dari budaya kudeta ini.”
(mas)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1981 seconds (0.1#10.140)