Media AS: Gelombang I Tak Berujung, Indonesia Gagal Kendalikan Virus Corona

Jum'at, 21 Agustus 2020 - 08:43 WIB
Drg Dian Chandra mengenakan alat pelindung diri (APD) memeriksa gigi pasien BPJS Kesehatan Raisa Arifa Ammara, 6 di Klinik Dr Ranny di Jalan Buaran Raya, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (19/8/2020). Foto/SINDOnews.com/Astra Bonardo
JAKARTA - Media yang berbasis di Amerika Serikat (AS), Reuters, menyebut Indonesia gagal mengendalikan pandemi virus corona baru ( Covid-19 ). Berbagai saran perawatan tidak ortodoks dari pejabat kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun menjadi sorotan.

"Endless first wave: how Indonesia failed to control coronavirus (Gelombang pertama tak berujung: bagaimana Indonesia gagal mengendalikan virus corona)," bunyi judul media tersebut dalam laporannya 20 Agustus 2020.

Laporan dimulai dari klaim Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan bahwa jus manggis herbal sebagai obat virus corona . Saran Luhut itu adalah yang terbaru dari serangkaian perawatan tidak ortodoks yang diajukan oleh kabinet presiden selama enam bulan terakhir, mulai dari doa, nasi yang dibungkus daun pisang hingga kalung kayu putih.



Solusi tersebut mencerminkan pendekatan yang tidak ilmiah untuk memerangi virus corona di negara terpadat keempat di dunia, di mana tingkat pengujiannya termasuk yang terendah di dunia, pelacakan kontak minimal, dan pihak berwenang telah menolak penguncian atau lockdown bahkan saat kasus infeksi meningkat.

Indonesia secara resmi telah melaporkan pada Kamis (20/8/2020) ada 147.211 kasus infeksi, 100.674 pasien sembuh, dan 6.418 orang meninggal terkait Covid-19. Jumlah korban meninggal itu tercatat yang tertinggi di Asia Tenggara. (Baca: Ilmuwan China Lari ke AS: Covid-19 Dibuat di Lab Militer Partai Komunis )

Indonesia, menurut laporan Reuters, tidak menunjukkan tanda-tanda membendung virus. Sekarang virus ini memiliki penyebaran infeksi tercepat di Asia Timur, dengan 17 persen orang dinyatakan positif, meningkat hampir 25 persen di luar Ibu Kota Indonesia; Jakarta. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), angka di atas 5 persen berarti wabah tidak terkendali.

“Virus ini sudah menyebar ke seluruh Indonesia. Yang kami lakukan pada dasarnya adalah kekebalan kawanan (herd immunity)," kata Prijo Sidipratomo, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran di Jakarta. “Jadi, kita harus menggali banyak, banyak kuburan," katanya lagi.

Kekebalan kawanan menggambarkan skenario di mana sebagian besar populasi tertular virus dan kemudian kekebalan yang meluas menghentikan penyebaran penyakit.

Juru bicara pemerintah Wiku Adisasmito tidak menanggapi pertanyaan rinci dari Reuters. Ia mengatakan, angka penularan merupakan "peringatan bagi Indonesia untuk terus meningkatkan upaya penanganannya", dan kasus positif per kapita di Indonesia lebih rendah dari kebanyakan negara. Kantor Presiden Joko Widodo tidak menanggapi pertanyaan yang dikirim oleh Reuters.

Yang pasti, lebih dari 144.000 kasus infeksi yang dikonfirmasi di Indonesia dari populasi 270 juta jauh lebih sedikit daripada jutaan yang dilaporkan di Amerika Serikat, Brazil, dan India, dan di bawah negara tetangganya; Filipina, yang memiliki kurang dari setengah populasi Indonesia. Tetapi skala sebenarnya dari wabah di Indonesia mungkin masih tersembunyi. Sekadari diketahui, India dan Filipina melakukan tes empat kali lebih banyak per kapita, sementara Amerika Serikat menguji 30 kali lebih banyak.

Statistik dari Our World in Data, sebuah proyek penelitian nirlaba yang berbasis di Universitas Oxford, menunjukkan Indonesia berada di peringkat ke-83 dari 86 negara yang disurvei untuk keseluruhan tes per kapita.

“Kekhawatiran kami belum mencapai puncak, puncaknya bisa datang sekitar Oktober dan mungkin belum selesai tahun ini,” kata Iwan Ariawan, ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia. “Saat ini kami tidak dapat mengatakan bahwa ini terkendali.”

"Murni Tak Masuk Akal"

Pada awal pandemi, pemerintah Indonesia lambat menanggapi dan enggan mengungkapkan apa yang diketahuinya kepada publik. Hal itu disampaikan lebih dari 20 pejabat pemerintah, manajer laboratorium uji, dan pakar kesehatan masyarakat yang berbicara kepada Reuters. (Baca juga: Media Australia Sebut Indonesia Akan Jadi Hotspot Covid-19 Dunia )

Meskipun kasus melonjak di negara-negara tetangga dan memiliki 3.000 alat uji polymerase chain reaction (PCR) atau reaksi berantai polimerase (PCR)—tes yang disetujui WHO untuk mendeteksi virus corona—siap pada awal Februari, pemerintah mengatakan kurang dari 160 tes dilakukan pada 2 Maret.

Pada 13 Maret, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa pemerintah menahan informasi agar tidak "menimbulkan kepanikan". Selama dua minggu pertama bulan Maret, pemerintah menyembunyikan setidaknya setengah dari kasus infeksi harian yang disadari. Demikian diungkap dua orang yang memiliki akses ke data tersebut kepada Reuters. Kedua orang tersebut mengatakan bahwa mereka kemudian dilarang melihat data mentah.

Alvin Lie, seorang komisaris di kantor Ombudsman Indonesia, mengatakan seruan pada bulan Maret oleh Presiden Jokowi untuk perluasan tes diagnostik cepat besar-besaran mungkin telah merusak pengujian negara.

Studi ilmiah telah menunjukkan tes cepat, yang menguji sampel darah untuk antibodi, ternyata jauh kurang akurat daripada metode PCR, yang menguji penyeka dari hidung atau tenggorokan untuk mengetahui materi genetik. Tiga manajer lab mengatakan kepada Reuters bahwa dorongan Jokowi untuk menggunakan pengujian yang kurang andal mengalihkan sumber daya dari pengujian PCR.

Alvin Lie mengatakan kepada Reuters bahwa para importir tes cepat, termasuk perusahaan besar milik negara dan perusahaan swasta, memperoleh "keuntungan besar" dengan mengenakan biaya kepada konsumen hingga Rp1 juta, meskipun setiap tes hanya serharga Rp50.000.

Pada pertengahan April, pemerintah provinsi mengatakan tes cepat di provinsi di Jawa Barat, Bali, dan Yogyakarta menghasilkan ratusan negatif palsu dan positif palsu.

Tetapi tes tersebut terus digunakan secara luas dan butuh waktu hingga Juli untuk menghentikan impor alat tes cepat dan bagi pemerintah untuk memberlakukan batasan harga sebesar Rp150.000. Pada bulan Juli, Indonesia juga secara resmi menyarankan pemerintah provinsi dan lainnya untuk tidak menggunakan alat tes cepat untuk tujuan diagnostik dalam pedoman terbaru untuk pencegahan dan pengendalian COvid-19.

Tetapi Alvin Lie mengatakan ada persediaan yang sangat besar dan tes cepat masih dilakukan secara luas, termasuk untuk menyaring pekerja kantor dan pelancong untuk memungkinkan mereka bergerak bebas selama 14 hari.

“Itu seperti mengatakan selama 14 hari ke depan setelah tes cepat mereka bebas dari virus. Itu benar-benar tidak masuk akal. Semua itu menunjukkan, dan tidak terlalu akurat, mereka bebas dari virus saat sampel diambil," kata Alvin.

Adisasmito menolak berkomentar apakah seruan presiden untuk tes cepat merusak upaya pengujian secara keseluruhan. Dia mengakui ketidakakuratan alat tes cepat tetapi mengatakan itu masih berguna dalam beberapa situasi di mana kapasitas untuk menggunakan tes PCR terbatas, termasuk menyaring wisatawan. Dia tidak langsung menjawab pertanyaan tentang perusahaan yang mendapat untung besar dari tes.

Pemerintah pusat tidak mengungkapkan tingkat tes cepat nasional. Tetapi data dari Jawa Barat, provinsi di Indonesia dengan 50 juta orang, menunjukkan bahwa mereka telah melakukan tes cepat 50 persen lebih banyak daripada tes PCR.

Pejabat pemerintah mengatakan 269 laboratorium dengan mesin PCR sekarang beroperasi. Namun, laboratorium semakin tidak dapat memenuhi permintaan karena jumlah kasus infeksi meningkat. Menurut data pemerintah, jumlah kasus yang dicurigai (suspect)—mereka yang memiliki gejala Covid-19 yang belum dites—meningkat dua kali lipat menjadi 79.000 dalam sebulan terakhir.

Menurut empat pejabat kesehatan, sebagian dari masalahnya adalah kapasitas lab masih jauh dari dimanfaatkan sepenuhnya. Seorang pejabat senior kementerian kesehatan, Achmad Yurianto, mengatakan kepada Reuters bahwa Indonesia mampu menguji 30.000 orang per hari, lebih dari dua kali lipat rata-rata harian 12.650 orang yang dites selama sebulan terakhir.

Lima manajer laboratorium dan konsultan yang dihubungi oleh Reuters mengatakan kegagalan untuk menggunakan kapasitas pengujian negara tersebut disebabkan oleh kesalahan manajemen pemerintah yang menyebabkan kekurangan staf dan reagen, bahan kimia yang diperlukan untuk pengujian.

Adisasmito tidak menanggapi pertanyaan tentang manajemen pengujian pemerintah. Pekan lalu, dengan menjelaskan kekurangan dalam pengujian, Yurianto mengatakan laboratorium tidak memiliki cukup waktu untuk memeriksa semua spesimen, dengan beberapa laboratorium bekerja dengan hari dan jam yang terbatas.

Pelacakan Kontak Minimal

Pengujian PCR yang luas dan hasil cepat sangat penting untuk melacak kontak orang yang terinfeksi oleh virus corona. Menurut pedoman nasional yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Indonesia pada 13 Juli, pelacakan kontak adalah "kunci utama dalam memutus rantai penularan Covid-19."

Reuters berbicara dengan 12 petugas kesehatan di seluruh Indonesia yang menggambarkan upaya pelacakan kontak negara ini ceroboh dan tidak efektif.

Rahmat Januar Nor, petugas kesehatan di kota delta Banjarmasin di Kalimantan, Indonesia, mengatakan informasi tentang kasus baru virus corona sering masuk ke kantornya di berbagai wilayah, dengan nama yang tidak lengkap, nomor telepon yang tidak aktif atau alamat yang sudah kadaluwarsa untuk pasien dan kontaknya yang dilihat oleh petugas kesehatan di seluruh negeri.

"Kami meminta bantuan para pemimpin desa," kata Nor kepada Reuters. “Tapi pada akhirnya kami tidak menemukan mereka (kontak) hampir sepanjang waktu.”

Nor dan pejabat kesehatan lainnya mengatakan ketika mereka mencapai kontak, banyak yang menolak untuk dites, takut mereka akan kehilangan pekerjaan atau dikucilkan di komunitas.

Data yang tidak dipublikasikan dari satuan tugas Covid-19 pemerintah, yang ditinjau oleh Reuters, menunjukkan hanya 53,7 persen orang yang diidentifikasi sebagai pembawa penyakit yang dikonfirmasi atau dicurigai menjadi sasaran pelacakan kontak pada 6 Juni.

Adisasmito tidak memberikan data pelacakan kontak yang lebih baru tetapi mengakuinya "tetap rendah" dan mengatakan pemerintah bertujuan untuk melacak 30 orang per kasus positif. Itu masih rendah dibandingkan negara Asia lainnya.

Korea Selatan mengatakan pada Mei lalu melacak dan menguji hampir 8.000 orang setelah seorang pria dengan virus mengunjungi kelab malam.

Menurut lima orang yang mengetahui masalah ini, WHO menyarankan pihak berwenang Indonesia bahwa pelacakan kontak harus melibatkan setidaknya 20 orang yang dilacak per kasus yang dikonfirmasi dan dicurigai. Tetapi, menurut pejabat provinsi dan data yang ditinjau Reuters, menyatakan Indonesia hanya rata-rata melacak sekitar dua kontak per kasus.

Di Jakarta, tempat epidemi pertama kali terjadi di Indonesia, data menunjukkan rata-rata kurang dari dua kontak yang dilacak untuk setiap kasus yang dikonfirmasi dan dicurigai pada bulan Juli.

Di Jawa Timur, hotspot lain, tingkat penelusurannya 2,8 kontak per setiap pasien yang dikonfirmasi dan dicurigai. Ini disampaikan peneliti dari Universitas Airlangga.

Seorang juru bicara WHO mengatakan Indonesia mulai mengikuti rekomendasi pelacakan kontaknya pada pertengahan Juli.

Selalu di Gelombang Pertama

Seorang penasihat pemerintah mengatakan keputusan Indonesia untuk menolak lockdown total didorong oleh masalah ekonomi dan keamanan. Sebaliknya, ia mendesak masyarakat Indonesia untuk memakai masker, mencuci tangan, dan mempraktikkan jarak sosial saat bekerja, bepergian, dan bersosialisasi.

"Argumennya adalah kami tidak (mampu membelinya)," kata Soewarta Kosen, seorang ekonom kesehatan yang berkonsultasi dengan pemerintah mengenai tanggapan virus korona, kepada Reuters. “Kami takut akan terjadi kerusuhan sosial.”

Survei menunjukkan penekanan Jokowi pada ekonomi populer. Perekonomian Indonesia menyusut hanya 5,3 persen pada triwulan kedua tahun 2020, jauh lebih sedikit dibandingkan banyak perekonomian di negara lain. Tetapi ahli epidemiologi mengatakan mereka khawatir keputusan itu akan merugikan Indonesia dalam jangka panjang, terutama karena sistem kesehatannya tidak memadai untuk mengatasi jika kasus positif terus meningkat.

Dr Bambang Pujo, seorang ahli anestesi yang rajin di rumah sakit rujukan utama Covid-19 di Surabaya, mengatakan angka kematian di bangsalnya antara 50 persen hingg 80 persen dan tidak ada tempat tidur yang cukup.

“Sepuluh jam di dalam baju hazmat seperti lari maraton dua kali,” katanya, menggambarkan jam-jam panjang yang dia habiskan dengan alat pelindung di dalam unit perawatan intensif. “Bayangkan bagaimana perasaan kita. Ini seperti bermain sebagai Tuhan. Kami berharap kami tidak membuat kesalahan dan, jika kami melakukannya, kami dimaafkan. "

Indonesia hanya memiliki 2,5 tempat tidur perawatan intensif per 100.000 orang. Data ini dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana, yang memimpin gugus tugas Covid-19. Itu sebanding dengan 6,9 per 100.000 orang di India, menurut laporan bulan April dari Universitas Princeton. Adisasmito mengatakan sistem pelayanan kesehatan terus ditingkatkan.

“Kita harus tahu infrastruktur kita belum siap menghadapi pandemi seperti ini,” kata Pujo. “Negara lain telah mendengar gelombang kedua. Kami selalu di gelombang pertama."
(min)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More