Mali Punya Bukti Pasukan Prancis Latih Militan di Wilayahnya
Sabtu, 09 Oktober 2021 - 07:09 WIB
BAMAKO - Kelompok militan di wilayah Kidal, Mali utara, telah dilatih pasukan Prancis . Tuduhan itu diungkapkan Perdana Menteri (PM) Mali Choguel Kokalla Maiga.
Pernyataan itu muncul dalam wawancara dengan RIA Novosti. Dia mengatakan dua pertiga dari negaranya “diduduki teroris.”
“Mali memiliki bukti bahwa pasukan Prancis yang hadir di wilayahnya dengan misi melawan kelompok teroris telah melatih para militan,” ungkap perdana menteri pemerintah transisi kepada kantor berita Rusia RIA pada Jumat (8/10/2021).
Menurut pejabat Mali, Prancis sekarang mengendalikan satu wilayah di Kidal, dengan Mali tidak memiliki akses ke sana.
“Mereka memiliki kelompok militan di sana, yang telah dilatih perwira Prancis. Kami punya bukti itu. Ada ungkapan dalam bahasa kita, mengatakan bahwa ketika Anda mencari jarum di kamar Anda dan seseorang, mengatakan membantu Anda dalam pencarian, justru berdiri di atas jarum itu, Anda tidak akan pernah menemukannya. Jadi inilah situasi yang terjadi sekarang di Mali, dan kami tidak mau menanggungnya,” papar Maiga.
Politisi itu menjelaskan teroris yang sekarang beroperasi di Mali “berasal dari Libya” dengan Prancis dan sekutunya telah menghancurkan negara Afrika Utara itu dalam intervensi militer 2011 yang dipimpin oleh NATO.
Awalnya, Bamako ingin bekerja sama dengan Paris dalam memerangi teroris dan meminta bantuan data intelijen dan dukungan udara. “Tidak ada yang meminta kehadirannya di darat,” ungkap perdana menteri Mali itu.
“Delapan tahun lalu teroris hanya hadir di bagian utara Mali, di Kidal, sekarang dua pertiga negara diduduki teroris,” papar dia.
Pada 2014, Prancis meluncurkan Operasi Barkhane di wilayah tersebut, setelah bermitra dengan otoritas lokal untuk melawan dan menekan kelompok teroris, termasuk militan yang terkait dengan Al-Qaeda, dan menstabilkan situasi di negara-negara G5 Sahel (Burkina Faso, Mali, Niger, Chad dan Mauritania, semua bekas koloni Prancis).
Awal tahun ini, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan negaranya akan merestrukturisasi kehadiran militernya di wilayah Sahel Afrika, dan menutup pangkalannya di Mali utara, dengan langkah itu akan selesai pada awal 2022.
Berbicara di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada September, Maiga mengatakan Paris membutakan mata dan meninggalkan negaranya dengan keputusan itu.
“Kampanye diplomatik dan media besar-besaran telah diluncurkan terhadap Mali sejak itu,” ungkap perdana menteri itu dalam wawancara terbaru dengan kantor berita Rusia.
“Tetapi Mali hanya menginginkan mitra yang dapat diandalkan, bertindak untuk kepentingan negara,” ujar dia.
Dia menambahkan, “Mali, sebagai negara berdaulat, memiliki hak untuk itu.”
Dalam pertikaian diplomatik antara Bamako dan Paris, Presiden Macron, berbicara kepada media Prancis, telah menyarankan bahwa pemerintahan sementara Mali saat ini bukanlah “bahkan satu pemerintahan.”
Maiga mengklaim bahwa tanpa keterlibatan Prancis, negara itu akan sejak lama dikuasai teroris.
Kementerian Luar Negeri Mali telah memanggil utusan Prancis untuk menyatakan “kemarahan dan ketidaksetujuan” atas pernyataan Macron.
Mali mendesak pihak berwenang Prancis untuk membangun hubungan berdasarkan “saling menghormati” dengan fokus pada perang melawan terorisme.
Pernyataan itu muncul dalam wawancara dengan RIA Novosti. Dia mengatakan dua pertiga dari negaranya “diduduki teroris.”
“Mali memiliki bukti bahwa pasukan Prancis yang hadir di wilayahnya dengan misi melawan kelompok teroris telah melatih para militan,” ungkap perdana menteri pemerintah transisi kepada kantor berita Rusia RIA pada Jumat (8/10/2021).
Menurut pejabat Mali, Prancis sekarang mengendalikan satu wilayah di Kidal, dengan Mali tidak memiliki akses ke sana.
“Mereka memiliki kelompok militan di sana, yang telah dilatih perwira Prancis. Kami punya bukti itu. Ada ungkapan dalam bahasa kita, mengatakan bahwa ketika Anda mencari jarum di kamar Anda dan seseorang, mengatakan membantu Anda dalam pencarian, justru berdiri di atas jarum itu, Anda tidak akan pernah menemukannya. Jadi inilah situasi yang terjadi sekarang di Mali, dan kami tidak mau menanggungnya,” papar Maiga.
Politisi itu menjelaskan teroris yang sekarang beroperasi di Mali “berasal dari Libya” dengan Prancis dan sekutunya telah menghancurkan negara Afrika Utara itu dalam intervensi militer 2011 yang dipimpin oleh NATO.
Awalnya, Bamako ingin bekerja sama dengan Paris dalam memerangi teroris dan meminta bantuan data intelijen dan dukungan udara. “Tidak ada yang meminta kehadirannya di darat,” ungkap perdana menteri Mali itu.
“Delapan tahun lalu teroris hanya hadir di bagian utara Mali, di Kidal, sekarang dua pertiga negara diduduki teroris,” papar dia.
Pada 2014, Prancis meluncurkan Operasi Barkhane di wilayah tersebut, setelah bermitra dengan otoritas lokal untuk melawan dan menekan kelompok teroris, termasuk militan yang terkait dengan Al-Qaeda, dan menstabilkan situasi di negara-negara G5 Sahel (Burkina Faso, Mali, Niger, Chad dan Mauritania, semua bekas koloni Prancis).
Awal tahun ini, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan negaranya akan merestrukturisasi kehadiran militernya di wilayah Sahel Afrika, dan menutup pangkalannya di Mali utara, dengan langkah itu akan selesai pada awal 2022.
Berbicara di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada September, Maiga mengatakan Paris membutakan mata dan meninggalkan negaranya dengan keputusan itu.
“Kampanye diplomatik dan media besar-besaran telah diluncurkan terhadap Mali sejak itu,” ungkap perdana menteri itu dalam wawancara terbaru dengan kantor berita Rusia.
“Tetapi Mali hanya menginginkan mitra yang dapat diandalkan, bertindak untuk kepentingan negara,” ujar dia.
Dia menambahkan, “Mali, sebagai negara berdaulat, memiliki hak untuk itu.”
Dalam pertikaian diplomatik antara Bamako dan Paris, Presiden Macron, berbicara kepada media Prancis, telah menyarankan bahwa pemerintahan sementara Mali saat ini bukanlah “bahkan satu pemerintahan.”
Maiga mengklaim bahwa tanpa keterlibatan Prancis, negara itu akan sejak lama dikuasai teroris.
Kementerian Luar Negeri Mali telah memanggil utusan Prancis untuk menyatakan “kemarahan dan ketidaksetujuan” atas pernyataan Macron.
Mali mendesak pihak berwenang Prancis untuk membangun hubungan berdasarkan “saling menghormati” dengan fokus pada perang melawan terorisme.
(sya)
tulis komentar anda