Ulama Ebrahim Raisi, Capres Terunggul Iran yang Labeli AS 'Setan Besar'
Kamis, 17 Juni 2021 - 13:14 WIB
Sebagai bagian dari kubu ultrakonservatif, Raisi telah mengkritik keras Rouhani sejak kesepakatan nuklir 2015 mulai terurai.
Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei, dalam pidato yang disiarkan televisi, mendesak para pemilih untuk berbondong-bondong memilih presiden yang kuat. Dia memperingatkan bahwa pusat kekuatan "setan dunia" mencoba untuk merusak pemungutan suara.
Pencapaian penting dari delapan tahun kekuasaan Rouhani adalah perjanjian nuklir 2015 dengan kekuatan dunia di mana Teheran bersedia mengekang program nuklirnya dengan imbalan pencabutan sanksi internasional.
Tetapi harapan Iran menuai keuntungan pupus pada 2018 ketika Trump membatalkan kesepakatan tersebut dan meluncurkan kampanye “tekanan maksimum” yang bertujuan untuk mengisolasinya secara diplomatik dan ekonomi.
Negara kaya minyak berpenduduk 83 juta jiwa itu diblokir oleh AS dari perdagangan dengan sebagian besar dunia. Hal itu membuat ekonominya jatuh ke jurang inflasi yang tak terkendali dan dilanda pengangguran massal.
Iran telah dilanda kerusuhan anti-pemerintah pada musim dingin 2017-2018 dan sekali lagi pada November 2019—diredam dengan keras pada kedua kesempatan itu—sebelum pandemi COVID-19.
Kemenangan capres ultrakonservatif akan berarti bahwa Teheran dapat mulai mengambil garis yang lebih keras terhadap Barat.
Namun para analis berpendapat bahwa ini tidak akan mungkin menggagalkan pembicaraan di Wina antara Iran dan negara-negara kekuatan dunia [AS, Rusia, Inggris, China, Prancis, Jerman dan China] untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015.
Penantang Raisi yang tersisa antara lain mantan kepala Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Mohsen Rezai dan mantan gubernur bank sentral Abdolnasser Hemmati, yang dipandang sebagai seorang reformis tetapi tidak memiliki dukungan dari koalisi reformis utama.
Jika tidak ada kandidat yang memenangkan mayoritas yang jelas pada hari Jumat besok, dua kandidat dengan suara terbanyak akan saling berhadapan dalam putaran berikutnya seminggu kemudian, pada tanggal 25 Juni.
Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei, dalam pidato yang disiarkan televisi, mendesak para pemilih untuk berbondong-bondong memilih presiden yang kuat. Dia memperingatkan bahwa pusat kekuatan "setan dunia" mencoba untuk merusak pemungutan suara.
Pencapaian penting dari delapan tahun kekuasaan Rouhani adalah perjanjian nuklir 2015 dengan kekuatan dunia di mana Teheran bersedia mengekang program nuklirnya dengan imbalan pencabutan sanksi internasional.
Tetapi harapan Iran menuai keuntungan pupus pada 2018 ketika Trump membatalkan kesepakatan tersebut dan meluncurkan kampanye “tekanan maksimum” yang bertujuan untuk mengisolasinya secara diplomatik dan ekonomi.
Negara kaya minyak berpenduduk 83 juta jiwa itu diblokir oleh AS dari perdagangan dengan sebagian besar dunia. Hal itu membuat ekonominya jatuh ke jurang inflasi yang tak terkendali dan dilanda pengangguran massal.
Iran telah dilanda kerusuhan anti-pemerintah pada musim dingin 2017-2018 dan sekali lagi pada November 2019—diredam dengan keras pada kedua kesempatan itu—sebelum pandemi COVID-19.
Kemenangan capres ultrakonservatif akan berarti bahwa Teheran dapat mulai mengambil garis yang lebih keras terhadap Barat.
Namun para analis berpendapat bahwa ini tidak akan mungkin menggagalkan pembicaraan di Wina antara Iran dan negara-negara kekuatan dunia [AS, Rusia, Inggris, China, Prancis, Jerman dan China] untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015.
Penantang Raisi yang tersisa antara lain mantan kepala Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Mohsen Rezai dan mantan gubernur bank sentral Abdolnasser Hemmati, yang dipandang sebagai seorang reformis tetapi tidak memiliki dukungan dari koalisi reformis utama.
Jika tidak ada kandidat yang memenangkan mayoritas yang jelas pada hari Jumat besok, dua kandidat dengan suara terbanyak akan saling berhadapan dalam putaran berikutnya seminggu kemudian, pada tanggal 25 Juni.
tulis komentar anda