Turki Blak-blakan Ungkap Alasan Tidak Beri Sanksi pada Rusia

Senin, 27 Juni 2022 - 18:57 WIB
Presiden Rusia Vladimir Putin (kanan) berpose saat menyambut Perdana Menteri Turki Tayyip Erdogan di Kremlin, Moskow, Rusia, 18 Juli 2012. Foto/REUTERS/Sergei Karpukhin
ANKARA - Turki tidak mengikuti jejak Barat dalam memberikan sanksi kepada Rusia karena dipandu oleh pertimbangan ekonomi pragmatis dan “kebijakan keseimbangan”.

Pengakuan itu diungkapkan juru bicara presiden Turki Ibrahim Kalin dalam wawancara dengan Haberturk TV.

Kalin mengatakan Ankara sedang mengejar “kebijakan keseimbangan” dalam hubungannya dengan Rusia.



“Karena kami bergantung pada sumber energi asing, kami mengembangkan hubungan dengan Rusia seperti yang kami lakukan dengan Iran,” ujar dia, mencatat bahwa Turki juga menikmati hubungan baik dengan Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat lainnya.



“Kami tidak menjatuhkan sanksi kepada Rusia atas perang Ukraina. Tentu saja, kita harus melindungi kepentingan negara kita,” papar dia.



Menurut pendapat Kalin, “Menjatuhkan sanksi pada Moskow akan lebih merugikan ekonomi Turki daripada Rusia.”

“Kami mengambil sikap yang jelas. Saat ini, orang Barat juga telah menerimanya. Mereka tidak mengatakan apapun tentang posisi Turki karena alasan geopolitik,” ujar Kalin.



Dia juga menekankan bahwa negaranya tidak mendukung kebijakan menjatuhkan sanksi pribadi terhadap pengusaha Rusia.

“Mereka yang disebut miliarder di Barat disebut oligarki ketika datang ke Rusia. Apakah tidak ada pemimpin seperti itu di AS atau Eropa?” tanya Kalin.

Kalin menjelaskan negaranya memandang operasi militer Rusia sebagai “invasi” dan menyatakannya “dengan jelas dan tegas.”

Namun, dia menekankan, “Turki terus berbicara dengan Ukraina dan Rusia karena semakin lama perang, semakin tinggi biayanya.”

“Terus terang, tidak ada negara lain yang berusaha menyatukan kedua belah pihak. Ini akan menjadi contoh bahwa kerja sama dapat dilakukan pada isu-isu tertentu bahkan di lingkungan perang,” tutur Kalin.

Dia menekankan peran yang dimainkan Ankara dalam menegosiasikan solusi untuk masalah-masalah penting global tertentu, seperti pasokan biji-bijian dari wilayah yang dilanda konflik.

“Siapa yang akhirnya akan berbicara dengan Rusia jika semua orang membakar jembatan?” tanya dia.

Kalin mengakui dia tidak dapat memprediksi pada titik mana pasukan militer Rusia akan meninggalkan Ukraina tetapi menekankan, “Perang memiliki efek jangka pendek, menengah dan jangka panjang.”

“Prediksi saya adalah bahwa kita akan sibuk dengan perang dan dampaknya selama 10 tahun ke depan. Perang mungkin berakhir, tetapi dampaknya akan berlanjut dengan cara yang berbeda,” papar Kalin.

Menurutnya, dunia sedang menghadapi perang dingin jenis baru, dengan sentimen anti-Rusia yang kuat di Barat dan “anti-Baratisme” menyebar di Rusia.

“Akan ada reposisi tektonik besar-besaran,” tegas Kalin.

Mengomentari alasan di balik serangan Rusia di Ukraina, juru bicara Turki membantah klaim Barat tentang “irasionalitas” Presiden Rusia Vladimir Putin, dengan mengatakan kadang-kadang Barat lebih suka "mengirasionalisasikan masalah daripada mengkonfrontasinya."

Menurutnya, masalah dalam hubungan antara Rusia dan Barat dimulai pada 1990-an ketika Rusia, dalam menanggapi perubahan tatanan geopolitik global, menawarkan Barat kesempatan membuat “perjanjian keseimbangan baru” yang akan mencerminkan perubahan tersebut.

“Mereka yang ingin menekan negara-negara yang ingin keluar dari bawah mengatakan: ayo jalan konflik,” ungkap dia.

Dia menekankan, “Turki tidak pernah membenarkan invasi Rusia ke Ukraina.”

Meski demikian, Kalin menunjukkan pentingnya untuk tidak mengabaikan hubungan sebab-akibat.

“Kami juga keberatan dengan tatanan yang tidak teratur ini dan tatanan (global) yang tidak adil ini,” ujar dia.

Rusia menyerang Ukraina pada akhir Februari, menyusul kegagalan negara tetangga tersebut mengimplementasikan persyaratan perjanjian Minsk, yang pertama kali ditandatangani pada 2014, dan pengakuan akhirnya Moskow atas republik Donbass di Donetsk dan Lugansk.

Protokol yang ditengahi Jerman dan Prancis dirancang untuk memberikan status khusus kepada daerah-daerah yang memisahkan diri di dalam negara Ukraina.

Kremlin sejak itu menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok militer NATO yang dipimpin AS.

Kiev menegaskan serangan Rusia benar-benar tidak beralasan dan telah membantah klaim bahwa pihaknya berencana untuk merebut kembali kedua republik dengan paksa.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(sya)
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More