Ramadan di Gaza: Makanan Langka namun Kesedihan Berlimpah
Selasa, 26 Maret 2024 - 18:01 WIB
Lampu dan lentera berwarna-warni yang biasa menghiasi jalan telah digantikan oleh ledakan bom yang keras dan kehancuran total.
Masjid-masjid, yang dulu penuh sesak dengan jemaah, kini kosong atau menjadi reruntuhan. Para imam sekarang mengimbau individu untuk beribadah di dalam rumah atau tenda darurat mereka sendiri.
Kehancurannya telah melampaui lanskap visual. Suasana malam Ramadan yang dulu dipenuhi salat Tarawih di masjid dan pengajian, tergantikan oleh suara ledakan bom Israel.
Aroma yang memenuhi jalan-jalan dan toko-toko di Gaza kini tinggal kenangan. Pasar yang ramai, seperti al-Zawya, pasar tertua di Gaza, dipenuhi dengan ember berisi acar asam dan buah zaitun, karton berisi berbagai kurma, piramida rempah-rempah, buah-buahan kering, selai, dan makanan berwarna-warni lainnya. Semuanya telah menjadi reruntuhan.
“Ketika saya masih muda, saya biasa melewati gang-gang sempit dan sempit di kamp pengungsi Deir al-Balah dalam perjalanan pulang dari sekolah,” ungkap Ghada Alhaddad.
Udara dipenuhi suara perempuan-perempuan yang sedang memasak, diiringi gemerincing sendok dan peralatan memasak. Setiap rumah mengeluarkan aroma berbeda yang unik untuk makanan yang disiapkan di dalamnya.
“Sahabatku, Hamda, yang baru-baru ini terbunuh secara tragis dalam serangan udara di rumahnya bersama suaminya, dapat mengidentifikasi hidangan berdasarkan aroma yang dikeluarkan setiap rumah selama persiapan, saat kami berjalan bersama menuju rumah kami. Saya menghargai waktu menjelang matahari terbenam dan salat Maghrib,” tutur dia.
Dia menjelaskan, “Ketika hari pertama Ramadan tiba, banyak dari kita yang tidak pernah memikirkan apa yang harus dimasak untuk berbuka puasa, karena jawabannya sudah jelas: molokhia. Sup kental dan beraroma ini, terbuat dari daun tanaman rami mallow, selalu menjadi ‘pembuka’ makanan tradisional Ramadan di Gaza.”
“Seperti ibu dan nenek Palestina lainnya, ibu saya percaya bahwa warna hijau cerah molokhia menanamkan optimisme dan membawa rejeki di bulan tersebut,” ujar dia.
Masjid-masjid, yang dulu penuh sesak dengan jemaah, kini kosong atau menjadi reruntuhan. Para imam sekarang mengimbau individu untuk beribadah di dalam rumah atau tenda darurat mereka sendiri.
Kehancurannya telah melampaui lanskap visual. Suasana malam Ramadan yang dulu dipenuhi salat Tarawih di masjid dan pengajian, tergantikan oleh suara ledakan bom Israel.
Aroma yang memenuhi jalan-jalan dan toko-toko di Gaza kini tinggal kenangan. Pasar yang ramai, seperti al-Zawya, pasar tertua di Gaza, dipenuhi dengan ember berisi acar asam dan buah zaitun, karton berisi berbagai kurma, piramida rempah-rempah, buah-buahan kering, selai, dan makanan berwarna-warni lainnya. Semuanya telah menjadi reruntuhan.
Tradisi di Bulan Ramadan
“Ketika saya masih muda, saya biasa melewati gang-gang sempit dan sempit di kamp pengungsi Deir al-Balah dalam perjalanan pulang dari sekolah,” ungkap Ghada Alhaddad.
Udara dipenuhi suara perempuan-perempuan yang sedang memasak, diiringi gemerincing sendok dan peralatan memasak. Setiap rumah mengeluarkan aroma berbeda yang unik untuk makanan yang disiapkan di dalamnya.
“Sahabatku, Hamda, yang baru-baru ini terbunuh secara tragis dalam serangan udara di rumahnya bersama suaminya, dapat mengidentifikasi hidangan berdasarkan aroma yang dikeluarkan setiap rumah selama persiapan, saat kami berjalan bersama menuju rumah kami. Saya menghargai waktu menjelang matahari terbenam dan salat Maghrib,” tutur dia.
Dia menjelaskan, “Ketika hari pertama Ramadan tiba, banyak dari kita yang tidak pernah memikirkan apa yang harus dimasak untuk berbuka puasa, karena jawabannya sudah jelas: molokhia. Sup kental dan beraroma ini, terbuat dari daun tanaman rami mallow, selalu menjadi ‘pembuka’ makanan tradisional Ramadan di Gaza.”
“Seperti ibu dan nenek Palestina lainnya, ibu saya percaya bahwa warna hijau cerah molokhia menanamkan optimisme dan membawa rejeki di bulan tersebut,” ujar dia.
Lihat Juga :
tulis komentar anda