Ini Analisis Nasib Timur Tengah Jika Pemberontak Suriah Gulingkan Rezim Assad
Minggu, 08 Desember 2024 - 07:42 WIB
Bagi Rusia, jatuhnya rezim Suriah dapat berarti kehilangan sekutu terdekatnya di Timur Tengah dan melemahkan kemampuannya untuk memproyeksikan kekuatan saat berperang di Ukraina.
Bagi Iran, hal itu dapat menghancurkan apa yang disebut Poros Perlawanan, yang terdiri dari negara-negara sekutu dan milisi.
Kemajuan yang diraih pemberontak Suriah menandai ujian nyata pertama dari komitmen negara-negara Arab yang kuat untuk berdamai dengan Assad.
Pada puncak perang saudara Suriah, negara-negara Islam Sunni, termasuk kekuatan regional Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA), memutuskan hubungan dengan rezim Assad yang bersekutu dengan Iran, bergerak untuk mengisolasinya dan memberikan dukungan mereka kepada kelompok-kelompok oposisi yang mencoba menggulingkannya, melihatnya sebagai kesempatan untuk mengekang pengaruh regional Teheran.
Namun Assad, yang dibantu oleh Rusia, Iran, dan Hizbullah Lebanon, selamat dan merebut kembali wilayah yang direbut pemberontak. Di bawah sanksi berat Amerika Serikat (AS), Suriah berubah menjadi apa yang oleh beberapa ahli disebut sebagai "negara narkoba”, yang memicu krisis narkoba di negara-negara tetangga.
Empat puluh tujuh juta pil amfetamin yang disembunyikan dalam pengiriman tepung disita oleh otoritas Arab Saudi di sebuah gudang setelah tiba melalui pelabuhan kering ibu kota; Riyadh, kata Kementerian Dalam Negeri Saudi dalam sebuah pernyataan pada hari Rabu.
Realitas baru Suriah mendorong negara-negara Arab untuk mengulurkan tangan kepada rezim Assad, dan selama beberapa tahun terakhir, Arab Saudi dan UEA telah memimpin upaya rehabilitasi regional dan internasionalnya. Pada tahun 2023, rezim Suriah diterima kembali ke Liga Arab.
Lebih dari satu dekade setelah mereka mendukung oposisi Suriah, negara-negara Teluk Arab, termasuk Arab Saudi dan UEA, sekarang berpihak pada Assad karena ia sekali lagi menghadapi pemberontakan.
“Pada tahun 2011, sejumlah besar negara dengan cepat berpandangan bahwa mereka akan lebih baik jika Assad jatuh dan mereka ingin menyingkirkannya tetapi Saudi, Emirat, dan negara-negara lain di kawasan itu melihat ini sekarang sebagai situasi yang menantang dan tidak stabil bagi mereka jika Assad jatuh pada titik ini,” kata Trita Parsi, wakil presiden eksekutif Quincy Institute yang berpusat di Washington DC.
Bagi Iran, hal itu dapat menghancurkan apa yang disebut Poros Perlawanan, yang terdiri dari negara-negara sekutu dan milisi.
Nasib Perdamaian Assad dengan Negara-negara Islam Sunni
Kemajuan yang diraih pemberontak Suriah menandai ujian nyata pertama dari komitmen negara-negara Arab yang kuat untuk berdamai dengan Assad.
Pada puncak perang saudara Suriah, negara-negara Islam Sunni, termasuk kekuatan regional Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA), memutuskan hubungan dengan rezim Assad yang bersekutu dengan Iran, bergerak untuk mengisolasinya dan memberikan dukungan mereka kepada kelompok-kelompok oposisi yang mencoba menggulingkannya, melihatnya sebagai kesempatan untuk mengekang pengaruh regional Teheran.
Namun Assad, yang dibantu oleh Rusia, Iran, dan Hizbullah Lebanon, selamat dan merebut kembali wilayah yang direbut pemberontak. Di bawah sanksi berat Amerika Serikat (AS), Suriah berubah menjadi apa yang oleh beberapa ahli disebut sebagai "negara narkoba”, yang memicu krisis narkoba di negara-negara tetangga.
Empat puluh tujuh juta pil amfetamin yang disembunyikan dalam pengiriman tepung disita oleh otoritas Arab Saudi di sebuah gudang setelah tiba melalui pelabuhan kering ibu kota; Riyadh, kata Kementerian Dalam Negeri Saudi dalam sebuah pernyataan pada hari Rabu.
Realitas baru Suriah mendorong negara-negara Arab untuk mengulurkan tangan kepada rezim Assad, dan selama beberapa tahun terakhir, Arab Saudi dan UEA telah memimpin upaya rehabilitasi regional dan internasionalnya. Pada tahun 2023, rezim Suriah diterima kembali ke Liga Arab.
Lebih dari satu dekade setelah mereka mendukung oposisi Suriah, negara-negara Teluk Arab, termasuk Arab Saudi dan UEA, sekarang berpihak pada Assad karena ia sekali lagi menghadapi pemberontakan.
“Pada tahun 2011, sejumlah besar negara dengan cepat berpandangan bahwa mereka akan lebih baik jika Assad jatuh dan mereka ingin menyingkirkannya tetapi Saudi, Emirat, dan negara-negara lain di kawasan itu melihat ini sekarang sebagai situasi yang menantang dan tidak stabil bagi mereka jika Assad jatuh pada titik ini,” kata Trita Parsi, wakil presiden eksekutif Quincy Institute yang berpusat di Washington DC.
Lihat Juga :
tulis komentar anda