Perempuan Afganistan Takut Taliban Berkuasa: Jadi Budak Seks, Mustahil Jadi Presiden

Senin, 02 Agustus 2021 - 11:52 WIB
Nargis memiliki gelar dalam jurnalisme, tetapi karena lonjakan serangan yang ditargetkan pada pekerja media dalam beberapa tahun terakhir, dia memutuskan dia tidak dapat mengambil risiko melanjutkan profesinya.

Seperti dalam masyarakat yang dilanda perang, perempuan menderita secara tidak proporsional di Afghanistan, yang sering menduduki peringkat tempat terburuk di dunia untuk perempuan. Beberapa jurnalis perempuan, aktivis hak-hak perempuan, dan perempuan yang bertugas di pasukan keamanan Afghanistan telah dibunuh, baik oleh tersangka militan atau oleh kerabat dalam apa yang disebut "pembunuhan demi kehormatan".

Beberapa warga Afghanistan yang berharap Taliban akan meliberalisasi kebijakan mereka yang lebih kejam menyusul pembicaraan dengan AS dan pemerintah Afghanistan telah dikecewakan oleh pembatasan yang diberlakukan kelompok itu di daerah-daerah yang telah direbutnya dari pasukan Afghanistan sejak dimulainya penarikan pasukan asing.



Mereka mengatakan Taliban telah memerintahkan perempuan untuk tidak keluar rumah tanpa anggota keluarga laki-laki, mengenakan burqa, dan melarang laki-laki mencukur janggut mereka, mengingatkan pada kebijakan kelompok itu ketika memerintah negara itu dari tahun 1996 hingga 2001.

“Anda lihat di daerah-daerah yang dikendalikan Taliban, mereka memberlakukan pernikahan paksa, perbudakan seksual, dan pernikahan anak meningkat,” kata Shukria Barakzai, seorang aktivis hak-hak perempuan terkemuka yang menjabat sebagai duta besar Afghanistan untuk Norwegia, kepada Arab News.

“Mereka menyandera janda-janda muda dan gadis-gadis muda. Ini bertentangan dengan budaya Afghanistan, agama, dan semua aturan perang. Kejahatan perang sedang terjadi sekarang terhadap orang-orang Afghanistan dan terutama terhadap perempuan dari masyarakat ini.”

Para pejabat Taliban telah menolak tuduhan itu, bersikeras bahwa mereka tidak mengeluarkan perintah seperti itu, dan menuduh para kritikus berusaha menodai citra kelompok itu.

Sementara perempuan di daerah perkotaan menentang perubahan konstitusional dan sosial yang secara signifikan akan membatasi hak-hak mereka yang diperoleh selama dua dekade terakhir, beberapa perempuan, setidaknya di daerah pedesaan, acuh tak acuh terhadap prospek pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban.

Perempuan-perempuan ini tidak merasa terhubung dengan perempuan elite perkotaan, dan lebih suka berbicara sendiri. Banyak dari perempuan pedesaan, dan bahkan beberapa perkotaan, menganggap perdamaian sebagai prioritas utama mereka, bahkan jika itu berarti mengorbankan beberapa hak yang saat ini tidak dapat mereka gunakan dalam hal apa pun.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More