Profil Jimmy Carter, Mantan Presiden AS yang Sering Dicap Anti-Israel karena Mendukung Hak Palestina

Senin, 30 Desember 2024 - 18:07 WIB
Pada Juli 1946, Carter menikahi Rosalynn Smith. Bahtera rumah tangga mereka dikaruniai tiga putra, yakni John William, James Earl III, Donnel Jeffrey, serta seorang putri bernama Amy Lynn.

Saat ayahnya meninggal pada 1953, Carter keluar dari Angkatan Laut dan pulang ke Georgia. Di sana, dia mengambil alih pertanian dan perusahaan keluarga, Carter's Warehouse.

Menariknya, Carter dengan cepat menjadi pemimpin warga di dewan daerah. Pada 1962, dia memenangkan pemilihan Senat Georgia sebelum akhirnya menjadi gubernur Georgia pada 1972.

Pada 12 Desember 1974, Carter mengumumkan pencalonan sebagai Presiden Amerika Serikat. Dia lalu terpilih sebagai presiden ke-39 AS dari Partai Demokrat pada 2 November 1976.

Sebagai Presiden AS, Carter berhasil membuat banyak pencapaian. Di antaranya menginisiasi perjanjian dagang di Terusan Panama, menyelesaikan negosiasi perjanjian pembatasan nuklir SALT II dengan Uni Soviet hingga memimpin perjanjian perdamaian antara Mesir dan Israel.

Pada kesehariannya, Carter juga rajin menulis. Tercatat, setidaknya ada 32 buku karyanya yang terbit sejak 1975 hingga 2018.

Carter bersama istrinya kemudian mendirikan pusat nirlaba Carter Center yang aktif membahas isu kebijakan publik. Pada 10 Desember 2002, Komite Nobel Norwegia menganugerahkan Hadiah Nobel Perdamaian kepada Jimmy Carter atas usahanya yang tak kenal lelah selama puluhan tahun untuk menemukan solusi damai bagi konflik internasional, memajukan demokrasi dan hak asasi manusia, dan mempromosikan pembangunan ekonomi dan sosial.

Jimmy Carter Sering Dicap Anti-Israel

Jimmy Carter memang menjadi perantara perjanjian damai bersejarah antara Israel-Mesir. Kendati begitu, dia mendapat status ‘kurang bagus’ di beberapa sudut komunitas Yahudi karena kritiknya terhadap Israel.

Mengutip Haaretz, Carter secara rutin dicap sebagai 'anti-Israel' atas dukungannya terhadap hak-hak kolektif Palestina dan kritiknya terhadap pendudukan. Dia semakin kritis terhadap Tel Aviv yang berpuncak pada penerbitan bukunya tahun 2006 berjudul "Palestine: Peace Not Apartheid."

Kemunculan buku tersebut menyebabkan beberapa pihak di dunia Yahudi menuduh Carter sebagai penganut paham antisemitisme. Sementara pihak lain melihat anggapan tersebut sebagai sesuatu yang mengaburkan jasa-jasa atau warisan Carter untuk Israel di masa lalu.
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More