Invasi Hari-10: Rusia Kepung dan Bombardir Kota Mariupol Ukraina
Sabtu, 05 Maret 2022 - 12:26 WIB
MARIUPOL - Pasukan Rusia mengepung dan membombardir kota pelabuhan Mariupol ketika invasi ke Ukraina memasuki hari ke-10 pada Sabtu (5/3/2022).
Invasi ini tercatat sebagai serangan terbesar di negara Eropa sejak Perang Dunia II.
Pertempuran telah memaksa lebih dari 1 juta warga Ukraina mengungsi dan memicu kekhawatiran Barat bahwa konflik akan meluas.
Moskow mengatakan serangannya adalah "operasi khusus" untuk menangkap para individu yang dianggapnya sebagai bagian dari kelompok nasionalis berbahaya, dan membantah menargetkan warga sipil.
Wali Kota Mariupol, Vadym Boychenko, mengatakan pasukan Rusia telah mengepung dan menembaki kota pelabuhan tenggara. Menurutnya, itu menjadi pelengkap penderitaan setelah tidak ada air, gas, atau pun listrik dan kota itu kehabisan makanan.
"Kami hanya dihancurkan," keluhnya yang disiarkan televisi, menggambarkan penembakan tanpa pandang bulu di daerah pemukiman dan rumah sakit.
"Mereka ingin memusnahkan penduduk Mariupol dan Mariupol dari muka bumi," katanya lagi, seperti dikutip Reuters.
Pasukan Ukraina mempertahankan garis melawan upaya serangan Rusia di Mariupol, tetapi membutuhkan dukungan yang signifikan. Demikian disampaikan seorang wakil komandan unit militer Azov, bagian dari Garda Nasional Ukraina.
"Ini adalah kota terakhir yang mencegah pembuatan koridor darat dari Rusia ke Crimea," katanya dalam sebuah posting di halaman Telegram resmi Azov, mengidentifikasi dirinya dengan nama panggilan Kalyna. "Mariupol tidak bisa hilang."
Pada hari Kamis, Rusia dan Ukraina menyepakati perlunya koridor kemanusiaan untuk membantu warga sipil melarikan diri dari pertempuran, terobosan nyata pertama dalam pembicaraan. Tetapi hanya sedikit kemajuan yang telah dibuat sejak saat itu dalam implementasinya.
Beberapa penduduk Mariupol telah melarikan diri ke pusat kota untuk menghindari penembakan terberat di pinggiran. Hal itu dipaparkan pengusaha setempat, Ivan Yermolayev (30), yang telah berlindung di ruang bawah tanah kecil rumahnya dan mengantre untuk mendapatkan air di sebuah toko lokal.
"Mereka bersama anak-anak mereka di tengah dan mendengar perang semakin dekat," katanya kepada Reuters melalui pesan online. "Ada tangisan, ketakutan, ketidakpastian, kepanikan."
Invasi ini tercatat sebagai serangan terbesar di negara Eropa sejak Perang Dunia II.
Pertempuran telah memaksa lebih dari 1 juta warga Ukraina mengungsi dan memicu kekhawatiran Barat bahwa konflik akan meluas.
Moskow mengatakan serangannya adalah "operasi khusus" untuk menangkap para individu yang dianggapnya sebagai bagian dari kelompok nasionalis berbahaya, dan membantah menargetkan warga sipil.
Wali Kota Mariupol, Vadym Boychenko, mengatakan pasukan Rusia telah mengepung dan menembaki kota pelabuhan tenggara. Menurutnya, itu menjadi pelengkap penderitaan setelah tidak ada air, gas, atau pun listrik dan kota itu kehabisan makanan.
"Kami hanya dihancurkan," keluhnya yang disiarkan televisi, menggambarkan penembakan tanpa pandang bulu di daerah pemukiman dan rumah sakit.
"Mereka ingin memusnahkan penduduk Mariupol dan Mariupol dari muka bumi," katanya lagi, seperti dikutip Reuters.
Pasukan Ukraina mempertahankan garis melawan upaya serangan Rusia di Mariupol, tetapi membutuhkan dukungan yang signifikan. Demikian disampaikan seorang wakil komandan unit militer Azov, bagian dari Garda Nasional Ukraina.
"Ini adalah kota terakhir yang mencegah pembuatan koridor darat dari Rusia ke Crimea," katanya dalam sebuah posting di halaman Telegram resmi Azov, mengidentifikasi dirinya dengan nama panggilan Kalyna. "Mariupol tidak bisa hilang."
Pada hari Kamis, Rusia dan Ukraina menyepakati perlunya koridor kemanusiaan untuk membantu warga sipil melarikan diri dari pertempuran, terobosan nyata pertama dalam pembicaraan. Tetapi hanya sedikit kemajuan yang telah dibuat sejak saat itu dalam implementasinya.
Beberapa penduduk Mariupol telah melarikan diri ke pusat kota untuk menghindari penembakan terberat di pinggiran. Hal itu dipaparkan pengusaha setempat, Ivan Yermolayev (30), yang telah berlindung di ruang bawah tanah kecil rumahnya dan mengantre untuk mendapatkan air di sebuah toko lokal.
"Mereka bersama anak-anak mereka di tengah dan mendengar perang semakin dekat," katanya kepada Reuters melalui pesan online. "Ada tangisan, ketakutan, ketidakpastian, kepanikan."
(min)
tulis komentar anda