Korsel Larang Selebaran Anti-Korut, Pembelot Tak Mau Setop Aksinya
Rabu, 16 Desember 2020 - 01:01 WIB
SEOUL - Korea Selatan (Korsel) melarang peluncuran selebaran propaganda ke Korea Utara (Korut).
Larangan ini memicu kritik para aktivis hak asasi manusia (HAM) dan penolakan dari pembelot Korut. Para pembelot Korut menyatakan tidak akan berhenti mengirim selebaran berisi pesan-pesan ke tanah airnya.
Para pembelot dan juru kampanye lainnya di Korea Selatan selama beberapa dekade telah mengirimkan selebaran anti-Korut melalui perbatasan yang dijaga ketat, biasanya dengan balon atau dalam botol di sungai perbatasan.
Mereka juga mengirim makanan, obat-obatan, uang, radio mini, dan stik USB berisi berita dan drama Korea Selatan. (Baca Juga: Saudi Deklarasikan Kemenangan atas Covid-19)
Korea Utara telah lama mengecam praktik tersebut dan baru-baru ini meningkatkan kecamannya terhadapnya. (Lihat Infografis: Media Israel: Indonesia Ingin Normalisasi Hubungan dengan Israel)
Parlemen Korea Selatan melakukan voting pada Senin untuk mengamandemen Undang-Undang Perkembangan Hubungan Antar-Korea untuk melarang pengiriman bahan cetakan, barang, uang, dan barang berharga lainnya melintasi perbatasan yang dijaga ketat. (Lihat Video: Kasus Rizieq Shihab, Bupati Bogor Dicecar 50 Pertanyaan)
Ini juga membatasi siaran propaganda dengan pengeras suara, yang pernah dilakukan militer Korea Selatan sebagai bagian dari perang psikologis melawan Korea Utara.
Kedua Korea kemudian menurunkan peralatan pengeras suara itu setelah pertemuan puncak antara kedua pemimpin Korea pada 2018.
Larangan itu akan berlaku dalam tiga bulan dan para pelanggar akan menghadapi hukuman penjara tiga tahun atau denda USD27.400.
Perubahan itu disetujui meskipun ada upaya oleh sejumlah anggota parlemen oposisi untuk memblokir langkah partai berkuasa Presiden Moon Jae-in itu.
Rancangan UU itu diperkenalkan pada Juni setelah Kim Yo-jong, saudara perempuan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, mengatakan Korea Selatan harus melarang selebaran itu atau menghadapi "fase terburuk" dalam hubungan kedua Korea.
"Mereka mencoba membuat perintah Kim Yo-jong menjadi undang-undang dengan satu kata," ungkap Tae Yong-ho, anggota parlemen oposisi dan mantan diplomat Korea Utara.
Dia mengatakan RUU itu hanya akan membantu pemerintah Kim terus "memperbudak" rakyatnya.
Park Sang-hak, pembelot yang telah dicabut izinnya untuk kelompok peluncuran selebarannya dan menghadapi dakwaan, mengatakan dia tidak akan menghentikan kampanyenya yang telah berlangsung selama 15 tahun.
"Saya akan terus mengirimkan selebaran untuk mengatakan yang sebenarnya karena warga Korea Utara memiliki hak untuk mengetahui. Saya tidak takut dipenjara," ujar dia kepada Reuters.
Park dan 20 kelompok hak asasi lainnya di Korea Selatan bersumpah menantang undang-undang tersebut.
Human Rights Watch menyebut larangan itu sebagai "strategi yang salah arah" oleh Korea Selatan untuk mendapat dukungan Kim.
"Ini mengkriminalkan pengiriman uang kepada keluarga di Korea Utara dan menyangkal hak mereka atas informasi luar. Upaya seperti itu hanya berisiko mengundang provokasi dan tuntutan Korea Utara lebih lanjut," papar Shin Hee-seok dari Kelompok Kerja Keadilan Transisi.
Chris Smith, anggota Kongres Amerika Serikat dari Partai Republik yang turut memimpin komisi hak asasi manusia bipartisan, mengeluarkan pernyataan yang mengkritik amandemen tersebut.
Ketika ditanya tentang pernyataan Smith, Kementerian Unifikasi Korea Selatan, yang menangani hubungan dengan Korea Utara, mengatakan RUU itu adalah upaya minimal untuk melindungi nyawa dan keselamatan penduduk di wilayah perbatasan.
Larangan ini memicu kritik para aktivis hak asasi manusia (HAM) dan penolakan dari pembelot Korut. Para pembelot Korut menyatakan tidak akan berhenti mengirim selebaran berisi pesan-pesan ke tanah airnya.
Para pembelot dan juru kampanye lainnya di Korea Selatan selama beberapa dekade telah mengirimkan selebaran anti-Korut melalui perbatasan yang dijaga ketat, biasanya dengan balon atau dalam botol di sungai perbatasan.
Mereka juga mengirim makanan, obat-obatan, uang, radio mini, dan stik USB berisi berita dan drama Korea Selatan. (Baca Juga: Saudi Deklarasikan Kemenangan atas Covid-19)
Korea Utara telah lama mengecam praktik tersebut dan baru-baru ini meningkatkan kecamannya terhadapnya. (Lihat Infografis: Media Israel: Indonesia Ingin Normalisasi Hubungan dengan Israel)
Parlemen Korea Selatan melakukan voting pada Senin untuk mengamandemen Undang-Undang Perkembangan Hubungan Antar-Korea untuk melarang pengiriman bahan cetakan, barang, uang, dan barang berharga lainnya melintasi perbatasan yang dijaga ketat. (Lihat Video: Kasus Rizieq Shihab, Bupati Bogor Dicecar 50 Pertanyaan)
Ini juga membatasi siaran propaganda dengan pengeras suara, yang pernah dilakukan militer Korea Selatan sebagai bagian dari perang psikologis melawan Korea Utara.
Kedua Korea kemudian menurunkan peralatan pengeras suara itu setelah pertemuan puncak antara kedua pemimpin Korea pada 2018.
Larangan itu akan berlaku dalam tiga bulan dan para pelanggar akan menghadapi hukuman penjara tiga tahun atau denda USD27.400.
Perubahan itu disetujui meskipun ada upaya oleh sejumlah anggota parlemen oposisi untuk memblokir langkah partai berkuasa Presiden Moon Jae-in itu.
Rancangan UU itu diperkenalkan pada Juni setelah Kim Yo-jong, saudara perempuan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, mengatakan Korea Selatan harus melarang selebaran itu atau menghadapi "fase terburuk" dalam hubungan kedua Korea.
"Mereka mencoba membuat perintah Kim Yo-jong menjadi undang-undang dengan satu kata," ungkap Tae Yong-ho, anggota parlemen oposisi dan mantan diplomat Korea Utara.
Dia mengatakan RUU itu hanya akan membantu pemerintah Kim terus "memperbudak" rakyatnya.
Park Sang-hak, pembelot yang telah dicabut izinnya untuk kelompok peluncuran selebarannya dan menghadapi dakwaan, mengatakan dia tidak akan menghentikan kampanyenya yang telah berlangsung selama 15 tahun.
"Saya akan terus mengirimkan selebaran untuk mengatakan yang sebenarnya karena warga Korea Utara memiliki hak untuk mengetahui. Saya tidak takut dipenjara," ujar dia kepada Reuters.
Park dan 20 kelompok hak asasi lainnya di Korea Selatan bersumpah menantang undang-undang tersebut.
Human Rights Watch menyebut larangan itu sebagai "strategi yang salah arah" oleh Korea Selatan untuk mendapat dukungan Kim.
"Ini mengkriminalkan pengiriman uang kepada keluarga di Korea Utara dan menyangkal hak mereka atas informasi luar. Upaya seperti itu hanya berisiko mengundang provokasi dan tuntutan Korea Utara lebih lanjut," papar Shin Hee-seok dari Kelompok Kerja Keadilan Transisi.
Chris Smith, anggota Kongres Amerika Serikat dari Partai Republik yang turut memimpin komisi hak asasi manusia bipartisan, mengeluarkan pernyataan yang mengkritik amandemen tersebut.
Ketika ditanya tentang pernyataan Smith, Kementerian Unifikasi Korea Selatan, yang menangani hubungan dengan Korea Utara, mengatakan RUU itu adalah upaya minimal untuk melindungi nyawa dan keselamatan penduduk di wilayah perbatasan.
(sya)
Lihat Juga :
tulis komentar anda