Amerika Serikat Desak Krisis Rohingya Diselidiki

Kamis, 16 November 2017 - 16:30 WIB
Amerika Serikat Desak Krisis Rohingya Diselidiki
Amerika Serikat Desak Krisis Rohingya Diselidiki
A A A
NAYPYITAW - Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Rex Tillerson menyerukan investigasi kredibel untuk berbagai laporan pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga muslim Rohingya oleh militer Myanmar.

Seruan itu muncul setelah Tillerson bertemu para pemimpin sipil dan militer Myanmar. Lebih dari 600.000 warga muslim Rohingya mengungsi ke Bangladesh sejak Agustus lalu akibat operasi militer di Rakhine, Myanmar. Sejumlah pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan, aksi militer itu sebagai pembersihan etnik.

"Kami sangat mengkhawatirkan berbagai laporan kredibel tentang meluasnya kejahatan yang dilakukan pasukan keamanan Myanmar dan warga yang tak dikendalikan aparat saat kekerasan terbaru di Rakhine," ungkap Tillerson saat konferensi pers bersama Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi, dikutip kantor berita Reuters.

Tillerson menambahkan, "Kami juga tertekan oleh fakta bahwa ratusan ribu, sebagian besar wanita dan anak-anak dipaksa mengungsi ke Bangladesh." Dia menyerukan investigasi kredibel dan tidak memihak dan menegaskan siapa saja yang melakukan pelanggaran harus bertanggung jawab.

Dia sebelumnya berbicara dengan Komandan Militer Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing. "Militer dan pasukan keamanan harus menghormati komitmen pemerintahan sipil ini untuk membantu pemerintah menerapkannya dan menjamin keamanan serta keselamatan seluruh rakyat di negara bagian Rakhine," papar Tillerson.

Saat mengunggah status di Facebook, Jenderal Senior Min Aung Hlaing menulis, dia telah menjelaskan kepada Tillerson mengenai situasi sebenarnya di Rakhine dan berbagai alasan mengapa Rohingya mengungsi serta bagaimana pemerintah bekerja sama mengirimkan bantuan dan kemajuan yang dilakukan dalam proses repatriasi pengungsi sesuai kesepakatan dengan Bangladesh.

Militer Myanmar melancarkan operasi di Rakhine setelah satu pangkalan militer dan 30 pos polisi diserang pejuang Rohingya pada 25 Agustus hingga menewaskan puluhan anggota pasukan keamanan. Pejabat senior PBB kembali menyebutkan berbagai tuduhan pemerkosaan massal, pembunuhan, dan penyiksaan yang dilakukan militer Myanmar atau disebut Tatmadaw. Tuduhan itu dilontarkan setelah mengunjungi kamp pengungsi Rohingya di Cox's Bazar, Bangladesh.

Berbagai kelompok hak asasi manusia (HAM) menganggap hasil investigasi internal militer merupakan upaya mengaburkan fakta sesungguhnya. Hasil investigasi itu dikritik banyak kelompok HAM setelah dirilis di halaman Facebook panglima militer Myanmar pekan ini.

Adapun di Washington, beberapa senator AS mendesak penerapan sanksi ekonomi dan larangan perjalanan pada militer Myanmar dan kepentingan bisnisnya. Tillerson menyarankan agar berbagai sanksi internasional itu ditunda dulu karena AS ingin melihat proses investigasi dapat berhasil. Meski demikian, dia menjelaskan, jika ada informasi kredibel dan kuat tentang pelanggaran yang dilakukan sejumlah individu di Myanmar, maka mereka dapat menjadi target sanksi.

Myanmar saat ini melalui transisi menuju demokrasi setelah beberapa dekade pemerintahan militer, tapi para jenderal masih memiliki pengaruh besar dalam keamanan dan memiliki veto atas perubahan konstitusi yang melarang Suu Kyi menjabat presiden.

Tillerson menyatakan, AS akan menyediakan tambahan bantuan kemanusiaan USD47 juta untuk para pengungsi sehingga totalnya mencapai USD87 juta sejak krisis Rohingya pada Agustus lalu. "Skala kemanusiaan dalam krisis ini mengejutkan. Lebih dari 600.000 warga Rohingya yang sebagian besar wanita dan anak-anak telah melarikan diri ke Bangladesh dan tidak diketahui jumlahnya dari beragam kelompok etnik lain yang masih mengungsi di dalam negeri, dengan akses terbatas untuk makanan, air dan tenda," paparnya.

Sementara berbagai kelompok HAM mendesak Myanmar mencabut larangan demonstrasi di kota terbesar Yangon. Kelompok HAM khawatir kebebasan bersuara mendapat tekanan pada era pemerintahan Suu Kyi. Suu Kyi memimpin pemerintahan sipil sejak 2015, tapi dia harus membagi kekuasaan dengan militer.

Suu Kyi juga tidak memiliki kontrol atas militer dan kepolisian. Suu Kyi juga mendapat kecaman Barat karena tidak mampu mengendalikan militer yang melancarkan kekerasan terhadap Rohingya. Larangan unjuk rasa itu dikeluarkan bulan ini oleh kementerian yang dikendalikan militer. Otoritas menolak semua izin untuk menggelar unjuk rasa di pusat Yangon.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5369 seconds (0.1#10.140)