Boikot Turki, Saudi Ibarat Tembak Dua Target dengan Satu Peluru
A
A
A
RIYADH - Seruan boikot Turki sedang menggema di kalangan publik Arab Saudi yang dipicu oleh sikap pemerintah Presiden Recep Tayyip Erdogan atas pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi. Retorika boikot ini akan lebih memperburuk kondisi Ankara yang saat ini berjuang melawan krisis ekonomi.
"Pasar real estate Turki yang sudah menderita dapat lebih jauh dirusak oleh eksodus massal kepemilikan properti Saudi," kata Hussein Ibish, seorang pakar di Arab Gulf States Institute di Washington kepada AFP, Kamis (11/7/2019).
"Itu senjata besar lain yang belum ditembakkan Riyadh," katanya lagi.
Namun sejauh ini data tidak menunjukkan kerusakan pada pasar properti Turki, dengan penjualan rumah ke warga Saudi dari Januari hingga Mei 2019 naik 992 unit, dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu yakni 977 unit.
Ketegangan terjadi ketika Arab Saudi—yang dilanda penurunan harga minyak—berupaya meningkatkan belanja domestik, membalikkan tren selama beberapa dekade yang telah membuat warga negaranya membelanjakan uang tunai di luar negeri.
"Arab Saudi mencapai dua target dengan satu peluru—hentikan Turki agar tidak mendapat manfaat dari wisatawan Saudi dan meyakinkan Saudi untuk membelanjakan uang mereka di dalam negeri," ujar Quentin de Pimodan, seorang pakar Saudi di Research Institute for European and American Studies yang berbasis di Yunani.
Namun tak semua publik Saudi menganggap serius seruan boikot terhadap Turki. Abdullah, seorang akademisi 39 tahun yang berbasis di Riyadh, menertawakan seruan tersebut dengan mengatakan kepada AFP bahwa keluarganya merencanakan kunjungan Turki tahun ini.
"Orang Saudi suka pergi ke restoran Turki di negara mereka sendiri," kata Abdullah, yang meminta nama lengkapnya dirahasiakan.
"Ketika mereka selesai makan, mereka menulis di Twitter; 'Jangan pergi ke Turki'," lanjut dia. (Baca: Tegang, Muncul Seruan Arab Saudi Boikot Turki )
Seperti diberitakan sebelumnya, kelompok nasionalis dan media pro-pemerintah Riyadh menyerukan agar publik Arab Saudi memboikot Turki.
Setiap tahun, ratusan ribu turis Saudi mengunjungi Turki karena iklimnya yang lebih lembut, perairannya yang biru kehijauan, dan statusnya sebagai persimpangan antara Timur dan Barat.
Tetapi seruan pemboikotan terhadap Turki berpotensi memukul ekonomi negara yang dipimpin Presiden Recep Tayyip Erdogan tersebut.
"Jangan pergi ke Turki" dan "Turki tidak aman" hanyalah contoh beberapa berita utama yang muncul dari media-media pro-pemerintah Riyadh dalam beberapa bulan terakhir. Beberapa pihak, termasuk media Al-Arabiya telah memercikkan peringatan resmi dari Kedutaan Arab Saudi di Ankara perihal meningkatnya kasus pencurian paspor dan kejahatan kecil.
Seruan boikot itu membuahkan hasil. Kementerian pariwisata Turki melaporkan kunjungan wisatawan Arab Saudi turun lebih dari 30 persen dalam lima bulan pertama 2019 dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Sebuah agen perjalanan di Riyadh kepada AFP mengaku ada penurunan pemesanan tur ke Turki, meskipun otoritas pariwisata Saudi tidak menanggapi permintaan komentar.
"Saya peduli dengan keselamatan," kata seorang pemuda Riyadh kepada AFP, yang menjelaskan mengapa dia mempertimbangkan untuk menghindari Turki sebagai tujuan perjalanan.
Seruan Boikot
Saudi, yang juga di antara pembeli dan investor properti top di Turki, menghabiskan rata-rata USD500 sehari sebagai turis di negara itu, yang secara signifikan lebih tinggi daripada pengunjung Eropa. Data ini merupakan hasil studi tahun 2018 oleh Riyadh's King Faisal Center for Research and Islamic Studies.
Seruan boikot terhadap Turki tidak terbatas pada pariwisata. Sebuah video terkait sentimen kasus pembunuhan Khashoggi menunjukkan gubernur berpengaruh Riyadh, Faisal bin Bandar, menolak tawaran kopi Turki. Video yang menyebar di media sosial itu ikut memicu seruan pemboikotan terhadap produk-produk Turki.
Ajlan al-Ajlan, Ketua Kamar Dagang dan Industri Riyadh, bersuara sangat keras.
"Ketika kepemimpinan Turki dan (Presiden Recep Tayyip) Erdogan melanjutkan permusuhan mereka dan menargetkan kepemimpinan kerajaan, kami menyerukan lebih dari sebelumnya untuk memboikot mereka di semua bidang—impor, tenaga kerja dan hal-hal yang berurusan dengan perusahaan-perusahaan Turki," tulis Ajlan di Twitter bulan lalu.
Pejabat Turki adalah yang pertama melaporkan pembunuhan Khashoggi dan terus menekan Riyadh untuk mengungkap informasi tentang keberadaan jasad jurnalis yang dimutilasi tersebut.
Bocoran informasi dari Badan Intelijen Pusat (CIA) Amerika Serikat menyebut pembunuhan itu diduga diperintahkan oleh Pangeran Mahkota Mohammed bin Salman. Namun, Arab Saudi menyangkal keras tuduhan tersebut.
Bulan Pangeran Mohammed—pewaris takhta paling kuat di dunia Arab—memperingatkan agar jangan mengeksploitasi kasus pembunuhan demi keuntungan politik. Peringatan putra Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud ini diyakini merupakan serangan terselubung terhadap Erdogan.
Bahkan sebelum pembunuhan itu terjadi, Riyadh memiliki hubungan yang kurang baik dengan Ankara yang menjadi pendukung utama Qatar dan dituduh mendukung kelompok-kelompok Islamis termasuk Ikhwanul Muslimin. Sekadar diketahui, Arab Saudi dan sekutu Arabnya telah memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar karena negara kecil di Teluk itu dianggap mendukung terorisme meskipun Doha membantahnya.
Arab Saudi juga memandang Ikhwanul Muslimin sebagai ancaman eksistensial. Sedangkan pemerintah Erdogan dipandang sebagai sekutu kelompok tersebut.
"Pasar real estate Turki yang sudah menderita dapat lebih jauh dirusak oleh eksodus massal kepemilikan properti Saudi," kata Hussein Ibish, seorang pakar di Arab Gulf States Institute di Washington kepada AFP, Kamis (11/7/2019).
"Itu senjata besar lain yang belum ditembakkan Riyadh," katanya lagi.
Namun sejauh ini data tidak menunjukkan kerusakan pada pasar properti Turki, dengan penjualan rumah ke warga Saudi dari Januari hingga Mei 2019 naik 992 unit, dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu yakni 977 unit.
Ketegangan terjadi ketika Arab Saudi—yang dilanda penurunan harga minyak—berupaya meningkatkan belanja domestik, membalikkan tren selama beberapa dekade yang telah membuat warga negaranya membelanjakan uang tunai di luar negeri.
"Arab Saudi mencapai dua target dengan satu peluru—hentikan Turki agar tidak mendapat manfaat dari wisatawan Saudi dan meyakinkan Saudi untuk membelanjakan uang mereka di dalam negeri," ujar Quentin de Pimodan, seorang pakar Saudi di Research Institute for European and American Studies yang berbasis di Yunani.
Namun tak semua publik Saudi menganggap serius seruan boikot terhadap Turki. Abdullah, seorang akademisi 39 tahun yang berbasis di Riyadh, menertawakan seruan tersebut dengan mengatakan kepada AFP bahwa keluarganya merencanakan kunjungan Turki tahun ini.
"Orang Saudi suka pergi ke restoran Turki di negara mereka sendiri," kata Abdullah, yang meminta nama lengkapnya dirahasiakan.
"Ketika mereka selesai makan, mereka menulis di Twitter; 'Jangan pergi ke Turki'," lanjut dia. (Baca: Tegang, Muncul Seruan Arab Saudi Boikot Turki )
Seperti diberitakan sebelumnya, kelompok nasionalis dan media pro-pemerintah Riyadh menyerukan agar publik Arab Saudi memboikot Turki.
Setiap tahun, ratusan ribu turis Saudi mengunjungi Turki karena iklimnya yang lebih lembut, perairannya yang biru kehijauan, dan statusnya sebagai persimpangan antara Timur dan Barat.
Tetapi seruan pemboikotan terhadap Turki berpotensi memukul ekonomi negara yang dipimpin Presiden Recep Tayyip Erdogan tersebut.
"Jangan pergi ke Turki" dan "Turki tidak aman" hanyalah contoh beberapa berita utama yang muncul dari media-media pro-pemerintah Riyadh dalam beberapa bulan terakhir. Beberapa pihak, termasuk media Al-Arabiya telah memercikkan peringatan resmi dari Kedutaan Arab Saudi di Ankara perihal meningkatnya kasus pencurian paspor dan kejahatan kecil.
Seruan boikot itu membuahkan hasil. Kementerian pariwisata Turki melaporkan kunjungan wisatawan Arab Saudi turun lebih dari 30 persen dalam lima bulan pertama 2019 dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Sebuah agen perjalanan di Riyadh kepada AFP mengaku ada penurunan pemesanan tur ke Turki, meskipun otoritas pariwisata Saudi tidak menanggapi permintaan komentar.
"Saya peduli dengan keselamatan," kata seorang pemuda Riyadh kepada AFP, yang menjelaskan mengapa dia mempertimbangkan untuk menghindari Turki sebagai tujuan perjalanan.
Seruan Boikot
Saudi, yang juga di antara pembeli dan investor properti top di Turki, menghabiskan rata-rata USD500 sehari sebagai turis di negara itu, yang secara signifikan lebih tinggi daripada pengunjung Eropa. Data ini merupakan hasil studi tahun 2018 oleh Riyadh's King Faisal Center for Research and Islamic Studies.
Seruan boikot terhadap Turki tidak terbatas pada pariwisata. Sebuah video terkait sentimen kasus pembunuhan Khashoggi menunjukkan gubernur berpengaruh Riyadh, Faisal bin Bandar, menolak tawaran kopi Turki. Video yang menyebar di media sosial itu ikut memicu seruan pemboikotan terhadap produk-produk Turki.
Ajlan al-Ajlan, Ketua Kamar Dagang dan Industri Riyadh, bersuara sangat keras.
"Ketika kepemimpinan Turki dan (Presiden Recep Tayyip) Erdogan melanjutkan permusuhan mereka dan menargetkan kepemimpinan kerajaan, kami menyerukan lebih dari sebelumnya untuk memboikot mereka di semua bidang—impor, tenaga kerja dan hal-hal yang berurusan dengan perusahaan-perusahaan Turki," tulis Ajlan di Twitter bulan lalu.
Pejabat Turki adalah yang pertama melaporkan pembunuhan Khashoggi dan terus menekan Riyadh untuk mengungkap informasi tentang keberadaan jasad jurnalis yang dimutilasi tersebut.
Bocoran informasi dari Badan Intelijen Pusat (CIA) Amerika Serikat menyebut pembunuhan itu diduga diperintahkan oleh Pangeran Mahkota Mohammed bin Salman. Namun, Arab Saudi menyangkal keras tuduhan tersebut.
Bulan Pangeran Mohammed—pewaris takhta paling kuat di dunia Arab—memperingatkan agar jangan mengeksploitasi kasus pembunuhan demi keuntungan politik. Peringatan putra Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud ini diyakini merupakan serangan terselubung terhadap Erdogan.
Bahkan sebelum pembunuhan itu terjadi, Riyadh memiliki hubungan yang kurang baik dengan Ankara yang menjadi pendukung utama Qatar dan dituduh mendukung kelompok-kelompok Islamis termasuk Ikhwanul Muslimin. Sekadar diketahui, Arab Saudi dan sekutu Arabnya telah memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar karena negara kecil di Teluk itu dianggap mendukung terorisme meskipun Doha membantahnya.
Arab Saudi juga memandang Ikhwanul Muslimin sebagai ancaman eksistensial. Sedangkan pemerintah Erdogan dipandang sebagai sekutu kelompok tersebut.
(mas)