Tak Netral Politik di Masjid, Imam-imam Tunisia Diskors

Minggu, 02 Juni 2019 - 16:00 WIB
Tak Netral Politik di...
Tak Netral Politik di Masjid, Imam-imam Tunisia Diskors
A A A
TUNIS - Kementerian Urusan Agama Tunisia baru-baru ini menangguhkan atau menskors hampir 70 pejabat agama Islam, termasuk para imam. Musababnya, mereka menjauh dari netralitas politik yang berkaitan dengan salat Jumat di masjid selama periode menjelang pemilu.

Para pejabat agama itu dinyatakan melanggar "Charter of Honour of an Imam Preacher" atau "Piagam Kehormatan dari Penceramah Imam". Salah satu ketentuan dalam piagam itu mewajibkan para pemuka agama netral politik selama menjalankan kegiatan berkaitan salat Jumat di masjid.

Pemilu di negara itu akan digelar musim gugur ini. Masjid menjadi tempat yang rawan untuk propaganda politik.

Kepala Staf Menteri Agama, Hakim Amairi, telah menjelaskan siapa saja yang dilarang sementara untuk berkegiatan di masjid, dan menjelaskan pula alasan di balik tindakan tersebut.

Mereka yang ditangguhkan antara lain para imam, muazin hingga dan pengajar Alquran.

Piagam kehormatan itu diadopsi pada bulan Februari 2019 oleh Departemen Agama yang melibatkan para imam dan beberapa pemimpin sipil. Dokumen dalam piagam berisi rekomendasi dan larangan berkenaan dengan salat Jumat di masjid. Sebagai contoh, di antara beberapa ketentuan, adalah menjamin netralitas politik di tempat ibadah sebelum pemilihan umum (pemilu).

"Perlu, khususnya, guna mencegah masjid digunakan untuk propaganda pemilu," kata Hakim Amairi, seperti dikutip Sputnik, Minggu (2/6/2019).

Inti paragraf 8 dan 10 Piagam Kehormatan adalah larangan penggunaan masjid untuk promosi partai politik dengan tujuan komersial atau untuk memperoleh keuntungan. Ulama juga dilarang mengeluarkan stigmatisasi, penghinaan, pidato memfitnah atau serangan lainnya terhadap orang atau lembaga.

Seorang imam sebuah masjid di wilayah timur laut Nabeul dipecat karena menyebut kepala pemerintah "gagal" dalam khotbah Jumat, 19 April 2019. Kementerian terkait segera menerima laporan yang ditulis oleh "ulama lokal" yang bertanggung jawab untuk merekrut dan mengawasi imam. Imam tersebut kemudian diminta datang ke kementerian dan kemudian diberhentikan.

"Orang tidak boleh percaya bahwa langkah-langkah ini diterapkan hanya untuk serangan terhadap kredibilitas tokoh-tokoh publik. Ada juga, langkah-langkah yang diambil mengikuti jenis pelanggaran lainnya, seperti penistaan ​​terhadap individu," kata pejabat Tunisia itu.

Untuk mengontrol 6.000 masjid di negara itu, kementerian membutuhkan 400 pengkhotbah lagi. Prosedur pengontrolan telah disederhanakan, yakni cukup bagi warga untuk menghubungi kementerian dengan laporan yang diverifikasi.

"Kementerian Dalam Negeri mungkin harus menghubungi kami untuk kerja sama dalam memerangi terorisme," imbuh Hakim Amairi.

Ini bukan pertama kalinya Kementerian Agama melakukan penangguhan kolektif terhadap para imam. Pada bulan April 2018, meskipun Piagam Kehormatan belum diadopsi, sekitar 100 pemimpin agama, termasuk beberapa imam, ditangguhkan setelah mengajukan pencalonan mereka dalam pemilu kota.

Dasar dari keputusan tersebut, seperti halnya Piagam Kehormatan yang diadopsi 10 bulan kemudian, adalah konstitusional. Dasar itu pula yang meyakinkan Menteri Agama Ahmed Adhoum.

Menurut Pasal 6 Konstitusi Tunisia—yang diadopsi pada Januari 2014 setelah masa transisi tiga tahun—, negara memastikan netralitas masjid dan tempat ibadah lain.

"Saat ini, kementerian tidak hanya mengendalikan masjid, tetapi juga menunjuk staf mereka. Namun, rekrutmen sudah ditentukan sebelumnya sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dan dikendalikan," tegas Amairi.

Setelah pemberontakan 2011 di Tunisia yang jadi awal Arab Spring, mengelola masjid menjadi jauh lebih sulit. Lembaga-lembaga keagamaan yang "Unordered" mulai muncul di seluruh negeri, dan pada saat yang sama, para imam yang ditunjuk oleh kementerian dihapus oleh kelompok-kelompok ortodoks atau fundamentalis setempat.

Hal itu menciptakan "tanah subur" untuk merekrut dan mengirim ratusan jihadis ke daerah-daerah di mana ada konflik militer, khususnya Suriah. Data itu dilaporkan oleh otoritas Tunisia. The Washington Institute for Near East Policy mencatat sekitar 2.900 jihadis Tunisia berada di zona konflik.

Kontrol memperketat masjid telah bertepatan dengan peningkatan langkah-langkah keamanan, terutama setelah negara itu dilanda serangkaian serangan teroris yang mematikan pada tahun 2015 dan 2016.
(mas)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1013 seconds (0.1#10.140)