Pernah Penjarakan Anggota Taliban, Hakim Wanita Afghanistan Diburu
Sabtu, 04 September 2021 - 04:33 WIB
DEN HAAG - Merasa aman di Eropa setelah melarikan diri dari Kabul, seorang hakim wanita Afghanistan menggambarkan bagaimana dia diburu oleh pria yang pernah ia jebloskan ke penjara. Pria itu telah dibebaskan oleh pejuang Taliban yang mengambil alih negara itu.
"Empat atau lima anggota Taliban datang dan bertanya kepada orang-orang di rumah saya: 'Di mana hakim wanita ini?' Ini adalah orang-orang yang saya masukkan ke penjara," katanya dalam sebuah wawancara dari lokasi yang dirahasiakan, meminta untuk tidak disebutkan namanya seperti dikutip dari Reuters, Sabtu (4/9/2021).
Afghanistan memiliki sekitar 250 hakim wanita. Beberapa berhasil melarikan diri dalam beberapa pekan terakhir, tetapi sebagian besar tertinggal dan masih berusaha keluar, kata rekan dan aktivis internasional yang telah membentuk jaringan yang bekerja sepanjang waktu untuk membantu mereka melarikan diri.
Taliban, yang meraih kekuasaan bulan lalu ketika Amerika Serikat (AS) menarik pasukannya, melarang perempuan dari sebagian besar pekerjaan ketika mereka terakhir memerintah negara itu 20 tahun lalu.
Pada konferensi pers tak lama setelah mereka merebut Kabul pada 15 Agustus, seorang juru bicara Taliban mengatakan hak-hak perempuan akan dilindungi sesuai dengan hukum Islam. Mereka juga akan diizinkan untuk bekerja di sektor-sektor penting masyarakat.
Kekuatan Barat mengatakan mereka siap untuk terlibat dengan Taliban tetapi ingin melihat tindakan - bukan hanya janji - untuk melindungi hak asasi manusia.
Perempuan yang bekerja di bidang keadilan telah menjadi target profil tinggi sebelumnya. Dua wanita hakim Mahkamah Agung ditembak mati oleh pria bersenjata tak dikenal pada bulan Januari. Seorang juru bicara Taliban mengatakan pada saat itu bahwa kelompok itu tidak terlibat.
"Sekarang, Taliban telah membebaskan tahanan di seluruh negeri, yang benar-benar membahayakan nyawa hakim perempuan," kata hakim Afghanistan.
Dia telah menghubungi rekan-rekannya di Afghanistan.
"Pesan mereka adalah ketakutan dan teror total. Mereka memberi tahu saya jika mereka tidak diselamatkan, hidup mereka langsung dalam bahaya," ungkapnya.
Dia melarikan diri dengan bantuan sekelompok sukarelawan hak asasi manusia dan rekan asing di International Association of Women Judges (IAWJ).
Selain hakim, ada sekitar seribu perempuan pembela hak asasi manusia lainnya yang juga bisa menjadi sasaran Taliban, kata Horia Mosadiq, seorang aktivis hak asasi manusia Afghanistan.
"Tahanan yang dibebaskan menelepon dengan ancaman pembunuhan kepada hakim wanita, jaksa wanita dan polisi wanita, mengatakan 'kami akan mengejar Anda'," katanya.
Menteri Kehakiman Inggris Robert Buckland mengatakan pekan lalu London telah mengevakuasi sembilan hakim wanita dan bekerja untuk memberikan jalan yang aman bagi lebih banyak orang-orang yang sangat rentan.
"Banyak dari hakim ini bertanggung jawab untuk menjalankan aturan hukum dan memang benar mereka takut akan konsekuensi yang sekarang dapat mereka hadapi dengan munculnya Taliban," ujarnya.
Tetapi beberapa aktivis hak asasi manusia dan hukum yang terlibat dalam upaya untuk menyelamatkan hakim perempuan dan pembela hak asasi manusia mengatakan negara-negara Barat tidak membuat evakuasi mereka menjadi prioritas dalam kekacauan setelah Kabul jatuh.
"Pemerintah (Barat) sama sekali tidak tertarik untuk mengevakuasi orang-orang yang bukan warga negaranya sendiri," kata Sarah Kay, pengacara hak asasi manusia yang berbasis di Belfast dan anggota jaringan pengacara internasional Atlas Women.
Dia bekerja dengan sekelompok veteran sukarelawan online yang dikenal sebagai "Dunkirk digital", dinamai sesuai dengan evakuasi pasukan Inggris pada Perang Dunia II dari Prancis yang diduduki Nazi.
Badan ini telah membantu ratusan orang melarikan diri dengan bantuan grup obrolan dan kontak pribadi.
Di IAWJ, tim yang terdiri dari enam hakim asing juga telah mengoordinasikan informasi, melobi pemerintah, dan mengatur evakuasi.
"Tanggung jawab yang kami pikul hampir tak tertahankan saat ini karena kami adalah salah satu dari sedikit orang yang bertanggung jawab atas kelompok ini," salah satu pemimpin upaya tersebut, Patricia Whalen, seorang hakim Amerika yang membantu melatih hakim perempuan Afghanistan selama 10 tahun kepada Reuters.
"Saya sangat marah tentang itu. Tak satu pun dari kita harus berada dalam posisi ini," tukasnya.
"Empat atau lima anggota Taliban datang dan bertanya kepada orang-orang di rumah saya: 'Di mana hakim wanita ini?' Ini adalah orang-orang yang saya masukkan ke penjara," katanya dalam sebuah wawancara dari lokasi yang dirahasiakan, meminta untuk tidak disebutkan namanya seperti dikutip dari Reuters, Sabtu (4/9/2021).
Afghanistan memiliki sekitar 250 hakim wanita. Beberapa berhasil melarikan diri dalam beberapa pekan terakhir, tetapi sebagian besar tertinggal dan masih berusaha keluar, kata rekan dan aktivis internasional yang telah membentuk jaringan yang bekerja sepanjang waktu untuk membantu mereka melarikan diri.
Taliban, yang meraih kekuasaan bulan lalu ketika Amerika Serikat (AS) menarik pasukannya, melarang perempuan dari sebagian besar pekerjaan ketika mereka terakhir memerintah negara itu 20 tahun lalu.
Pada konferensi pers tak lama setelah mereka merebut Kabul pada 15 Agustus, seorang juru bicara Taliban mengatakan hak-hak perempuan akan dilindungi sesuai dengan hukum Islam. Mereka juga akan diizinkan untuk bekerja di sektor-sektor penting masyarakat.
Kekuatan Barat mengatakan mereka siap untuk terlibat dengan Taliban tetapi ingin melihat tindakan - bukan hanya janji - untuk melindungi hak asasi manusia.
Perempuan yang bekerja di bidang keadilan telah menjadi target profil tinggi sebelumnya. Dua wanita hakim Mahkamah Agung ditembak mati oleh pria bersenjata tak dikenal pada bulan Januari. Seorang juru bicara Taliban mengatakan pada saat itu bahwa kelompok itu tidak terlibat.
"Sekarang, Taliban telah membebaskan tahanan di seluruh negeri, yang benar-benar membahayakan nyawa hakim perempuan," kata hakim Afghanistan.
Dia telah menghubungi rekan-rekannya di Afghanistan.
"Pesan mereka adalah ketakutan dan teror total. Mereka memberi tahu saya jika mereka tidak diselamatkan, hidup mereka langsung dalam bahaya," ungkapnya.
Dia melarikan diri dengan bantuan sekelompok sukarelawan hak asasi manusia dan rekan asing di International Association of Women Judges (IAWJ).
Selain hakim, ada sekitar seribu perempuan pembela hak asasi manusia lainnya yang juga bisa menjadi sasaran Taliban, kata Horia Mosadiq, seorang aktivis hak asasi manusia Afghanistan.
"Tahanan yang dibebaskan menelepon dengan ancaman pembunuhan kepada hakim wanita, jaksa wanita dan polisi wanita, mengatakan 'kami akan mengejar Anda'," katanya.
Menteri Kehakiman Inggris Robert Buckland mengatakan pekan lalu London telah mengevakuasi sembilan hakim wanita dan bekerja untuk memberikan jalan yang aman bagi lebih banyak orang-orang yang sangat rentan.
"Banyak dari hakim ini bertanggung jawab untuk menjalankan aturan hukum dan memang benar mereka takut akan konsekuensi yang sekarang dapat mereka hadapi dengan munculnya Taliban," ujarnya.
Tetapi beberapa aktivis hak asasi manusia dan hukum yang terlibat dalam upaya untuk menyelamatkan hakim perempuan dan pembela hak asasi manusia mengatakan negara-negara Barat tidak membuat evakuasi mereka menjadi prioritas dalam kekacauan setelah Kabul jatuh.
"Pemerintah (Barat) sama sekali tidak tertarik untuk mengevakuasi orang-orang yang bukan warga negaranya sendiri," kata Sarah Kay, pengacara hak asasi manusia yang berbasis di Belfast dan anggota jaringan pengacara internasional Atlas Women.
Dia bekerja dengan sekelompok veteran sukarelawan online yang dikenal sebagai "Dunkirk digital", dinamai sesuai dengan evakuasi pasukan Inggris pada Perang Dunia II dari Prancis yang diduduki Nazi.
Badan ini telah membantu ratusan orang melarikan diri dengan bantuan grup obrolan dan kontak pribadi.
Di IAWJ, tim yang terdiri dari enam hakim asing juga telah mengoordinasikan informasi, melobi pemerintah, dan mengatur evakuasi.
"Tanggung jawab yang kami pikul hampir tak tertahankan saat ini karena kami adalah salah satu dari sedikit orang yang bertanggung jawab atas kelompok ini," salah satu pemimpin upaya tersebut, Patricia Whalen, seorang hakim Amerika yang membantu melatih hakim perempuan Afghanistan selama 10 tahun kepada Reuters.
"Saya sangat marah tentang itu. Tak satu pun dari kita harus berada dalam posisi ini," tukasnya.
(ian)
tulis komentar anda