Selain China, Ini 5 Negara yang Terlibat Sengketa Laut China Selatan
Jum'at, 25 Agustus 2023 - 15:02 WIB
JAKARTA - Selama beberapa dekade terakhir, sengketa wilayah Laut China Selatan tak kunjung berakhir. Itu menjadikan Laut China Selatan sebagai salah satu titik nyala konflik di dunia.
Menurut Beyond The Horizon, konflik utama di Laut China Selatan dipercaya berakar dari Perjanjian San Francisco tahun 1951, setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Sebagai bagian dari penyerahan diri, Jepang menyerahkan haknya atas pulau-pulaunya di Laut China Selatan, sehingga menyebabkan kekosongan kekuasaan di wilayah tersebut.
Tidak ada negara yang secara eksplisit diberikan kedaulatan atas perairan ini, dan China (Pemerintah Kuomintang) menegaskan kekuasaannya dengan mengajukan klaim “nine-dash line” yang mencakup hampir seluruh Laut China Selatan pada 1947.
Pada tahun 1982, undang-undang PBB menetapkan zona ekonomi eksklusif (ZEE). Namun, China tetap bersikeras atas klaimnya yang meluas di Laut China Selatan berdasarkan peta “nine-dash line”-nya dan menolak klaim dari negara-negara lain di kawasan.
5 Negara yang Terlibat Sengketa Laut China Selatan Selain China
Sejak China enggan untuk memperjelas klaimnya atas Laut China Selatan berdasarkan peta “nine-dash line”, Taiwan dan beberapa negara di Asia Tenggara seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, serta Brunei Darussalam mulai menegaskan klaim mereka dengan mengerahkan kapal-kapal kecil, mendirikan pelabuhan dan bahkan menempatkan warganya untuk tinggal di beberapa pulau di wilayah sengketa.
Taiwan memiliki klaim wilayah yang mirip dengan klaim China di wilayah Laut China Selatan. Sejumlah pulau seperti Spratly (Nansha), Paracel (Xisha), Pratas (Dongsha), dan Macclesfield Bank (Zhongsha) turut diklaim negara ini.
Klaim teritorial Vietnam melibatkan sejumlah pulau dan terumbu karang di Laut China Selatan, seperti Kepulauan Paracel (Quần đảo Hoàng Sa) dan Kepulauan Spratly (Quần đảo Trường Sa). Negara Asia Tenggara yang satu ini bahkan punya sejarah panjang dalam mengelola dan mengeklaim wilayah-wilayah tersebut, yang didukung oleh bukti sejarah dan administrasi tradisional.
Pada 2013, Filipina mengajukan gugatan arbitrase terhadap China di Pengadilan Arbitrase Permanen di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) dan menang. Namun China menolak putusan itu dan tetap menegaskan klaimnya atas wilayah Laut China Selatan.
Klaim Filipina terkait dengan Kepulauan Spratly (Kalayaan Islands) dan Kepulauan Scarborough Shoal (Panatag Shoal atau Bajo de Masinloc). Salah satu hal yang diincar oleh Filipina di Laut China Selatan adalah sumber daya alam seperti minyak dan gas serta penangkapan ikan.
Klaim Malaysia terkait dengan Kepulauan Spratly (Kepulauan Serupai Shoal) dan beberapa perairan di sekitarnya. Namun, klaim Malaysia seperti juga klaim negara-negara lain dalam sengketa ini, tumpang tindih dengan klaim yang lebih luas dari China.
Brunei Darussalam memiliki klaim atas beberapa terumbu karang dan perairan di Laut China Selatan, terutama di sekitar Kepulauan Spratly. Meski begitu, Brunei telah bersikap netral dalam konflik Laut China Selatan dan cenderung memilih pendekatan yang lebih damai dan diplomatis dalam menangani sengketa wilayah.
Menurut Beyond The Horizon, konflik utama di Laut China Selatan dipercaya berakar dari Perjanjian San Francisco tahun 1951, setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Sebagai bagian dari penyerahan diri, Jepang menyerahkan haknya atas pulau-pulaunya di Laut China Selatan, sehingga menyebabkan kekosongan kekuasaan di wilayah tersebut.
Tidak ada negara yang secara eksplisit diberikan kedaulatan atas perairan ini, dan China (Pemerintah Kuomintang) menegaskan kekuasaannya dengan mengajukan klaim “nine-dash line” yang mencakup hampir seluruh Laut China Selatan pada 1947.
Pada tahun 1982, undang-undang PBB menetapkan zona ekonomi eksklusif (ZEE). Namun, China tetap bersikeras atas klaimnya yang meluas di Laut China Selatan berdasarkan peta “nine-dash line”-nya dan menolak klaim dari negara-negara lain di kawasan.
5 Negara yang Terlibat Sengketa Laut China Selatan Selain China
Sejak China enggan untuk memperjelas klaimnya atas Laut China Selatan berdasarkan peta “nine-dash line”, Taiwan dan beberapa negara di Asia Tenggara seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, serta Brunei Darussalam mulai menegaskan klaim mereka dengan mengerahkan kapal-kapal kecil, mendirikan pelabuhan dan bahkan menempatkan warganya untuk tinggal di beberapa pulau di wilayah sengketa.
1. Taiwan
Taiwan memiliki klaim wilayah yang mirip dengan klaim China di wilayah Laut China Selatan. Sejumlah pulau seperti Spratly (Nansha), Paracel (Xisha), Pratas (Dongsha), dan Macclesfield Bank (Zhongsha) turut diklaim negara ini.
2. Vietnam
Klaim teritorial Vietnam melibatkan sejumlah pulau dan terumbu karang di Laut China Selatan, seperti Kepulauan Paracel (Quần đảo Hoàng Sa) dan Kepulauan Spratly (Quần đảo Trường Sa). Negara Asia Tenggara yang satu ini bahkan punya sejarah panjang dalam mengelola dan mengeklaim wilayah-wilayah tersebut, yang didukung oleh bukti sejarah dan administrasi tradisional.
3. Filipina
Pada 2013, Filipina mengajukan gugatan arbitrase terhadap China di Pengadilan Arbitrase Permanen di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) dan menang. Namun China menolak putusan itu dan tetap menegaskan klaimnya atas wilayah Laut China Selatan.
Klaim Filipina terkait dengan Kepulauan Spratly (Kalayaan Islands) dan Kepulauan Scarborough Shoal (Panatag Shoal atau Bajo de Masinloc). Salah satu hal yang diincar oleh Filipina di Laut China Selatan adalah sumber daya alam seperti minyak dan gas serta penangkapan ikan.
4. Malaysia
Klaim Malaysia terkait dengan Kepulauan Spratly (Kepulauan Serupai Shoal) dan beberapa perairan di sekitarnya. Namun, klaim Malaysia seperti juga klaim negara-negara lain dalam sengketa ini, tumpang tindih dengan klaim yang lebih luas dari China.
5. Brunei Darussalam
Brunei Darussalam memiliki klaim atas beberapa terumbu karang dan perairan di Laut China Selatan, terutama di sekitar Kepulauan Spratly. Meski begitu, Brunei telah bersikap netral dalam konflik Laut China Selatan dan cenderung memilih pendekatan yang lebih damai dan diplomatis dalam menangani sengketa wilayah.
(mas)
tulis komentar anda