Ulama Ebrahim Raisi, Capres Terunggul Iran yang Labeli AS 'Setan Besar'
Kamis, 17 Juni 2021 - 13:14 WIB
TEHERAN - Iran akan menggelar pemilihan presiden (pilpres) pada Jumat (18/6/2021) besok. Ulama ultrakonservatif Ebrahim Raisi, bagian dari kubu yang melabeli Amerika Serikat (AS) sebagai "setan besar", menjadi calon presiden (capres) yang paling unggul dalam jajak pendapat.
Ada tiga dari tujuh capres yang disetujui untuk mengikuti pilpres. Ebrahim Raisi, 60, telah dielu-elukan media setempat sebagai pengganti Presiden Hassan Rouhani—presiden dari kubu moderat yang sudah menjabat dua periode.
Para capres yang tersingkir antara lain politisi reformis Mohsen Mehralizadeh dan dua politisi ultrakonservatif, Alireza Zakani dan Saeed Jalili. Zakani dan Jalili telah menjanjikan dukungan mereka untuk capres terunggul.
Pemilihan presiden akan digelar ketika Iran yang sedang sakit secara ekonomi dan dilanda pandemi mengadakan pembicaraan dengan negara-negara kekuatan dunia untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015 yang babak belur dan berusaha untuk mengakhiri rezim sanksi Amerika Serikat (AS) yang dijatuhkan di bawah mantan presiden Donald Trump.
Pemungutan suara pilpres akan memilih pengganti presiden Rouhani, yang pemerintahannya telah menyetujui kesepakatan nuklir 2015. Tahun ini Rouhani tidak dapat mencalonkan diri lagi karena sudah berkuasa dua periode berturut-turut. Rouhani akan lengser pada Agustus nanti.
Kekuasaan tertinggi di Iran, di mana sebuah revolusi menggulingkan monarki pada tahun 1979, terletak pada pemimpin tertinggi, Ayatollah Ali Khamenei. Namun, presiden memiliki pengaruh yang signifikan pada isu-isu dari kebijakan industri hingga urusan luar negeri.
Capres yang diunggulkan, Raisi—kepala kehakiman negara itu dan seorang ulama yang mengenakan sorban hitam dan jubah keagamaan—juga telah ramai disebut media-media Iran sebagai calon pengganti Khamenei.
Sebagai bagian dari kubu ultrakonservatif, Raisi telah mengkritik keras Rouhani sejak kesepakatan nuklir 2015 mulai terurai.
Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei, dalam pidato yang disiarkan televisi, mendesak para pemilih untuk berbondong-bondong memilih presiden yang kuat. Dia memperingatkan bahwa pusat kekuatan "setan dunia" mencoba untuk merusak pemungutan suara.
Pencapaian penting dari delapan tahun kekuasaan Rouhani adalah perjanjian nuklir 2015 dengan kekuatan dunia di mana Teheran bersedia mengekang program nuklirnya dengan imbalan pencabutan sanksi internasional.
Tetapi harapan Iran menuai keuntungan pupus pada 2018 ketika Trump membatalkan kesepakatan tersebut dan meluncurkan kampanye “tekanan maksimum” yang bertujuan untuk mengisolasinya secara diplomatik dan ekonomi.
Negara kaya minyak berpenduduk 83 juta jiwa itu diblokir oleh AS dari perdagangan dengan sebagian besar dunia. Hal itu membuat ekonominya jatuh ke jurang inflasi yang tak terkendali dan dilanda pengangguran massal.
Iran telah dilanda kerusuhan anti-pemerintah pada musim dingin 2017-2018 dan sekali lagi pada November 2019—diredam dengan keras pada kedua kesempatan itu—sebelum pandemi COVID-19.
Kemenangan capres ultrakonservatif akan berarti bahwa Teheran dapat mulai mengambil garis yang lebih keras terhadap Barat.
Namun para analis berpendapat bahwa ini tidak akan mungkin menggagalkan pembicaraan di Wina antara Iran dan negara-negara kekuatan dunia [AS, Rusia, Inggris, China, Prancis, Jerman dan China] untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015.
Penantang Raisi yang tersisa antara lain mantan kepala Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Mohsen Rezai dan mantan gubernur bank sentral Abdolnasser Hemmati, yang dipandang sebagai seorang reformis tetapi tidak memiliki dukungan dari koalisi reformis utama.
Jika tidak ada kandidat yang memenangkan mayoritas yang jelas pada hari Jumat besok, dua kandidat dengan suara terbanyak akan saling berhadapan dalam putaran berikutnya seminggu kemudian, pada tanggal 25 Juni.
Beberapa poster kampanye terlihat di Teheran, dan suasana telah diredam oleh penurunan ekonomi dan pembatasan terkait pandemi COVID-19. Para pengamat memperkirakan banyak pemilih yang abstain.
Mahasiswa keperawatan Teheran, Narges, 20, seperti banyak anak muda Iran, mengatakan bahwa dia lebih peduli dan khawatir tentang masa depannya. Ditanya tentang pemilihan presiden, dia mengatakan dia tidak memiliki "perasaan khusus" tentang hal itu.
Bulan lalu, pers Iran telah secara luas memperkirakan pertarungan antara Raisi dan Ali Larijani, seorang penasihat Khamenei.
Tapi setelah Dewan Wali yang kuat melarang Larijani dan politisi kelas berat lainnya untuk mengikuti pilpres, capres yang tersisa tampaknya tidak akan menimbulkan masalah serius bagi Raisi.
Menteri Dalam Negeri Abdolreza Rahmani Fazli mengakui bahwa jumlah pemilih di antara lebih dari 59 juta pemilih yang memenuhi syarat mungkin lebih rendah dibandingkan dengan pemilu sebelumnya.
“Kelemahan dalam kompetisi adalah satu alasan, dan situasi virus corona [alasan] lainnya,” katanya kepada wartawan, seperti dikutip AFP.
"Tapi tetap saja, orang-orang kami selalu membuat kejutan besar dan selalu hadir," ujarnya.
Ada tiga dari tujuh capres yang disetujui untuk mengikuti pilpres. Ebrahim Raisi, 60, telah dielu-elukan media setempat sebagai pengganti Presiden Hassan Rouhani—presiden dari kubu moderat yang sudah menjabat dua periode.
Para capres yang tersingkir antara lain politisi reformis Mohsen Mehralizadeh dan dua politisi ultrakonservatif, Alireza Zakani dan Saeed Jalili. Zakani dan Jalili telah menjanjikan dukungan mereka untuk capres terunggul.
Pemilihan presiden akan digelar ketika Iran yang sedang sakit secara ekonomi dan dilanda pandemi mengadakan pembicaraan dengan negara-negara kekuatan dunia untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015 yang babak belur dan berusaha untuk mengakhiri rezim sanksi Amerika Serikat (AS) yang dijatuhkan di bawah mantan presiden Donald Trump.
Pemungutan suara pilpres akan memilih pengganti presiden Rouhani, yang pemerintahannya telah menyetujui kesepakatan nuklir 2015. Tahun ini Rouhani tidak dapat mencalonkan diri lagi karena sudah berkuasa dua periode berturut-turut. Rouhani akan lengser pada Agustus nanti.
Kekuasaan tertinggi di Iran, di mana sebuah revolusi menggulingkan monarki pada tahun 1979, terletak pada pemimpin tertinggi, Ayatollah Ali Khamenei. Namun, presiden memiliki pengaruh yang signifikan pada isu-isu dari kebijakan industri hingga urusan luar negeri.
Capres yang diunggulkan, Raisi—kepala kehakiman negara itu dan seorang ulama yang mengenakan sorban hitam dan jubah keagamaan—juga telah ramai disebut media-media Iran sebagai calon pengganti Khamenei.
Sebagai bagian dari kubu ultrakonservatif, Raisi telah mengkritik keras Rouhani sejak kesepakatan nuklir 2015 mulai terurai.
Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei, dalam pidato yang disiarkan televisi, mendesak para pemilih untuk berbondong-bondong memilih presiden yang kuat. Dia memperingatkan bahwa pusat kekuatan "setan dunia" mencoba untuk merusak pemungutan suara.
Pencapaian penting dari delapan tahun kekuasaan Rouhani adalah perjanjian nuklir 2015 dengan kekuatan dunia di mana Teheran bersedia mengekang program nuklirnya dengan imbalan pencabutan sanksi internasional.
Tetapi harapan Iran menuai keuntungan pupus pada 2018 ketika Trump membatalkan kesepakatan tersebut dan meluncurkan kampanye “tekanan maksimum” yang bertujuan untuk mengisolasinya secara diplomatik dan ekonomi.
Negara kaya minyak berpenduduk 83 juta jiwa itu diblokir oleh AS dari perdagangan dengan sebagian besar dunia. Hal itu membuat ekonominya jatuh ke jurang inflasi yang tak terkendali dan dilanda pengangguran massal.
Iran telah dilanda kerusuhan anti-pemerintah pada musim dingin 2017-2018 dan sekali lagi pada November 2019—diredam dengan keras pada kedua kesempatan itu—sebelum pandemi COVID-19.
Kemenangan capres ultrakonservatif akan berarti bahwa Teheran dapat mulai mengambil garis yang lebih keras terhadap Barat.
Namun para analis berpendapat bahwa ini tidak akan mungkin menggagalkan pembicaraan di Wina antara Iran dan negara-negara kekuatan dunia [AS, Rusia, Inggris, China, Prancis, Jerman dan China] untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015.
Penantang Raisi yang tersisa antara lain mantan kepala Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Mohsen Rezai dan mantan gubernur bank sentral Abdolnasser Hemmati, yang dipandang sebagai seorang reformis tetapi tidak memiliki dukungan dari koalisi reformis utama.
Jika tidak ada kandidat yang memenangkan mayoritas yang jelas pada hari Jumat besok, dua kandidat dengan suara terbanyak akan saling berhadapan dalam putaran berikutnya seminggu kemudian, pada tanggal 25 Juni.
Beberapa poster kampanye terlihat di Teheran, dan suasana telah diredam oleh penurunan ekonomi dan pembatasan terkait pandemi COVID-19. Para pengamat memperkirakan banyak pemilih yang abstain.
Mahasiswa keperawatan Teheran, Narges, 20, seperti banyak anak muda Iran, mengatakan bahwa dia lebih peduli dan khawatir tentang masa depannya. Ditanya tentang pemilihan presiden, dia mengatakan dia tidak memiliki "perasaan khusus" tentang hal itu.
Bulan lalu, pers Iran telah secara luas memperkirakan pertarungan antara Raisi dan Ali Larijani, seorang penasihat Khamenei.
Tapi setelah Dewan Wali yang kuat melarang Larijani dan politisi kelas berat lainnya untuk mengikuti pilpres, capres yang tersisa tampaknya tidak akan menimbulkan masalah serius bagi Raisi.
Menteri Dalam Negeri Abdolreza Rahmani Fazli mengakui bahwa jumlah pemilih di antara lebih dari 59 juta pemilih yang memenuhi syarat mungkin lebih rendah dibandingkan dengan pemilu sebelumnya.
“Kelemahan dalam kompetisi adalah satu alasan, dan situasi virus corona [alasan] lainnya,” katanya kepada wartawan, seperti dikutip AFP.
"Tapi tetap saja, orang-orang kami selalu membuat kejutan besar dan selalu hadir," ujarnya.
(min)
Lihat Juga :
tulis komentar anda