Momen Terakhir Bocah di Jenin: Bermain Bareng Teman, Tewas Ditembak Tentara Israel
Minggu, 10 Desember 2023 - 09:08 WIB
JENIN - Suleiman Abu al-Waf tidak akan pernah melupakan “suara dentuman” yang mengubah hidupnya selamanya.
Pria berusia 47 tahun ini, seorang dokter umum di Direktorat Kesehatan Jenin, sedang duduk di rumah bersama putra bungsunya dan dua putrinya pada tanggal 29 November. Tentara Israel telah menyerbu kamp pengungsi kota hari itu, mengobrak-abrik jalan, memerintahkan orang meninggalkan rumah mereka di bawah todongan senjata, dan mengebom sebuah rumah.
Namun begitu tersiar kabar bahwa tentara telah mundur, putra sulung Suleiman, Basil yang berusia 15 tahun, mengatakan kepada ayahnya bahwa dia ingin keluar dan bermain dengan teman-temannya.
“Dia bersikeras, jadi saya mengizinkan dia keluar dan memperingatkan dia untuk tidak pergi jauh,” kenang Suleiman.
Basil sedang bermain di lingkungan al-Basateen, jauh dari kamp pengungsi.
“Daerah ini dikenal sebagai daerah yang sangat sepi,” ujar Suleiman.
Jadi ketika dia mendengar suara itu, dia tahu ada yang tidak beres.
“Saya mengangkat telepon saya dan menelepon Basil lebih dari sekali. Dia tidak menjawab,” kata sang ayah.
Dia berlari keluar rumahnya dan melihat anak laki-laki lain, Adam Samer al-Ghoul yang berusia delapan tahun di jalan, terluka di kepala. Anak laki-laki lain berlari: “Paman, Basil terluka.”
Ketika Suleiman menemui putranya, dia melihat paramedis berusaha menyelamatkannya. Mereka menolak untuk percaya bahwa dia adalah seorang dokter, jadi mereka menjauhkannya dari putranya.
Tapi Suleiman langsung tahu.
“Dari pandangan pertama Basil, saya tahu bahwa dia adalah seorang martir. Alhamdulillah," ucapnya.
Basil dan Adam, anak laki-laki yang bermain di Jenin, ditembak mati oleh tentara Israel selama penggerebekan Jenin, yang juga menewaskan dua orang dewasa. Sebuah video yang memperlihatkan anak laki-laki yang ditembak telah menjadi viral. Tentara Israel menangkap 15 orang lainnya dari kamp pengungsi, yang telah menjadi fokus utama pertempuran antara mereka dan pejuang perlawanan Palestina.
Anak-anak tersebut termasuk di antara lebih dari 260 warga Palestina di Tepi Barat yang diduduki yang dibunuh oleh pasukan atau pemukim Israel sejak serangan Hamas di Israel selatan pada tanggal 7 Oktober. Pemboman dan tembakan artileri Israel juga telah menewaskan lebih dari 17.000 orang di Gaza pada periode ini, termasuk setidaknya 7.000 anak-anak.
Basil belajar di Sekolah Menengah Jenin di kelas 10.
“Ibunya, seorang apoteker, dan saya bermimpi bahwa dia akan menjadi seorang dokter dan belajar kedokteran – tetapi kami tidak pernah memaksanya untuk memilih jurusan apa pun,” ungkap Suleiman.
Kini, mimpi-mimpi itu telah digantikan oleh kesedihan yang tak terlukiskan bagi keluarga Basil, di antara sedikitnya 63 anak yang tewas dalam serangan Israel di Tepi Barat sejak 7 Oktober.
“Rasa sakitnya sangat berat,” kata sang ayah. “Yang terjadi lebih berat dari gunung, perasaan yang hanya dirasakan oleh orang tua,” ungkapnya.
Paman Basil, Hazem Abu al-Wafa, yang bekerja di laboratorium analisis medis, menggambarkan keponakannya sebagai anak yang sederhana.
“Basil adalah seorang anak yang tidak tahu apa pun dalam hidupnya kecuali sekolahnya, bukunya, dan bermain dengan teman-temannya, seperti kesukaan anak lainnya,” kata Hazem.
Hazem, saudara laki-lakinya Suleiman dan seluruh keluarga mereka biasanya bertemu setiap akhir pekan di desa Silat al-Harithiya, tempat mereka memiliki rumah. Di situlah Hazem terakhir kali bertemu keponakannya — akhir pekan sebelum kematiannya.
Keluarga, kata Hazem, menghargai pendidikan, sebagai konsekuensi dari cara mereka dibesarkan.
“Kami tumbuh di lingkungan yang membuat kami merayakan jika salah satu anak kami mendapat nilai bagus,” ujarnya.
“Ayah kami sering bekerja untuk kami, dan dia adalah seorang guru,” imbuhnya.
Suleiman dan Hazem termasuk dalam sembilan bersaudara — lima saudara laki-laki dan empat saudara perempuan. “Kami semua adalah lulusan universitas.”
Basil juga merupakan teman baik, kata Hassan al-Masry, 14 tahun. Keduanya pertama kali bertemu di awal tahun dan bermain-main serta bercanda, dengan cepat menjadi teman dekat. Sehari sebelum Basil ditembak, mereka sedang duduk bersama teman-teman lainnya. Mereka membuat api sambil mengobrol.
“Kami bahagia dan tertawa, dan tidak ada yang lebih baik dari ini,” kenang Hassan.
Keesokan harinya, dia sedang duduk bersama Basil di tempat mereka ngumpuk seperti biasa, ketika ibu Hassan memanggilnya pulang untuk makan siang.
Saat dia sedang makan, dia mendengar suara peluru dan orang-orang berteriak. “Saya berlari keluar,” katanya.
Dan ia mendapati temannya Basil, dengan Adam, sudah tewas.
Pria berusia 47 tahun ini, seorang dokter umum di Direktorat Kesehatan Jenin, sedang duduk di rumah bersama putra bungsunya dan dua putrinya pada tanggal 29 November. Tentara Israel telah menyerbu kamp pengungsi kota hari itu, mengobrak-abrik jalan, memerintahkan orang meninggalkan rumah mereka di bawah todongan senjata, dan mengebom sebuah rumah.
Namun begitu tersiar kabar bahwa tentara telah mundur, putra sulung Suleiman, Basil yang berusia 15 tahun, mengatakan kepada ayahnya bahwa dia ingin keluar dan bermain dengan teman-temannya.
“Dia bersikeras, jadi saya mengizinkan dia keluar dan memperingatkan dia untuk tidak pergi jauh,” kenang Suleiman.
Basil sedang bermain di lingkungan al-Basateen, jauh dari kamp pengungsi.
“Daerah ini dikenal sebagai daerah yang sangat sepi,” ujar Suleiman.
Jadi ketika dia mendengar suara itu, dia tahu ada yang tidak beres.
“Saya mengangkat telepon saya dan menelepon Basil lebih dari sekali. Dia tidak menjawab,” kata sang ayah.
Dia berlari keluar rumahnya dan melihat anak laki-laki lain, Adam Samer al-Ghoul yang berusia delapan tahun di jalan, terluka di kepala. Anak laki-laki lain berlari: “Paman, Basil terluka.”
Ketika Suleiman menemui putranya, dia melihat paramedis berusaha menyelamatkannya. Mereka menolak untuk percaya bahwa dia adalah seorang dokter, jadi mereka menjauhkannya dari putranya.
Tapi Suleiman langsung tahu.
“Dari pandangan pertama Basil, saya tahu bahwa dia adalah seorang martir. Alhamdulillah," ucapnya.
Basil dan Adam, anak laki-laki yang bermain di Jenin, ditembak mati oleh tentara Israel selama penggerebekan Jenin, yang juga menewaskan dua orang dewasa. Sebuah video yang memperlihatkan anak laki-laki yang ditembak telah menjadi viral. Tentara Israel menangkap 15 orang lainnya dari kamp pengungsi, yang telah menjadi fokus utama pertempuran antara mereka dan pejuang perlawanan Palestina.
Anak-anak tersebut termasuk di antara lebih dari 260 warga Palestina di Tepi Barat yang diduduki yang dibunuh oleh pasukan atau pemukim Israel sejak serangan Hamas di Israel selatan pada tanggal 7 Oktober. Pemboman dan tembakan artileri Israel juga telah menewaskan lebih dari 17.000 orang di Gaza pada periode ini, termasuk setidaknya 7.000 anak-anak.
Hancurnya Sebuah Mimpi
Basil belajar di Sekolah Menengah Jenin di kelas 10.
“Ibunya, seorang apoteker, dan saya bermimpi bahwa dia akan menjadi seorang dokter dan belajar kedokteran – tetapi kami tidak pernah memaksanya untuk memilih jurusan apa pun,” ungkap Suleiman.
Kini, mimpi-mimpi itu telah digantikan oleh kesedihan yang tak terlukiskan bagi keluarga Basil, di antara sedikitnya 63 anak yang tewas dalam serangan Israel di Tepi Barat sejak 7 Oktober.
“Rasa sakitnya sangat berat,” kata sang ayah. “Yang terjadi lebih berat dari gunung, perasaan yang hanya dirasakan oleh orang tua,” ungkapnya.
Paman Basil, Hazem Abu al-Wafa, yang bekerja di laboratorium analisis medis, menggambarkan keponakannya sebagai anak yang sederhana.
“Basil adalah seorang anak yang tidak tahu apa pun dalam hidupnya kecuali sekolahnya, bukunya, dan bermain dengan teman-temannya, seperti kesukaan anak lainnya,” kata Hazem.
Hazem, saudara laki-lakinya Suleiman dan seluruh keluarga mereka biasanya bertemu setiap akhir pekan di desa Silat al-Harithiya, tempat mereka memiliki rumah. Di situlah Hazem terakhir kali bertemu keponakannya — akhir pekan sebelum kematiannya.
Keluarga, kata Hazem, menghargai pendidikan, sebagai konsekuensi dari cara mereka dibesarkan.
“Kami tumbuh di lingkungan yang membuat kami merayakan jika salah satu anak kami mendapat nilai bagus,” ujarnya.
“Ayah kami sering bekerja untuk kami, dan dia adalah seorang guru,” imbuhnya.
Suleiman dan Hazem termasuk dalam sembilan bersaudara — lima saudara laki-laki dan empat saudara perempuan. “Kami semua adalah lulusan universitas.”
Basil juga merupakan teman baik, kata Hassan al-Masry, 14 tahun. Keduanya pertama kali bertemu di awal tahun dan bermain-main serta bercanda, dengan cepat menjadi teman dekat. Sehari sebelum Basil ditembak, mereka sedang duduk bersama teman-teman lainnya. Mereka membuat api sambil mengobrol.
“Kami bahagia dan tertawa, dan tidak ada yang lebih baik dari ini,” kenang Hassan.
Keesokan harinya, dia sedang duduk bersama Basil di tempat mereka ngumpuk seperti biasa, ketika ibu Hassan memanggilnya pulang untuk makan siang.
Saat dia sedang makan, dia mendengar suara peluru dan orang-orang berteriak. “Saya berlari keluar,” katanya.
Dan ia mendapati temannya Basil, dengan Adam, sudah tewas.
(ian)
tulis komentar anda