Lebih dari 500 Ribu Muslim Uighur Kerja Paksa Jadi Pemetik Kapas
Selasa, 15 Desember 2020 - 15:58 WIB
BEIJING - Sebuah laporan terbaru mengungkap kondisi yang dialami ratusan ribu etnis minoritas di wilayah Xinjiang, barat laut China . Mereka dipaksa memetik kapas dengan tangan oleh negara melalui skema kerja paksa.
Sebuah laporan oleh lembaga pemikir yang berbasis di Washington, Center for Global Policy yang diterbitkan pada hari Senin - merujuk pada dokumen online pemerintah - mengatakan bahwa pada tahun 2018, tiga wilayah mayoritas Muslim Uighur di Xinjiang mengirim setidaknya 570.000 orang untuk memetik kapas sebagai bagian dari skema transfer tenaga kerja koersif yang dikelola negara.
Para peneliti memperkirakan bahwa jumlah total yang terlibat dalam pemetikan kapas di Xinjiang - yang sangat bergantung pada tenaga kerja manual - melebihi angka itu.
Xinjiang adalah pusat global untuk tanaman tersebut. Wilayah ini memproduksi lebih dari 20 persen kapas dunia, dengan laporan yang memperingatkan konsekuensi yang berpotensi drastis untuk rantai pasokan global.
Sekedar informasi, sekitar seperlima dari benang yang digunakan dalam produk Amerika berasal dari Xinjiang.
Aktivis hak asasi manusia mengatakan wilayah Xinjiang barat laut adalah rumah bagi jaringan luas kamp interniran di luar hukum yang telah memenjarakan setidaknya satu juta orang. Namun pemerintah China mengatakan jika kamp tersebut adalah pusat pelatihan kejuruan untuk melawan ekstremisme.
Beijing mengatakan bahwa semua tahanan telah "lulus" dari pusat-pusat tersebut, tetapi laporan menunjukkan bahwa banyak mantan narapidana telah dipindahkan ke pekerjaan pabrik berketerampilan rendah, sering kali dihubungkan dengan kamp.(Baca juga: Daftar Tahanan Bocor, Ungkap Cara Pemerintah China Tangkap Muslim Uighur )
Namun laporan lembaga think tank tersebut mengatakan peserta skema transfer tenaga kerja sangat diawasi oleh polisi, dengan transfer point-to-point, manajemen gaya militer dan pelatihan ideologis, mengutip dokumen pemerintah.
"Jelas bahwa transfer tenaga kerja untuk pemetikan kapas melibatkan risiko kerja paksa yang sangat tinggi," kata Adrian Zenz, yang mengungkap dokumen tersebut, dalam laporan itu.
"Beberapa minoritas mungkin menunjukkan tingkat persetujuan sehubungan dengan proses ini, dan mereka mungkin mendapatkan keuntungan secara finansial. Namun tidak mungkin untuk menentukan di mana paksaan berakhir dan di mana persetujuan lokal dapat dimulai," sambungnya seperti dikutip dari Straits Times, Selasa (15/12/2020).
Laporan itu juga mengatakan ada insentif ideologis yang kuat untuk menegakkan skema tersebut, karena peningkatan pendapatan pedesaan memungkinkan para pejabat mencapai target pengentasan kemiskinan yang diamanatkan negara.(Baca juga: Tiga Tahun Berpisah, Keluarga Muslim Uighur Bersatu Kembali di Australia )
China membantah keras tuduhan kerja paksa yang melibatkan etnis Uighur di Xinjiang, dan menuduh AS ingin menekan perusahaan Xinjiang.
Beijing juga mengatakan program pelatihan, skema kerja, dan pendidikan yang lebih baik telah membantu memberantas ekstremisme di wilayah tersebut.
Awal bulan ini, AS melarang impor kapas yang diproduksi oleh Korps Produksi dan Konstruksi Xinjiang, sebuah entitas paramiliter utama, yang mencakup sekitar sepertiga dari tanaman yang diproduksi di seluruh wilayah itu.
RUU lain yang diusulkan melarang semua impor dari Xinjiang belum lolos ke Senat AS.(Baca juga: Pertama Kalinya, Paus Francis Sebut Muslim Uighur Teraniaya )
Beberapa merek internasional termasuk Adidas, GAP dan Nike telah dituduh menggunakan tenaga kerja paksa Uighur dalam rantai pasokan tekstil mereka, menurut laporan bulan Maret oleh Australian Strategic Policy Institute.
Sebuah laporan oleh lembaga pemikir yang berbasis di Washington, Center for Global Policy yang diterbitkan pada hari Senin - merujuk pada dokumen online pemerintah - mengatakan bahwa pada tahun 2018, tiga wilayah mayoritas Muslim Uighur di Xinjiang mengirim setidaknya 570.000 orang untuk memetik kapas sebagai bagian dari skema transfer tenaga kerja koersif yang dikelola negara.
Para peneliti memperkirakan bahwa jumlah total yang terlibat dalam pemetikan kapas di Xinjiang - yang sangat bergantung pada tenaga kerja manual - melebihi angka itu.
Xinjiang adalah pusat global untuk tanaman tersebut. Wilayah ini memproduksi lebih dari 20 persen kapas dunia, dengan laporan yang memperingatkan konsekuensi yang berpotensi drastis untuk rantai pasokan global.
Sekedar informasi, sekitar seperlima dari benang yang digunakan dalam produk Amerika berasal dari Xinjiang.
Aktivis hak asasi manusia mengatakan wilayah Xinjiang barat laut adalah rumah bagi jaringan luas kamp interniran di luar hukum yang telah memenjarakan setidaknya satu juta orang. Namun pemerintah China mengatakan jika kamp tersebut adalah pusat pelatihan kejuruan untuk melawan ekstremisme.
Beijing mengatakan bahwa semua tahanan telah "lulus" dari pusat-pusat tersebut, tetapi laporan menunjukkan bahwa banyak mantan narapidana telah dipindahkan ke pekerjaan pabrik berketerampilan rendah, sering kali dihubungkan dengan kamp.(Baca juga: Daftar Tahanan Bocor, Ungkap Cara Pemerintah China Tangkap Muslim Uighur )
Namun laporan lembaga think tank tersebut mengatakan peserta skema transfer tenaga kerja sangat diawasi oleh polisi, dengan transfer point-to-point, manajemen gaya militer dan pelatihan ideologis, mengutip dokumen pemerintah.
"Jelas bahwa transfer tenaga kerja untuk pemetikan kapas melibatkan risiko kerja paksa yang sangat tinggi," kata Adrian Zenz, yang mengungkap dokumen tersebut, dalam laporan itu.
"Beberapa minoritas mungkin menunjukkan tingkat persetujuan sehubungan dengan proses ini, dan mereka mungkin mendapatkan keuntungan secara finansial. Namun tidak mungkin untuk menentukan di mana paksaan berakhir dan di mana persetujuan lokal dapat dimulai," sambungnya seperti dikutip dari Straits Times, Selasa (15/12/2020).
Laporan itu juga mengatakan ada insentif ideologis yang kuat untuk menegakkan skema tersebut, karena peningkatan pendapatan pedesaan memungkinkan para pejabat mencapai target pengentasan kemiskinan yang diamanatkan negara.(Baca juga: Tiga Tahun Berpisah, Keluarga Muslim Uighur Bersatu Kembali di Australia )
China membantah keras tuduhan kerja paksa yang melibatkan etnis Uighur di Xinjiang, dan menuduh AS ingin menekan perusahaan Xinjiang.
Beijing juga mengatakan program pelatihan, skema kerja, dan pendidikan yang lebih baik telah membantu memberantas ekstremisme di wilayah tersebut.
Awal bulan ini, AS melarang impor kapas yang diproduksi oleh Korps Produksi dan Konstruksi Xinjiang, sebuah entitas paramiliter utama, yang mencakup sekitar sepertiga dari tanaman yang diproduksi di seluruh wilayah itu.
RUU lain yang diusulkan melarang semua impor dari Xinjiang belum lolos ke Senat AS.(Baca juga: Pertama Kalinya, Paus Francis Sebut Muslim Uighur Teraniaya )
Beberapa merek internasional termasuk Adidas, GAP dan Nike telah dituduh menggunakan tenaga kerja paksa Uighur dalam rantai pasokan tekstil mereka, menurut laporan bulan Maret oleh Australian Strategic Policy Institute.
(ber)
Lihat Juga :
tulis komentar anda