Media AS: Gelombang I Tak Berujung, Indonesia Gagal Kendalikan Virus Corona

Jum'at, 21 Agustus 2020 - 08:43 WIB
Yang pasti, lebih dari 144.000 kasus infeksi yang dikonfirmasi di Indonesia dari populasi 270 juta jauh lebih sedikit daripada jutaan yang dilaporkan di Amerika Serikat, Brazil, dan India, dan di bawah negara tetangganya; Filipina, yang memiliki kurang dari setengah populasi Indonesia. Tetapi skala sebenarnya dari wabah di Indonesia mungkin masih tersembunyi. Sekadari diketahui, India dan Filipina melakukan tes empat kali lebih banyak per kapita, sementara Amerika Serikat menguji 30 kali lebih banyak.

Statistik dari Our World in Data, sebuah proyek penelitian nirlaba yang berbasis di Universitas Oxford, menunjukkan Indonesia berada di peringkat ke-83 dari 86 negara yang disurvei untuk keseluruhan tes per kapita.

“Kekhawatiran kami belum mencapai puncak, puncaknya bisa datang sekitar Oktober dan mungkin belum selesai tahun ini,” kata Iwan Ariawan, ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia. “Saat ini kami tidak dapat mengatakan bahwa ini terkendali.”

"Murni Tak Masuk Akal"

Pada awal pandemi, pemerintah Indonesia lambat menanggapi dan enggan mengungkapkan apa yang diketahuinya kepada publik. Hal itu disampaikan lebih dari 20 pejabat pemerintah, manajer laboratorium uji, dan pakar kesehatan masyarakat yang berbicara kepada Reuters. (Baca juga: Media Australia Sebut Indonesia Akan Jadi Hotspot Covid-19 Dunia )

Meskipun kasus melonjak di negara-negara tetangga dan memiliki 3.000 alat uji polymerase chain reaction (PCR) atau reaksi berantai polimerase (PCR)—tes yang disetujui WHO untuk mendeteksi virus corona—siap pada awal Februari, pemerintah mengatakan kurang dari 160 tes dilakukan pada 2 Maret.

Pada 13 Maret, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa pemerintah menahan informasi agar tidak "menimbulkan kepanikan". Selama dua minggu pertama bulan Maret, pemerintah menyembunyikan setidaknya setengah dari kasus infeksi harian yang disadari. Demikian diungkap dua orang yang memiliki akses ke data tersebut kepada Reuters. Kedua orang tersebut mengatakan bahwa mereka kemudian dilarang melihat data mentah.

Alvin Lie, seorang komisaris di kantor Ombudsman Indonesia, mengatakan seruan pada bulan Maret oleh Presiden Jokowi untuk perluasan tes diagnostik cepat besar-besaran mungkin telah merusak pengujian negara.

Studi ilmiah telah menunjukkan tes cepat, yang menguji sampel darah untuk antibodi, ternyata jauh kurang akurat daripada metode PCR, yang menguji penyeka dari hidung atau tenggorokan untuk mengetahui materi genetik. Tiga manajer lab mengatakan kepada Reuters bahwa dorongan Jokowi untuk menggunakan pengujian yang kurang andal mengalihkan sumber daya dari pengujian PCR.

Alvin Lie mengatakan kepada Reuters bahwa para importir tes cepat, termasuk perusahaan besar milik negara dan perusahaan swasta, memperoleh "keuntungan besar" dengan mengenakan biaya kepada konsumen hingga Rp1 juta, meskipun setiap tes hanya serharga Rp50.000.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More