Terjebak Konflik, 2,3 Juta Anak di Ethiopia Terancam Kelaparan
Kamis, 17 Desember 2020 - 10:12 WIB
MEKELLE - Sekitar 2,3 juta anak-anak di kawasan Tigray, Ethiopia , terancam kelaparan setelah akses bantuan kemanusiaan terputus menyusul berlanjutnya konflik senjata api.
Tentara Ethiopia dan pasukan bersenjata api dari Front Pembebasan Rakyat Tigray (Tigray People's Liberation Front/TPLF) kembali baku tembak di Tigray. Sebelumnya, pemerintah Ethiopia menyatakan perang sipil berakhir setelah tentara nasional berhasil memukul mundur pasukan TPLF dan menguasai Tigray. (Baca: Hadis-hadis Tentang Doa Mustajab)
Bagaimanapun, TPLF tidak menyerah dan terus melancarkan serangan balasan. Konflik ini terjadi sejak 4 November silam akibat adanya perubahan sistem pemerintahan. Di Ethiopia , meski menganut sistem demokrasi secara nasional, pemerintahan di beberapa kawasan dikuasai kelompok militer seperti TPLF di Tigray.
Perang sipil itu menimbulkan kekacauan sosial, politik, dan ekonomi di Tigray. Faktanya, banyak warga sipil yang mengungsi jauh dari perkampungan. Dengan kondisi yang tidak menentu, Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa Bangsa (UNICEF) telah menyalurkan bantuan kemanusiaan setidaknya sejak bulan lalu.
Namun, pekan ini, kendati sudah diberi izin pemerintah pusat Ethiopia , tim UNICEF tidak diperbolehkan memasuki Tigray mengingat situasinya sangat buruk. “Perlindungan terhadap anak-anak yang turut dalam evakuasi dan pengungsian harus menjadi prioritas. Mereka menjadi kelompok rentan,” ungkap UNICEF. (Baca juga: Tujuh Buku Biografi yang Direkomendasikan Najwa Shihab)
UNICEF mendesak kedua pihak yang terlibat konflik untuk segera membuka kembali penyaluran akses bantuan dan menghormati petugas badan kemanusiaan. Sebab, pasokan makanan, obat-obatan, air, dan bahan pokok lainnya di wilayah pengungsian dikhawatirkan semakin menipis dan membahayakan pengungsi.
Konflik ini bergejolak setelah Perdana Menteri (PM) Ethiopia Abiy Ahmed berselisih dengan pemimpin TPLF terkait sistem pemerintahan. Pada November, sejumlah pangkalan militer tentara nasional Ethiopia diserang kelompok militan TPLF di Tigray. Situasi kian memanas setelah Ethiopia melancarkan operasi militer.
Tim UNICEF juga pernah ditembak dan ditahan tentara Ethiopia karena mengabaikan peringatan dan pemeriksaan cek poin. “Peristiwa ini terjadi karena tim UNICEF menerobos masuk tanpa mengindahkan peringatan otoritas agar tidak memasuki wilayah tersebut,” ujar Juru Bicara (Jubir) PM, Redwan Hussein, dikutip BBC. (Baca juga: RI Terancam Kelaparan, Ekonom: No Way!)
Tentara Eritrea sempat dikabarkan memasuki Tigray untuk menyelamatkan warga mereka yang terjebak di sana. Namun, laporan itu tidak dapat diverifikasi secara independen. Pemerintah Ethiopia dan Eritrea juga membantah menggabungkan kekuatan militer untuk menumbangkan TPLF mengingat isunya domestik.
Namun, sebagian warga Eritrea masih tinggal di Tigray setelah mengungsi dari Eritrea akibat krisis politik dan militer. Saat ini, mereka kembali terjebak dalam perang saudara. Tim dari UNICEF juga masih menyalurkan bantuan kemanusiaan kepada pengungsi asal Eritrea di Tigray, termasuk sebelum terjadi perang.
Ahmed menjadi pemimpin Ethiopia pertama yang berhasil mengakhiri konflik dengan Eritrea. Capaian perdamaian tersebut bahkan mengantarkannya meraih Nobel Perdamaian pada 2019. Namun, beberapa kritikus menilai kesepakatan itu hanya menjadi pakta keamanan sehingga Eritrea dapat membantu Ethiopia.
Seorang agen intelijen Amerika Serikat (AS) yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan tentara Eritrea ada di Tigray untuk membantu Ethiopia memberantas TPLF. “Hal itu sudah tidak diragukan lagi. Tentara TPLF juga mengetahui hal ini sehingga mereka menyerang wilayah Eritrea,” katanya kepada Reuters. (Baca juga: 10 Video Paling Trending di YouTube Sepanjang Tahun 2020)
Tentara Ethiopia berhasil mengambil alih ibu kota Tigray, Mekelle, dari TPLF pada 28 November lalu. Namun, pertempuran masih terjadi di wilayah lain, termasuk di wilayah gunung-gunung batu. “Masih ada tentara atau pasukan khusus TPLF yang berkeliaran dan melakukan serangan secara gerilya,” ujar Redwan.
Sebelum menjadi partai politik, TPLF merupakan kelompok gerilyawan. TPLF memimpin koalisi Front Demokratik Revolusi Rakyat Ethiopia (EPRDF) dari 1989 untuk menggulingkan partai komunis Rakyat Demokrasi Republik Ethiopia (PDRE). Sejak saat itu, TPLF diberi kewenangan memegang pemerintahan di Tigray. (Baca juga: Juventus Mungkin Sedang Menghukum Paolo Dybala)
Kedudukan TPLF di Tigray terancam setelah Ahmed melakukan reformasi pemerintahan secara besar-besaran sejak terpilih pada 2018. Dia berharap sistem demokrasi dapat diterapkan secara utuh dan nasional. Selain itu, masyarakat berharap Ahmed dapat menghapus korupsi dan represi yang banyak terjadi.
Keputusan Ahmed mengirimkan tentara nasional menuju Tigray juga mendapat dukungan penuh dari sebagian masyarakat Ethiopia. Namun, sebagai peraih Nobel Perdamaian, aksi tersebut mendapat kritikan dari akademisi Eropa. Mereka bahkan menilai Ahmed tidak ada bedanya dengan pemimpin yang lain.
Namun, pendukung Ahmed mengatakan pemimpin dan masyarakat Ethiopia tidak semestinya diam jika diserang. Apalagi, aksi militer TPLF tejadi setelah Ahmed membuka ruang diskusi. Menychle Meseret dari University of Gondar mengatakan keputusan Ahmed untuk melindungi kedaulatan negara sudah tepat. (Lihat videonya: Menikmati Indahnya Taman Buang Celosia di Banyumas)
“Negeri ini sedang terancam oleh pasukan bersenjata. TPLF telah melakukan serangan secara terang-terangan. Tidak ada negara yang akan menoleransi hal seperti itu, termasuk negara-negara di Eropa,” kata Meseret. “Saya juga melihat Ahmed merupakan pemimpin yang sabar, toleransi, dan kesempatan berdiskusi.” (Muh Shamil)
Tentara Ethiopia dan pasukan bersenjata api dari Front Pembebasan Rakyat Tigray (Tigray People's Liberation Front/TPLF) kembali baku tembak di Tigray. Sebelumnya, pemerintah Ethiopia menyatakan perang sipil berakhir setelah tentara nasional berhasil memukul mundur pasukan TPLF dan menguasai Tigray. (Baca: Hadis-hadis Tentang Doa Mustajab)
Bagaimanapun, TPLF tidak menyerah dan terus melancarkan serangan balasan. Konflik ini terjadi sejak 4 November silam akibat adanya perubahan sistem pemerintahan. Di Ethiopia , meski menganut sistem demokrasi secara nasional, pemerintahan di beberapa kawasan dikuasai kelompok militer seperti TPLF di Tigray.
Perang sipil itu menimbulkan kekacauan sosial, politik, dan ekonomi di Tigray. Faktanya, banyak warga sipil yang mengungsi jauh dari perkampungan. Dengan kondisi yang tidak menentu, Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa Bangsa (UNICEF) telah menyalurkan bantuan kemanusiaan setidaknya sejak bulan lalu.
Namun, pekan ini, kendati sudah diberi izin pemerintah pusat Ethiopia , tim UNICEF tidak diperbolehkan memasuki Tigray mengingat situasinya sangat buruk. “Perlindungan terhadap anak-anak yang turut dalam evakuasi dan pengungsian harus menjadi prioritas. Mereka menjadi kelompok rentan,” ungkap UNICEF. (Baca juga: Tujuh Buku Biografi yang Direkomendasikan Najwa Shihab)
UNICEF mendesak kedua pihak yang terlibat konflik untuk segera membuka kembali penyaluran akses bantuan dan menghormati petugas badan kemanusiaan. Sebab, pasokan makanan, obat-obatan, air, dan bahan pokok lainnya di wilayah pengungsian dikhawatirkan semakin menipis dan membahayakan pengungsi.
Konflik ini bergejolak setelah Perdana Menteri (PM) Ethiopia Abiy Ahmed berselisih dengan pemimpin TPLF terkait sistem pemerintahan. Pada November, sejumlah pangkalan militer tentara nasional Ethiopia diserang kelompok militan TPLF di Tigray. Situasi kian memanas setelah Ethiopia melancarkan operasi militer.
Tim UNICEF juga pernah ditembak dan ditahan tentara Ethiopia karena mengabaikan peringatan dan pemeriksaan cek poin. “Peristiwa ini terjadi karena tim UNICEF menerobos masuk tanpa mengindahkan peringatan otoritas agar tidak memasuki wilayah tersebut,” ujar Juru Bicara (Jubir) PM, Redwan Hussein, dikutip BBC. (Baca juga: RI Terancam Kelaparan, Ekonom: No Way!)
Tentara Eritrea sempat dikabarkan memasuki Tigray untuk menyelamatkan warga mereka yang terjebak di sana. Namun, laporan itu tidak dapat diverifikasi secara independen. Pemerintah Ethiopia dan Eritrea juga membantah menggabungkan kekuatan militer untuk menumbangkan TPLF mengingat isunya domestik.
Namun, sebagian warga Eritrea masih tinggal di Tigray setelah mengungsi dari Eritrea akibat krisis politik dan militer. Saat ini, mereka kembali terjebak dalam perang saudara. Tim dari UNICEF juga masih menyalurkan bantuan kemanusiaan kepada pengungsi asal Eritrea di Tigray, termasuk sebelum terjadi perang.
Ahmed menjadi pemimpin Ethiopia pertama yang berhasil mengakhiri konflik dengan Eritrea. Capaian perdamaian tersebut bahkan mengantarkannya meraih Nobel Perdamaian pada 2019. Namun, beberapa kritikus menilai kesepakatan itu hanya menjadi pakta keamanan sehingga Eritrea dapat membantu Ethiopia.
Seorang agen intelijen Amerika Serikat (AS) yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan tentara Eritrea ada di Tigray untuk membantu Ethiopia memberantas TPLF. “Hal itu sudah tidak diragukan lagi. Tentara TPLF juga mengetahui hal ini sehingga mereka menyerang wilayah Eritrea,” katanya kepada Reuters. (Baca juga: 10 Video Paling Trending di YouTube Sepanjang Tahun 2020)
Tentara Ethiopia berhasil mengambil alih ibu kota Tigray, Mekelle, dari TPLF pada 28 November lalu. Namun, pertempuran masih terjadi di wilayah lain, termasuk di wilayah gunung-gunung batu. “Masih ada tentara atau pasukan khusus TPLF yang berkeliaran dan melakukan serangan secara gerilya,” ujar Redwan.
Sebelum menjadi partai politik, TPLF merupakan kelompok gerilyawan. TPLF memimpin koalisi Front Demokratik Revolusi Rakyat Ethiopia (EPRDF) dari 1989 untuk menggulingkan partai komunis Rakyat Demokrasi Republik Ethiopia (PDRE). Sejak saat itu, TPLF diberi kewenangan memegang pemerintahan di Tigray. (Baca juga: Juventus Mungkin Sedang Menghukum Paolo Dybala)
Kedudukan TPLF di Tigray terancam setelah Ahmed melakukan reformasi pemerintahan secara besar-besaran sejak terpilih pada 2018. Dia berharap sistem demokrasi dapat diterapkan secara utuh dan nasional. Selain itu, masyarakat berharap Ahmed dapat menghapus korupsi dan represi yang banyak terjadi.
Keputusan Ahmed mengirimkan tentara nasional menuju Tigray juga mendapat dukungan penuh dari sebagian masyarakat Ethiopia. Namun, sebagai peraih Nobel Perdamaian, aksi tersebut mendapat kritikan dari akademisi Eropa. Mereka bahkan menilai Ahmed tidak ada bedanya dengan pemimpin yang lain.
Namun, pendukung Ahmed mengatakan pemimpin dan masyarakat Ethiopia tidak semestinya diam jika diserang. Apalagi, aksi militer TPLF tejadi setelah Ahmed membuka ruang diskusi. Menychle Meseret dari University of Gondar mengatakan keputusan Ahmed untuk melindungi kedaulatan negara sudah tepat. (Lihat videonya: Menikmati Indahnya Taman Buang Celosia di Banyumas)
“Negeri ini sedang terancam oleh pasukan bersenjata. TPLF telah melakukan serangan secara terang-terangan. Tidak ada negara yang akan menoleransi hal seperti itu, termasuk negara-negara di Eropa,” kata Meseret. “Saya juga melihat Ahmed merupakan pemimpin yang sabar, toleransi, dan kesempatan berdiskusi.” (Muh Shamil)
(ysw)
Lihat Juga :
tulis komentar anda