Di Tengah Wabah Covid-19, Harga Chanel dan Louis Vuitton Naik Fantastis
Senin, 18 Mei 2020 - 07:15 WIB
Produsen perhiasan AS, Tiffany, yang dibeli LVMH, juga meningkatkan harga produknya di Korsel senilai 10% pada 6 Mei lalu. Hal itu diungkapkan seorang manajer toko Tiffany di Seoul. “Tiffany mengkaji secara reguler strategi kenaikan harga, termasuk membandingkan masing-masing pasar di mana kita berbisnis untuk merefleksikan hal lain, seperti fluktuasi mata uang dan biaya produksi,” ujar juru bicara Tiffany kepada Reuters.
Para analis menyatakan, brand kuat seperti Louis Vuitton bisa saja menaikkan harga untuk meningkatkan penjualan dan pendapatan karena krisis virus corona. Pasalnya, mereka juga mengalami penurunan pendapatan karena adanya larangan bepergian internasional dan krisis ekonomi yang melanda Eropa dan AS. “Itu (kenaikan harga) merupakan strategi untuk mendapatkan keuntungan,” ujar Luca Solca, analis produk mewah di Bernstein, firma konsultan ekonomi. (Baca juga: Balenciaga Luncurkan Sandal Rumah Kulit Rp7 Juta)
Solca menambahkan, tidak semua label mengikuti langkah menaikkan harga karena dikhawatirkan memicu kekecewaan dari konsumen. Tod’s, misalnya, tidak berencana mengubah harga produk. Mereka memilih mempertahankan untuk menjaga kepercayaan konsumen.
Namun, kebanyakan brand justru harus berjuang keras dengan banyaknya produk yang belum terjual. Mereka kini memilih menahan diri untuk tidak memberikan diskon besar di toko ataupun penjualan online. Mereka tetap menjual produk dengan harga yang sama untuk menjaga aura eksklusivitas produk mereka.
Menaikkan harga produk brand juga memicu risiko. Di Beijing, Luna Xin, broker keuangan, mengungkapkan dia menyerah untuk membeli Chanel Classic Flap karena harganya melonjak tajam pada Kamis lalu, 14,5%. “Pada September lalu, produk tersebut mencapai 39.000 yuan, kini harganya naik 10.000 yuan,” katanya.
Masih Mengandalkan China
China merupakan pasar utama brand produk mewah. Tidak kurang dari 35% pasar produk tersebut berada di Negeri Tirai Bambu pada 2019 lalu. Pada 2025, China diprediksi menguasai 50% penjualan produk mewah. Dalam analisis data transaksi UnionPay, separuh lebih penjualan produk barang mewah pada 2012-2018 berada di China. Laporan McKinsey China Luxury Report juga memproduksi penjualan produk mewah di China bisa mencapai 65% dari penjualan barang branded di seluruh dunia.
Dengan larangan bepergian ke luar negeri, konsumen China memilih membeli produk branded di dalam negeri. Itu justru akan meningkatkan penjualan produk mewah tersebut. Produsen pun memandang hal itu sebagai kesempatan untuk meningkatkan harga produknya. (Andika H Mustaqim)
Para analis menyatakan, brand kuat seperti Louis Vuitton bisa saja menaikkan harga untuk meningkatkan penjualan dan pendapatan karena krisis virus corona. Pasalnya, mereka juga mengalami penurunan pendapatan karena adanya larangan bepergian internasional dan krisis ekonomi yang melanda Eropa dan AS. “Itu (kenaikan harga) merupakan strategi untuk mendapatkan keuntungan,” ujar Luca Solca, analis produk mewah di Bernstein, firma konsultan ekonomi. (Baca juga: Balenciaga Luncurkan Sandal Rumah Kulit Rp7 Juta)
Solca menambahkan, tidak semua label mengikuti langkah menaikkan harga karena dikhawatirkan memicu kekecewaan dari konsumen. Tod’s, misalnya, tidak berencana mengubah harga produk. Mereka memilih mempertahankan untuk menjaga kepercayaan konsumen.
Namun, kebanyakan brand justru harus berjuang keras dengan banyaknya produk yang belum terjual. Mereka kini memilih menahan diri untuk tidak memberikan diskon besar di toko ataupun penjualan online. Mereka tetap menjual produk dengan harga yang sama untuk menjaga aura eksklusivitas produk mereka.
Menaikkan harga produk brand juga memicu risiko. Di Beijing, Luna Xin, broker keuangan, mengungkapkan dia menyerah untuk membeli Chanel Classic Flap karena harganya melonjak tajam pada Kamis lalu, 14,5%. “Pada September lalu, produk tersebut mencapai 39.000 yuan, kini harganya naik 10.000 yuan,” katanya.
Masih Mengandalkan China
China merupakan pasar utama brand produk mewah. Tidak kurang dari 35% pasar produk tersebut berada di Negeri Tirai Bambu pada 2019 lalu. Pada 2025, China diprediksi menguasai 50% penjualan produk mewah. Dalam analisis data transaksi UnionPay, separuh lebih penjualan produk barang mewah pada 2012-2018 berada di China. Laporan McKinsey China Luxury Report juga memproduksi penjualan produk mewah di China bisa mencapai 65% dari penjualan barang branded di seluruh dunia.
Dengan larangan bepergian ke luar negeri, konsumen China memilih membeli produk branded di dalam negeri. Itu justru akan meningkatkan penjualan produk mewah tersebut. Produsen pun memandang hal itu sebagai kesempatan untuk meningkatkan harga produknya. (Andika H Mustaqim)
(ysw)
tulis komentar anda