BKSAP DPR RI: Dunia Harus Lindungi Hak Anak Palestina dari Sistem Peradilan Militer Israel
Jum'at, 07 Mei 2021 - 20:12 WIB
JAKARTA - Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI mendesak komunitas internasional, termasuk PBB, untuk lebih serius melindungi hak-hak anak-anak Palestina .
Aksi mengutuk kejahatan Israel terhadap anak-anak Palestina tidaklah cukup. Secara moral komunitas internasional bertanggung jawab atas implementasi Konvensi Hak Anak, yang juga telah diratifikasi Israel.
“Aksi brutal tentara Israel yang telah menembak mati seorang remaja Palestina berusia 16 tahun, Saeed Yusuf Muhammad Oudeh, pada sebuah bentrokan yang terjadi di dekat kota Nablus, Tepi Barat, bebersapa hari lalu, perlu dikutuk dunia,” ungkap Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI dan Wakil Presiden The League of Parliamentarians for Al-Quds Fadli Zon.
Tindakan brutal itu kian memperpanjang daftar kekerasan dan pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan oleh tentara Israel terhadap anak-anak Palestina.
Di tengah konflik Israel-Palestina, anak-anak Palestina secara sistematis telah dijadikan target kekerasan oleh militer Israel.
Menurut Defense for Children International Palestine (DCIP), tentara Israel terus-menerus melakukan extra judicial killing terhadap anak-anak Palestina, bahkan ketika mereka sebenarnya tidak sedang menimbulkan ancaman.
Israel adalah satu-satunya negara di dunia yang menjadikan anak-anak sebagai obyek dalam sistem pengadilan militer, yang tidak memenuhi standar peradilan adil internasional.
Dan sasaran mereka tak lain adalah anak-anak Palestina. Sebab, sejauh ini tak pernah seorangpun anak-anak Israel pernah tersentuh oleh sistem hukum yang sama.
Menurut laporan UNICEF, tiap tahun sekitar 500 hingga 700 anak Palestina ditangkap oleh Polisi Israel karena pelanggaran-pelanggaran kecil, seperti melempar batu, atau terlibat aksi protes.
Namun, mereka diperlakukan secara kasar dan brutal. Mereka, misalnya, ditutup matanya, diintimidasi, ditelanjangi, dan dilecehkan secara fisik.
Sejak tahun 2016, otoritas Israel diketahui semakin brutal dalam memperlakukan anak-anak Palestina.
Mereka seringkali ditempatkan di sel-sel isolasi untuk diinterogasi guna kepentingan intelijen, sebuah praktik yang dalam rezim hukum internasional termasuk kategori penyiksaan.
Selain itu, mereka juga tak segan menahan anak berusia di bawah 12 tahun, yang secara hukum sebenarnya tak bisa dikenai tanggung jawab pidana.
Pada akhir April lalu, misalnya, Israel mengakui telah menahan lima orang anak Palestina, di mana tiga di antaranya baru berusia delapan tahun.
“Anak-anak itu ditangkap di daerah Masafer Yatta di perbukitan Hebron selatan, yang merupakan kantong penduduk Palestina. Itu adalah sebuah tindakan biadab,” tegas Fadli Zon.
Anak-anak, perempuan, dan lansia mestinya menjadi kelompok yang dilindungi, bahkan di tengah-tengah peperangan sekalipun. Namun, hal ini diabaikan oleh otoritas Israel.
Bahkan, beberapa jam sebelum Saeed Yusuf Muhammad Oudeh dibunuh, tentara Israel telah menembak mati Rehab al-Hroub, seorang perempuan Palestina berusia 60 tahun.
Menurut data DCIP, sejak tahun 2000, lebih dari 10 ribu anak Palestina di Tepi Barat telah ditahan oleh tentara Israel. Tiga dari empat anak yang ditangkap mengalami kekerasan fisik selama penangkapan, dan lebih dari 90 persen anak-anak Palestina yang dibawa ke pengadilan militer dihukum.
Lembaga-lembaga internasional, seperti UNICEF, Human Rights Watch, atau Amnesty International, telah mendokumentasikan perlakuan buruk terhadap anak-anak Palestina tersebut, yang bersifat sistematis dan melembaga.
“BKSAP DPR-RI menyatakan, harus ada upaya paksa terhadap Israel untuk mematuhi hukum internasional dan berhenti melakukan tindakan-tindakan ilegal,” papar Fadli Zon.
Dia menegaskan, “Kita sangat mendukung jika para pelaku penembakan itu dibawa ke International Criminal Court. Penderitaan anak-anak Palestina harus segera dihentikan dan isu ini harus menjadi perhatian dunia.”
Aksi mengutuk kejahatan Israel terhadap anak-anak Palestina tidaklah cukup. Secara moral komunitas internasional bertanggung jawab atas implementasi Konvensi Hak Anak, yang juga telah diratifikasi Israel.
“Aksi brutal tentara Israel yang telah menembak mati seorang remaja Palestina berusia 16 tahun, Saeed Yusuf Muhammad Oudeh, pada sebuah bentrokan yang terjadi di dekat kota Nablus, Tepi Barat, bebersapa hari lalu, perlu dikutuk dunia,” ungkap Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI dan Wakil Presiden The League of Parliamentarians for Al-Quds Fadli Zon.
Tindakan brutal itu kian memperpanjang daftar kekerasan dan pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan oleh tentara Israel terhadap anak-anak Palestina.
Di tengah konflik Israel-Palestina, anak-anak Palestina secara sistematis telah dijadikan target kekerasan oleh militer Israel.
Menurut Defense for Children International Palestine (DCIP), tentara Israel terus-menerus melakukan extra judicial killing terhadap anak-anak Palestina, bahkan ketika mereka sebenarnya tidak sedang menimbulkan ancaman.
Israel adalah satu-satunya negara di dunia yang menjadikan anak-anak sebagai obyek dalam sistem pengadilan militer, yang tidak memenuhi standar peradilan adil internasional.
Dan sasaran mereka tak lain adalah anak-anak Palestina. Sebab, sejauh ini tak pernah seorangpun anak-anak Israel pernah tersentuh oleh sistem hukum yang sama.
Menurut laporan UNICEF, tiap tahun sekitar 500 hingga 700 anak Palestina ditangkap oleh Polisi Israel karena pelanggaran-pelanggaran kecil, seperti melempar batu, atau terlibat aksi protes.
Namun, mereka diperlakukan secara kasar dan brutal. Mereka, misalnya, ditutup matanya, diintimidasi, ditelanjangi, dan dilecehkan secara fisik.
Sejak tahun 2016, otoritas Israel diketahui semakin brutal dalam memperlakukan anak-anak Palestina.
Mereka seringkali ditempatkan di sel-sel isolasi untuk diinterogasi guna kepentingan intelijen, sebuah praktik yang dalam rezim hukum internasional termasuk kategori penyiksaan.
Selain itu, mereka juga tak segan menahan anak berusia di bawah 12 tahun, yang secara hukum sebenarnya tak bisa dikenai tanggung jawab pidana.
Pada akhir April lalu, misalnya, Israel mengakui telah menahan lima orang anak Palestina, di mana tiga di antaranya baru berusia delapan tahun.
“Anak-anak itu ditangkap di daerah Masafer Yatta di perbukitan Hebron selatan, yang merupakan kantong penduduk Palestina. Itu adalah sebuah tindakan biadab,” tegas Fadli Zon.
Anak-anak, perempuan, dan lansia mestinya menjadi kelompok yang dilindungi, bahkan di tengah-tengah peperangan sekalipun. Namun, hal ini diabaikan oleh otoritas Israel.
Bahkan, beberapa jam sebelum Saeed Yusuf Muhammad Oudeh dibunuh, tentara Israel telah menembak mati Rehab al-Hroub, seorang perempuan Palestina berusia 60 tahun.
Menurut data DCIP, sejak tahun 2000, lebih dari 10 ribu anak Palestina di Tepi Barat telah ditahan oleh tentara Israel. Tiga dari empat anak yang ditangkap mengalami kekerasan fisik selama penangkapan, dan lebih dari 90 persen anak-anak Palestina yang dibawa ke pengadilan militer dihukum.
Lembaga-lembaga internasional, seperti UNICEF, Human Rights Watch, atau Amnesty International, telah mendokumentasikan perlakuan buruk terhadap anak-anak Palestina tersebut, yang bersifat sistematis dan melembaga.
“BKSAP DPR-RI menyatakan, harus ada upaya paksa terhadap Israel untuk mematuhi hukum internasional dan berhenti melakukan tindakan-tindakan ilegal,” papar Fadli Zon.
Dia menegaskan, “Kita sangat mendukung jika para pelaku penembakan itu dibawa ke International Criminal Court. Penderitaan anak-anak Palestina harus segera dihentikan dan isu ini harus menjadi perhatian dunia.”
(sya)
Lihat Juga :
tulis komentar anda