3 Negara Diinvasi AS karena Minyak, Nomor Terakhir Jadi Perang Paling Lama dalam Sejarah
Senin, 08 Mei 2023 - 14:04 WIB
JAKARTA - Minyak menjadi alasan utama invasi yang dilakukan oleh Amerika Serikat (AS) ke suatu negara. Dengan begitu, AS diharapkan tetap menjadi negara superpower.
Jeff D Colgan, peneliti think tank Belf Center, mengungkapkan minyak menjadi pemicu dan penyebab perang. "Separuh perang di dunia sejak 1973 disebabkan oleh minyak," ungkap Colgan.
Colgan mengungkapkan, minyak berkaitan langsung dengan konflik internasional karena faktor perebutan sumber daya alam. Dengan merebut sumber minyak, maka dana tersebut bisa digunakan untuk membiayai gerakan pemberontakan atau misi perang lainnya. "Minyak juga berkaitan langsung dengan kerja sama multilateral dalam bidang keamanan," ungkap Colgan.
Untuk mendapatkan minyak, AS sudah melakukan invasi ke berbagai negara. Berikut merupakan beberapa negara yang diinvasi oleh AS atau pun AS ikut berkontribusi langsung dalam perang sipil di negara tersebut.
Irak
Irak diinvasi secara langsung oleh AS pada 2003 hingga 2011. Perang tersebut awalnya dipicu laporan kepemilikan senjata pemusnah massal oleh Presiden Irak Saddam Hussein. Namun, hingga perang tersebut berakhir, tentara AS tidak menemukan senjata pemusnah massal. Saat itu, pemimpin gerakan apartheid di Afrika Selatan, Nelson Mandela, menuding motif utama AS menyerang Irak adalah faktor minyak.
Diakui oleh para mantan jenderal AS, minyak merupakan tujuan utama Perang Irak. "Tentunya, perang itu karena minyak. Kita tak bisa membantahnya," kata pensiunan Jenderal John Abizaid, mantan kepada komando dan operasi militer di Irak pada 2007, dilansir CNN.
Hal senada diungkapkan mantan Gubernur Bank Sentral AS Federal Reserve Alan Greespan. "Saya sedih karena motif politik bukan sebagai penyebab perang Irak. Perang itu dikarenakan minyak," tulisnya dalam memoar yang ditulisnya.
Kebenaran tentang perang Irak dikarenakan minyak karena pada 2013, perusahaan minyak Barat mulai memproduksi dan mengeksplorasi minyak di negara tersebut. AS juga mendapatkan porsi yang konsisten sejak invasi tersebut. Perusahaan minyak berdalih bahwa eksplorasi minyak tersebut juga menguntungkan ekonomi dan masyarakat Irak.
Suriah
AS memiliki keterlibatan langsung dalam perang sipil di Suriah sejak 2014. Mereka membantu pemberontak Suriah dan Pasukan Demokratik Suriah (SDF) dalam perang sipil tersebut. Dalih AS untuk menyerang Suriah karena alasan untuk menghancurkan ISIS dan Al-Qaeda hanya alasan yang dikemukakan ke publik, tetapi faktor perebutan ladang minyak juga menjadi motivasi utamanya.
Seperti diungkapkan mantan Presiden AS Donald Trump pada November 2019 bahwa pasukan AS harus mengamankan ladang minyak di Suriah Timur. "Pasukan AS yang bertahan di Suriah hanya untuk minyak. AS menginginkan minyak," ungkap Trump saat itu. Berbagai kontrak eksplorasi minyak juga jatuh ke perusahaan AS. Misalnya pada Juli 2020, Pemerintahan Otonomi Suriah Timur dan Utara sepakat menandatangani kontrak kepada perusahaan AS Delta Crescent Energy untuk memproduksi minyak di kawasan tersebut.
Baca Juga: Rusia-Ukraina Lakukan Pertukaran Tahanan, 45 Serdadu Dibarter 3 Pilot
Afghanistan
AS melancarkan invasi ke Afghanistan pada 2001 hingga 2021. Itu menjadi perang terlama dalam sejarah AS. Invasi itu memiliki motif terkait serangan 11 September 2001 yang menghancurkan gedung kembar WTC di New York. Namun, banyak pihak memperkirakan invasi AS terhadap Afghanistan juga dilatarbelakangi faktor perebutan ladang minyak.
V.K. Shashikumar, analis perang, mengungkapkan laporan intelijen menunjukkan perang Afghan dipicu oleh minyak, bukan terorisme. Kemudian, dalam buku berjudul "Bin Laden, La Verite Interdite" (Bin Laden, the Forbidden Truth), mengutip pernyataan mantan Deputi Direktur FBI John O'Neil yang mengatakan perang Afghanistan dipengaruhi oleh perusahaan minyak. "Perang Afghan mengandung kepentingan korporasi minyak AS dan peranan yang dimainkan Saudi," kata O'Neill seperti diungkapkan dalam buku tersebut. Dengan menginvasi Afghan, maka AS bisa mengakses cadangan minyak dan gas sebanyak 200 miliar barel.
Jeff D Colgan, peneliti think tank Belf Center, mengungkapkan minyak menjadi pemicu dan penyebab perang. "Separuh perang di dunia sejak 1973 disebabkan oleh minyak," ungkap Colgan.
Colgan mengungkapkan, minyak berkaitan langsung dengan konflik internasional karena faktor perebutan sumber daya alam. Dengan merebut sumber minyak, maka dana tersebut bisa digunakan untuk membiayai gerakan pemberontakan atau misi perang lainnya. "Minyak juga berkaitan langsung dengan kerja sama multilateral dalam bidang keamanan," ungkap Colgan.
Untuk mendapatkan minyak, AS sudah melakukan invasi ke berbagai negara. Berikut merupakan beberapa negara yang diinvasi oleh AS atau pun AS ikut berkontribusi langsung dalam perang sipil di negara tersebut.
Baca Juga
Irak
Irak diinvasi secara langsung oleh AS pada 2003 hingga 2011. Perang tersebut awalnya dipicu laporan kepemilikan senjata pemusnah massal oleh Presiden Irak Saddam Hussein. Namun, hingga perang tersebut berakhir, tentara AS tidak menemukan senjata pemusnah massal. Saat itu, pemimpin gerakan apartheid di Afrika Selatan, Nelson Mandela, menuding motif utama AS menyerang Irak adalah faktor minyak.
Diakui oleh para mantan jenderal AS, minyak merupakan tujuan utama Perang Irak. "Tentunya, perang itu karena minyak. Kita tak bisa membantahnya," kata pensiunan Jenderal John Abizaid, mantan kepada komando dan operasi militer di Irak pada 2007, dilansir CNN.
Hal senada diungkapkan mantan Gubernur Bank Sentral AS Federal Reserve Alan Greespan. "Saya sedih karena motif politik bukan sebagai penyebab perang Irak. Perang itu dikarenakan minyak," tulisnya dalam memoar yang ditulisnya.
Kebenaran tentang perang Irak dikarenakan minyak karena pada 2013, perusahaan minyak Barat mulai memproduksi dan mengeksplorasi minyak di negara tersebut. AS juga mendapatkan porsi yang konsisten sejak invasi tersebut. Perusahaan minyak berdalih bahwa eksplorasi minyak tersebut juga menguntungkan ekonomi dan masyarakat Irak.
Suriah
AS memiliki keterlibatan langsung dalam perang sipil di Suriah sejak 2014. Mereka membantu pemberontak Suriah dan Pasukan Demokratik Suriah (SDF) dalam perang sipil tersebut. Dalih AS untuk menyerang Suriah karena alasan untuk menghancurkan ISIS dan Al-Qaeda hanya alasan yang dikemukakan ke publik, tetapi faktor perebutan ladang minyak juga menjadi motivasi utamanya.
Seperti diungkapkan mantan Presiden AS Donald Trump pada November 2019 bahwa pasukan AS harus mengamankan ladang minyak di Suriah Timur. "Pasukan AS yang bertahan di Suriah hanya untuk minyak. AS menginginkan minyak," ungkap Trump saat itu. Berbagai kontrak eksplorasi minyak juga jatuh ke perusahaan AS. Misalnya pada Juli 2020, Pemerintahan Otonomi Suriah Timur dan Utara sepakat menandatangani kontrak kepada perusahaan AS Delta Crescent Energy untuk memproduksi minyak di kawasan tersebut.
Baca Juga: Rusia-Ukraina Lakukan Pertukaran Tahanan, 45 Serdadu Dibarter 3 Pilot
Afghanistan
AS melancarkan invasi ke Afghanistan pada 2001 hingga 2021. Itu menjadi perang terlama dalam sejarah AS. Invasi itu memiliki motif terkait serangan 11 September 2001 yang menghancurkan gedung kembar WTC di New York. Namun, banyak pihak memperkirakan invasi AS terhadap Afghanistan juga dilatarbelakangi faktor perebutan ladang minyak.
V.K. Shashikumar, analis perang, mengungkapkan laporan intelijen menunjukkan perang Afghan dipicu oleh minyak, bukan terorisme. Kemudian, dalam buku berjudul "Bin Laden, La Verite Interdite" (Bin Laden, the Forbidden Truth), mengutip pernyataan mantan Deputi Direktur FBI John O'Neil yang mengatakan perang Afghanistan dipengaruhi oleh perusahaan minyak. "Perang Afghan mengandung kepentingan korporasi minyak AS dan peranan yang dimainkan Saudi," kata O'Neill seperti diungkapkan dalam buku tersebut. Dengan menginvasi Afghan, maka AS bisa mengakses cadangan minyak dan gas sebanyak 200 miliar barel.
(wyn)
tulis komentar anda