Banjir Besar Landa Libya, Kemlu Pastikan Tidak Ada Korban WNI

Selasa, 12 September 2023 - 17:51 WIB
Kementerian Luar Negeri memastikan tidak WNI yang menjadi korban banjir besar di Libya. Foto/CTV News
JAKARTA - Banjir besar melanda wilayah Libya timur, seperti kota Benghazi, Sousse, Al Bayda, Al-Marj dan Derna, sekitar 1.050 Kilometer dari Ibu Kota Libya, Tripoli pada 11 September 2023.

Menanggapi situasi tersebut, Pemerintah Libya telah menetapkan status siaga atau darurat. Operasi pencarian dan penyelamatan masih berlangsung. Hingga Selasa (12/9/2023) dini hari waktu setempat dilaporkan bahwa bencana tersebut telah merenggut sekitar 2.000 orang.

Terkait kondisi di Libya, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) menyatakan KBRI Tripoli terus memantau perkembangan di lapangan. KBRI juga telah mengeluarkan imbauan melalui jejaring masyarakat agar WNI di wilayah tersebut meningkatkan kewaspadaan dan terus memantau prakiraan cuaca melalui media resmi pemerintah.





"KBRI Tripoli telah melakukan komunikasi dengan Otoritas di Libya Timur dan komunitas masyarakat Indonesia. Sampai hari ini, Senin, 11 September 2023, tidak terdapat informasi adanya WNI yang menjadi korban banjir besar di Libya timur," kata Kemlu dalam keterangan tertulisnya.

"Sebagian besar WNI di Libya, yang tercatat di data base KBRI Tripoli sebanyak 282 orang, bertempat tinggal di Libya barat," sambung Kemlu.

Kemlu pun meminta, dalam keadaan darurat, WNI di seluruh Libya dapat menghubungi Hotline KBRI Tripoli 24 jam dengan nomor +218 94 481 5608.

Seperti diwartakan sebelumnya, Libya dilanda banjir besar setelah dihantam badai Mediterania Daniel.



Libya masih terpecah secara politik antara wilayah timur dan barat. Kondisi ini diperparah dengan layanan publik yang telah memburuk sejak pemberontakan yang didukung NATO pada tahun 2011, yang memicu konflik selama bertahun-tahun.

Pemerintahan yang diakui secara internasional di Tripoli tidak mempunyai kendali atas wilayah timur.

Sejak pemberontakan tahun 2011 yang menggulingkan Muammar Gaddafi, Libya tidak memiliki pemerintahan pusat, sehingga mengakibatkan pelanggaran hukum, terbatasnya investasi di bidang infrastruktur, dan minimnya regulasi konstruksi.

Negara ini kini terpecah antara pemerintah yang saling bersaing di timur dan barat, yang masing-masing didukung oleh berbagai milisi. Derna dan Sirte berada di bawah kendali ekstremis, termasuk kelompok yang berafiliasi dengan ISIS, hingga mereka digulingkan oleh pasukan yang setia kepada pemerintah yang berbasis di wilayah timur pada tahun 2018.

(ian)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More