Hubungan dengan Israel Makin Mesra, Rakyat Libya Marah Besar
loading...
A
A
A
TRIPOLI - Perdana Menteri Libya Abdul Hamid Dbeibah telah memberhentikan menteri luar negerinya, Najla Mangoush setelah bertemu dengan mitranya dari Israel. Libya – pendukung kuat perjuangan Palestina – tidak mengakui Israel, dan pertemuan tersebut telah memicu protes di negara mayoritas Arab tersebut.
Menteri Luar Negeri Israel Eli Cohen mengatakan pertemuan “bersejarah” itu adalah “langkah pertama” dalam menjalin hubungan dengan Libya. Israel berupaya membangun hubungan yang lebih erat dengan negara-negara Arab dan mayoritas Muslim yang tidak secara resmi mengakuinya.
Namun dewan kepresidenan Libya, yang mewakili tiga provinsinya, mengatakan normalisasi hubungan dengan Israel adalah tindakan ilegal. Kantor Ketua Parlemen menuduh Najla Mangoush melakukan pengkhianatan besar, dan Perdana Menteri Abdul Hamid Dbeibah telah merujuknya untuk diselidiki.
Pengumuman Israel bahwa perundingan telah berlangsung cukup mengejutkan mengingat Israel tidak menjalin hubungan dengan Libya, musuh bebuyutan dan pendukung perjuangan Palestina, terutama di bawah kepemimpinan mantan pemimpin Libya Muammar Gaddafi.
Pernyataan tersebut juga tidak biasa dalam tingkat rinciannya, mungkin dimaksudkan untuk mengimbangi penolakan yang diantisipasi dari pihak Libya – juga dengan mengidentifikasi dan mengakui Menteri Luar Negeri Italia Antonio Tajani yang menjadi tuan rumah pertemuan di Roma.
Pada Senin, seorang pejabat Israel mengatakan kepada BBC bahwa pertemuan tersebut telah direncanakan sebelumnya dan bukan merupakan pertemuan kebetulan, seperti yang digambarkan oleh Kementerian Luar Negeri Libya.
Pejabat tersebut menekankan bahwa kedua belah pihak menyetujui apa yang akan ditekankan dalam pernyataan yang dipublikasikan tersebut, yang katanya sedianya akan diterbitkan pada hari Senin namun dirilis pada hari Minggu setelah cerita tersebut bocor ke media Israel.
Pemimpin oposisi Israel Yair Lapid menuduh Kementerian Luar Negeri Israel bertindak "amatir [dan] tidak bertanggung jawab" dan telah melakukan "kegagalan penilaian yang serius".
Pemimpin oposisi lainnya, Benny Gantz, menuduh pemerintah Israel melakukan "segala sesuatu demi popularitas dan berita utama, tanpa tanggung jawab dan pemikiran ke depan".
Menteri Luar Negeri Israel Eli Cohen mengatakan pertemuan “bersejarah” itu adalah “langkah pertama” dalam menjalin hubungan dengan Libya. Israel berupaya membangun hubungan yang lebih erat dengan negara-negara Arab dan mayoritas Muslim yang tidak secara resmi mengakuinya.
Namun dewan kepresidenan Libya, yang mewakili tiga provinsinya, mengatakan normalisasi hubungan dengan Israel adalah tindakan ilegal. Kantor Ketua Parlemen menuduh Najla Mangoush melakukan pengkhianatan besar, dan Perdana Menteri Abdul Hamid Dbeibah telah merujuknya untuk diselidiki.
Pengumuman Israel bahwa perundingan telah berlangsung cukup mengejutkan mengingat Israel tidak menjalin hubungan dengan Libya, musuh bebuyutan dan pendukung perjuangan Palestina, terutama di bawah kepemimpinan mantan pemimpin Libya Muammar Gaddafi.
Pernyataan tersebut juga tidak biasa dalam tingkat rinciannya, mungkin dimaksudkan untuk mengimbangi penolakan yang diantisipasi dari pihak Libya – juga dengan mengidentifikasi dan mengakui Menteri Luar Negeri Italia Antonio Tajani yang menjadi tuan rumah pertemuan di Roma.
Pada Senin, seorang pejabat Israel mengatakan kepada BBC bahwa pertemuan tersebut telah direncanakan sebelumnya dan bukan merupakan pertemuan kebetulan, seperti yang digambarkan oleh Kementerian Luar Negeri Libya.
Pejabat tersebut menekankan bahwa kedua belah pihak menyetujui apa yang akan ditekankan dalam pernyataan yang dipublikasikan tersebut, yang katanya sedianya akan diterbitkan pada hari Senin namun dirilis pada hari Minggu setelah cerita tersebut bocor ke media Israel.
Pemimpin oposisi Israel Yair Lapid menuduh Kementerian Luar Negeri Israel bertindak "amatir [dan] tidak bertanggung jawab" dan telah melakukan "kegagalan penilaian yang serius".
Pemimpin oposisi lainnya, Benny Gantz, menuduh pemerintah Israel melakukan "segala sesuatu demi popularitas dan berita utama, tanpa tanggung jawab dan pemikiran ke depan".