Hong Kong, London, dan Paris Kota Paling Ramah untuk Pejalan Kaki
Jum'at, 16 Oktober 2020 - 06:35 WIB
NEW YORK - Hong Kong , London, Paris, dan Bogota masuk dalam deretan kota paling ramah bagi pejalan kaki pada tahun ini. Penentuan itu ditetapkan berdasarkan kualitas trotoar atau sistem penyeberangan, keamanan dan keselamatan, kenyamanan, hingga kemudahan menjangkau institusi pendidikan dan kesehatan.
Dalam laporan terbaru yang diterbitkan Institute for Transportation and Develpoment Policy (ITDP) disebutkan bahwa kota yang rapi dan mendukung pejalan kaki diperlukan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan membangun solidaritas. Menurut lembaga tersebut, saat ini kebanyakan kota didominasi jalan raya dan kendaraan.
Kota-kota di Amerika Serikat (AS) juga rata-rata kurang optimal bagi pejalan kaki karena terlalu renggang. Akan tetapi, hal itu tidak berarti jalur pedestrian di AS tidak aman dan nyaman. Namun, jarak dari titik A ke titik B terlalu jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki sehingga sebagian besar warga AS harus menggunakan kendaraan.
Dari kota-kota yang dihuni lebih dari 5 juta penduduk, hanya Bogota di Kolombia yang dianggap ramah bagi pejalan kaki. Masyarakat di sana umumnya tinggal 100 meter dari taman atau tempat nongkrong. Dengan antusiasme yang tinggi untuk berjalan kaki, pemerintah pun terdorong memperbaiki jalur pedestrian. (Baca: Inilah Tabiat Buruk Suami yang Harus Dijauhi)
Hong Kong, Moskow, Paris, dan London juga termasuk kota yang memerhatikan detail tata kota. Bahkan, hampir 85% wilayah di Hong Kong sangat mudah mengakses tempat yang terbebas kendaraan. Karena itu, tak heran jika warga lokal senang berjalan kaki di kota mereka tinggal, sekalipun sedang musim dingin.
Selain mengukur kemudahan akses menuju tempat bebas kendaraan, ITDP juga mengukur akses menuju institusi pendidikan dan fasilitas kesehatan di bawah 1.000 meter. Paris unggul dengan 85% kompleks perumahan terletak 1.000 meter dari sekolah dan klinik. Di belakang Paris, ada Lima (Peru), London (Inggris), Santiago (Chile), dan Bogota (Kolombia).
“Kami juga mengukur tata letak serta luas setiap perumahan, apartemen, dan gedung beserta sistem jalur pedestriannya,” ungkap ITDP, dikutip The Guardian. “Sebuah kota dapat dikatakan ramah pejalan kaki jika pejalan kaki dapat berjalan ke tempat tujuan lebih dekat dan cepat tanpa perlu mengitari gedung-gedung tinggi,” katanya.
Dalam kategori terakhir, posisi teratas diduduki Khartoum (Sudan), Bogota, Lima (Peru), Karachi (Pakistan), dan Tokyo (Jepang). Menurut ITDP, kota yang didesain ramah pejalan kaki memiliki tingkat polusi dan obesitas yang lebih rendah. Selain itu, anak-anak juga lebih rutin bermain di luar ruangan, kecelakaan lalu lintas sedikit, dan kinerja bisnis lebih baik. (Baca juga: Pendidikan Guru Penggerak Diikuti 2.800 Guru)
“Para pejalan kaki biasanya menjadi korban kecelakaan lalu lintas,” ujar Heather Thompson, kepala ITDP. “Demi membantu menciptakan kondisi lingkungan jalur pedestrian yang aman, selamat, dan nyaman, pemerintah kota perlu menyeimbangkan antara jalur transportasi dengan ruang bebas kendaraan,” tambahnya.
Kebutuhan itu kian mendesak menyusul mewabahnya virus corona atau Covid-19 yang menurunkan motivasi masyarakat untuk berjalan kaki atau menggunakan transportasi umum. Saat ini banyak masyarakat yang memilih menggunakan kendaraan pribadi, baik roda empat ataupun dua, walaupun berjarak puluhan meter.
“Kota-kota di dunia kini dipenuhi kendaraan,” kata Taylor Reich, anggota peneliti ITDP. “Jika kalian ingin melihat buruknya akses jalan kaki, kalian dapat melihatnya di AS di mana tata kotanya dibuat sangat renggang. Trotoarnya bagus, tapi masyarakat mustahil berjalan kaki menuju toko atau sekolah karena terlalu jauh.”
Indianapolis merupakan kota yang dianggap tidak ramah pejalan kaki di AS. Hanya sekitar 4% penduduk yang dapat mengakses fasilitas umum dan rumah sakit dari rumah dengan berjalan kaki, sedangkan menuju taman hanya 9%. Artinya, lebih dari 90% penduduk harus menggunakan kendaraan menuju sekolah. (Baca juga: Jaga Kesehatan Mata, Batasi Anak Main Gadget)
“Para pembuat kebijakan perlu merencanakan tata kota yang lebih baik untuk mendukung kesehatan masyarakat. Salah satunya dengan memadukan penataan permukiman, pertokoan, dan tempat bermain outdoor serta melengkapi jalan raya dengan trotoar lebar, bangku di setiap meter, dan peneduh,” kata Reich.
ITDP menyatakan, meski membutuhkan investasi yang besar, perancangan ulang tata kota bukanlah tugas yang perlu diselesaikan secara instan. Kota-kota di dunia dapat belajar dari Kota Pune di India yang sukses melakukan perubahan dan memprioritaskan jalur pedestrian, pesepeda, serta taman bermain bagi anak-anak.
Hal yang sama juga dilakukan Pemerintah Bogota. Mereka berambisi untuk menciptakan kota yang lebih banyak dipadati ruang publik dibandingkan kendaraan. Saat ini mereka fokus mengutamakan pejalan kaki, pesepeda, dan transportasi umum. Program itu berjalan dengan lancar sejak beberapa tahun terakhir.
“Banyak orang yang berkeinginan untuk berjalan kaki, tapi situasinya di beberapa negara tidak memungkinkan,” ujar Mary Creagh dari Living Streets. (Lihat videonya: Satukan Tekad untuk Memenangkan Perang Melawan Covid-19)
“Padahal, seperti yang diungkapkan ITDP, kota yang ramah pejalan kaki dapat mengurangi obesitas dan menciptakan lingkungan yang lebih sehat di masa depan,” katanya. (Muh Shamil)
Dalam laporan terbaru yang diterbitkan Institute for Transportation and Develpoment Policy (ITDP) disebutkan bahwa kota yang rapi dan mendukung pejalan kaki diperlukan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan membangun solidaritas. Menurut lembaga tersebut, saat ini kebanyakan kota didominasi jalan raya dan kendaraan.
Kota-kota di Amerika Serikat (AS) juga rata-rata kurang optimal bagi pejalan kaki karena terlalu renggang. Akan tetapi, hal itu tidak berarti jalur pedestrian di AS tidak aman dan nyaman. Namun, jarak dari titik A ke titik B terlalu jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki sehingga sebagian besar warga AS harus menggunakan kendaraan.
Dari kota-kota yang dihuni lebih dari 5 juta penduduk, hanya Bogota di Kolombia yang dianggap ramah bagi pejalan kaki. Masyarakat di sana umumnya tinggal 100 meter dari taman atau tempat nongkrong. Dengan antusiasme yang tinggi untuk berjalan kaki, pemerintah pun terdorong memperbaiki jalur pedestrian. (Baca: Inilah Tabiat Buruk Suami yang Harus Dijauhi)
Hong Kong, Moskow, Paris, dan London juga termasuk kota yang memerhatikan detail tata kota. Bahkan, hampir 85% wilayah di Hong Kong sangat mudah mengakses tempat yang terbebas kendaraan. Karena itu, tak heran jika warga lokal senang berjalan kaki di kota mereka tinggal, sekalipun sedang musim dingin.
Selain mengukur kemudahan akses menuju tempat bebas kendaraan, ITDP juga mengukur akses menuju institusi pendidikan dan fasilitas kesehatan di bawah 1.000 meter. Paris unggul dengan 85% kompleks perumahan terletak 1.000 meter dari sekolah dan klinik. Di belakang Paris, ada Lima (Peru), London (Inggris), Santiago (Chile), dan Bogota (Kolombia).
“Kami juga mengukur tata letak serta luas setiap perumahan, apartemen, dan gedung beserta sistem jalur pedestriannya,” ungkap ITDP, dikutip The Guardian. “Sebuah kota dapat dikatakan ramah pejalan kaki jika pejalan kaki dapat berjalan ke tempat tujuan lebih dekat dan cepat tanpa perlu mengitari gedung-gedung tinggi,” katanya.
Dalam kategori terakhir, posisi teratas diduduki Khartoum (Sudan), Bogota, Lima (Peru), Karachi (Pakistan), dan Tokyo (Jepang). Menurut ITDP, kota yang didesain ramah pejalan kaki memiliki tingkat polusi dan obesitas yang lebih rendah. Selain itu, anak-anak juga lebih rutin bermain di luar ruangan, kecelakaan lalu lintas sedikit, dan kinerja bisnis lebih baik. (Baca juga: Pendidikan Guru Penggerak Diikuti 2.800 Guru)
“Para pejalan kaki biasanya menjadi korban kecelakaan lalu lintas,” ujar Heather Thompson, kepala ITDP. “Demi membantu menciptakan kondisi lingkungan jalur pedestrian yang aman, selamat, dan nyaman, pemerintah kota perlu menyeimbangkan antara jalur transportasi dengan ruang bebas kendaraan,” tambahnya.
Kebutuhan itu kian mendesak menyusul mewabahnya virus corona atau Covid-19 yang menurunkan motivasi masyarakat untuk berjalan kaki atau menggunakan transportasi umum. Saat ini banyak masyarakat yang memilih menggunakan kendaraan pribadi, baik roda empat ataupun dua, walaupun berjarak puluhan meter.
“Kota-kota di dunia kini dipenuhi kendaraan,” kata Taylor Reich, anggota peneliti ITDP. “Jika kalian ingin melihat buruknya akses jalan kaki, kalian dapat melihatnya di AS di mana tata kotanya dibuat sangat renggang. Trotoarnya bagus, tapi masyarakat mustahil berjalan kaki menuju toko atau sekolah karena terlalu jauh.”
Indianapolis merupakan kota yang dianggap tidak ramah pejalan kaki di AS. Hanya sekitar 4% penduduk yang dapat mengakses fasilitas umum dan rumah sakit dari rumah dengan berjalan kaki, sedangkan menuju taman hanya 9%. Artinya, lebih dari 90% penduduk harus menggunakan kendaraan menuju sekolah. (Baca juga: Jaga Kesehatan Mata, Batasi Anak Main Gadget)
“Para pembuat kebijakan perlu merencanakan tata kota yang lebih baik untuk mendukung kesehatan masyarakat. Salah satunya dengan memadukan penataan permukiman, pertokoan, dan tempat bermain outdoor serta melengkapi jalan raya dengan trotoar lebar, bangku di setiap meter, dan peneduh,” kata Reich.
ITDP menyatakan, meski membutuhkan investasi yang besar, perancangan ulang tata kota bukanlah tugas yang perlu diselesaikan secara instan. Kota-kota di dunia dapat belajar dari Kota Pune di India yang sukses melakukan perubahan dan memprioritaskan jalur pedestrian, pesepeda, serta taman bermain bagi anak-anak.
Hal yang sama juga dilakukan Pemerintah Bogota. Mereka berambisi untuk menciptakan kota yang lebih banyak dipadati ruang publik dibandingkan kendaraan. Saat ini mereka fokus mengutamakan pejalan kaki, pesepeda, dan transportasi umum. Program itu berjalan dengan lancar sejak beberapa tahun terakhir.
“Banyak orang yang berkeinginan untuk berjalan kaki, tapi situasinya di beberapa negara tidak memungkinkan,” ujar Mary Creagh dari Living Streets. (Lihat videonya: Satukan Tekad untuk Memenangkan Perang Melawan Covid-19)
“Padahal, seperti yang diungkapkan ITDP, kota yang ramah pejalan kaki dapat mengurangi obesitas dan menciptakan lingkungan yang lebih sehat di masa depan,” katanya. (Muh Shamil)
(ysw)
tulis komentar anda