Bandingkan Trump dengan Hitler, Jenderal Top AS Sebut Trump Rancang Kudeta
Jum'at, 16 Juli 2021 - 04:01 WIB
WASHINGTON - Jenderal tertinggi Pentagon Mark Milley khawatir akhir tahun lalu bahwa presiden saat itu Donald Trump akan menangguhkan konstitusi untuk mempertahankan kekuasaan dalam langkah seperti kudeta Reichstag 1933 oleh Adolf Hitler.
Kekhawatiran itu diungkapkan dalam satu buku baru.
“Chairman Kepala Gabungan Mark Milley melihat penolakan Trump menerima kekalahan dari Joe Biden dalam pemilu November sebagai tanda yang mungkin bahwa dia bermaksud mempertahankan kekuasaan dengan cara apa pun,” ungkap kutipan buku karya wartawan Washington Post Carol Leonnig dan Philip Rucker yang dilaporkan Post dan CNN.
“Ini adalah momen Reichstag… Injil sang Fuhrer,” papar Milley kepada para pembantu Pentagon, menurut para penulis buku itu.
Pada 1933, Hitler mengambil keuntungan dari kebakaran mencurigakan di Reichstag, parlemen Jerman, untuk menangguhkan kebebasan sipil dan memusatkan otoritas di pemerintahannya, menyiapkan panggung untuk konsolidasi kekuasaan Nazi.
Ketika Trump menyerukan pawai di Washington oleh para pendukungnya pada November, Milley, yang telah ditunjuk Trump, menyatakan kekhawatirannya bahwa Trump mengerahkan “baju cokelat di jalan-jalan,” menurut buku itu, merujuk pada para pengikut kekerasan Hitler.
Dan ketika Trump bersikeras mengklaim, tanpa bukti, bahwa dia ditipu dari masa jabatan kedua dengan penipuan dan merencanakan unjuk rasa lain pada 6 Januari, ketika para pengikutnya menyerang Kongres, Milley bersekongkol dengan para pejabat tinggi lainnya untuk mengundurkan diri, satu per satu.
Langkah pengunduran diri beriringan itu memberi sinyal bahwa mereka tidak akan mengikuti kudeta oleh presiden Trump yang akan keluar dari Gedung Putih.
“Mereka mungkin mencoba, tetapi mereka tidak akan berhasil,” tutur Milley kepada para ajudannya, sesuai cerita dalam buku itu.
“Anda tidak dapat melakukan ini tanpa militer. Anda tidak dapat melakukan ini tanpa CIA dan FBI. Kami adalah orang-orang dengan senjata,” papar dia.
Buku berjudul "I Alone Can Fix It" itu akan dirilis pekan depan. Buku itu menawarkan wawasan yang paling mengganggu tentang bagaimana penolakan Trump menerima kekalahan pemilunya terlihat di dalam pemerintahannya.
Milley pada awal tahun itu telah menolak keinginan Trump memanggil pasukan reguler untuk menghadapi protes Black Lives Matter di beberapa kota.
Rencana pengerahan pasukan reguler itu membuatnya sangat curiga terhadap motivasi Trump, terutama setelah pemilu, ketika Trump mulai mengganti para pejabat tinggi, termasuk di Pentagon, dengan para loyalis dekat meskipun dia hanya memiliki beberapa pekan tersisa di kantor.
"Milley mengatakan kepada stafnya bahwa dia yakin Trump memicu kerusuhan, mungkin dengan harapan ada alasan untuk menerapkan Undang-Undang Pemberontakan dan memanggil militer," papar buku itu.
Dalam pernyataan, Trump mengulangi klaimnya yang tidak berdasar tentang kecurangan pemilu tetapi membantah mengancam akan melakukan kudeta.
Dia mencemooh Milley sebagai seseorang yang mencari bantuan dari "kiri radikal."
"Jika saya akan melakukan kudeta, salah satu orang terakhir yang saya ingin melakukan bersamanya adalah Jenderal Mark Milley," papar Trump.
Kekhawatiran itu diungkapkan dalam satu buku baru.
“Chairman Kepala Gabungan Mark Milley melihat penolakan Trump menerima kekalahan dari Joe Biden dalam pemilu November sebagai tanda yang mungkin bahwa dia bermaksud mempertahankan kekuasaan dengan cara apa pun,” ungkap kutipan buku karya wartawan Washington Post Carol Leonnig dan Philip Rucker yang dilaporkan Post dan CNN.
“Ini adalah momen Reichstag… Injil sang Fuhrer,” papar Milley kepada para pembantu Pentagon, menurut para penulis buku itu.
Pada 1933, Hitler mengambil keuntungan dari kebakaran mencurigakan di Reichstag, parlemen Jerman, untuk menangguhkan kebebasan sipil dan memusatkan otoritas di pemerintahannya, menyiapkan panggung untuk konsolidasi kekuasaan Nazi.
Ketika Trump menyerukan pawai di Washington oleh para pendukungnya pada November, Milley, yang telah ditunjuk Trump, menyatakan kekhawatirannya bahwa Trump mengerahkan “baju cokelat di jalan-jalan,” menurut buku itu, merujuk pada para pengikut kekerasan Hitler.
Dan ketika Trump bersikeras mengklaim, tanpa bukti, bahwa dia ditipu dari masa jabatan kedua dengan penipuan dan merencanakan unjuk rasa lain pada 6 Januari, ketika para pengikutnya menyerang Kongres, Milley bersekongkol dengan para pejabat tinggi lainnya untuk mengundurkan diri, satu per satu.
Langkah pengunduran diri beriringan itu memberi sinyal bahwa mereka tidak akan mengikuti kudeta oleh presiden Trump yang akan keluar dari Gedung Putih.
“Mereka mungkin mencoba, tetapi mereka tidak akan berhasil,” tutur Milley kepada para ajudannya, sesuai cerita dalam buku itu.
“Anda tidak dapat melakukan ini tanpa militer. Anda tidak dapat melakukan ini tanpa CIA dan FBI. Kami adalah orang-orang dengan senjata,” papar dia.
Buku berjudul "I Alone Can Fix It" itu akan dirilis pekan depan. Buku itu menawarkan wawasan yang paling mengganggu tentang bagaimana penolakan Trump menerima kekalahan pemilunya terlihat di dalam pemerintahannya.
Milley pada awal tahun itu telah menolak keinginan Trump memanggil pasukan reguler untuk menghadapi protes Black Lives Matter di beberapa kota.
Rencana pengerahan pasukan reguler itu membuatnya sangat curiga terhadap motivasi Trump, terutama setelah pemilu, ketika Trump mulai mengganti para pejabat tinggi, termasuk di Pentagon, dengan para loyalis dekat meskipun dia hanya memiliki beberapa pekan tersisa di kantor.
"Milley mengatakan kepada stafnya bahwa dia yakin Trump memicu kerusuhan, mungkin dengan harapan ada alasan untuk menerapkan Undang-Undang Pemberontakan dan memanggil militer," papar buku itu.
Dalam pernyataan, Trump mengulangi klaimnya yang tidak berdasar tentang kecurangan pemilu tetapi membantah mengancam akan melakukan kudeta.
Dia mencemooh Milley sebagai seseorang yang mencari bantuan dari "kiri radikal."
"Jika saya akan melakukan kudeta, salah satu orang terakhir yang saya ingin melakukan bersamanya adalah Jenderal Mark Milley," papar Trump.
(sya)
tulis komentar anda