Jepang Akan 'Labeli' China Sebagai Tantangan Strategis
loading...
A
A
A
TOKYO - Jepang akan menggambarkan China sebagai “tantangan strategis yang belum pernah terjadi sebelumnya” dalam kebijakan keamanan nasional terbaru yang akan disetujui paling cepat minggu ini. Hal itu tertuang dalam draf yang dilihat oleh Bloomberg.
Strategi baru, yang diharapkan mendapat lampu hijau dari Kabinet Perdana Menteri Fumio Kishida pada hari Jumat (19/12/2022) ini, juga menjabarkan rencana Jepang untuk mendapatkan rudal jarak jauh, termasuk mengembangkan senjata hipersoniknya sendiri, sebagai bagian dari peningkatan kemampuan pertahanannya secara radikal.
Pergeseran itu dipicu oleh invasi Rusia ke Ukraina, ketegangan atas Taiwan yang mencakup rudal China yang ditembakkan ke perairan dekat pulau-pulau Jepang pada awal tahun 2022, dan Korea Utara meningkatkan peluncuran misilnya.
Jepang melangkah dengan hati-hati dalam hal bahasa yang digunakannya dalam menggambarkan masalah keamanan yang ditimbulkan oleh mitra dagang terbesarnya, China, meskipun telah menggunakan kata "ancaman" dalam dokumen kementerian pertahanan sehubungan dengan hal-hal seperti Korea Utara.
Mengacu pada peningkatan kemampuan rudal yang “luar biasa” di kawasan itu, pemerintah Tokyo mengatakan dalam dokumen itu menjadi sulit untuk menghadapi situasi hanya dengan memperkuat jaringan pertahanan rudal Jepang yang ada.
Revisi terhadap tiga dokumen yang mengatur strategi keamanan dan pertahanan Jepang menyerukan untuk memperoleh “kemampuan serangan balik” yang memungkinkannya untuk menargetkan fasilitas militer musuh, pada titik balik bagi negara yang terikat oleh Konstitusi pasifis sejak 1947.
Menurut dokumen itu, Jepang berencana untuk membeli rudal Tomahawk Lockheed Martin untuk tujuan tersebut. Rudal itu memiliki jangkauan lebih dari 1.250 km, yang berarti dapat digunakan untuk menyerang pangkalan angkatan laut di pantai timur China dan Rusia.
Jepang juga bermaksud untuk mendapatkan pasokan rudal yang cukup, termasuk yang dibuat sendiri, selama dekade mendatang dengan jarak yang cukup jauh untuk menyerang aset militer di tiga negara tetangganya yang bersenjata nuklir yang telah menjadi fokus perhatian Tokyo.
Menurut Kyodo News, yang mengutip sumber-sumber pemerintah, dengan strategi barunya, pemerintah Jepang juga mempertimbangkan untuk merevisi pedoman pertahanan yang mengatur kerja sama militernya dengan satu-satunya sekutu perjanjian resminya, Amerika Serikat (AS).
"Mr Kishida dapat mengangkat masalah ini selama kunjungan ke AS yang ingin diselenggarakan oleh pemerintah untuk bulan Januari," kata outlet media Jepang tersebut seperti dikutip dari Strait Times.
Menurut dokumen tersebut, Jepang akan mempertahankan sikap "bertahan secara eksklusif" serta larangan senjata nuklirnya.
Namun demikian, China telah menjelaskan kepada Jepang keberatannya terhadap kata-kata dalam dokumen baru tersebut, dengan mengatakan bahwa Beijing berkomitmen untuk menjaga perdamaian dan stabilitas.
"Pihak Jepang mengabaikan fakta," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin pada konferensi pers hari Rabu.
“Membesar-besarkan 'ancaman China' untuk mencari alasan bagi pembangunan militernya pasti akan gagal,” tegasnya.
Kishida telah mengumumkan rencana untuk meningkatkan pengeluaran pertahanan sekitar 60 persen sebesar Rp4,8 kuadriliun selama lima tahun ke depan. Menyusul perselisihan tentang bagaimana mendanai langkah tersebut, Partai Demokrat Liberal yang berkuasa akan menyetujui rencana untuk menaikkan pajak, kata Kyodo News, tetapi akan menghindari penetapan tanggal untuk langkah yang kemungkinan tidak disukai publik.
Sebagai perbandingan, pemerintah Korea Selatan berencana untuk meningkatkan pengeluaran pertahanannya menjadi lebih dari Rp835 triliun per tahun pada tahun 2026. China mengalokasikan sekitar Rp4,5 kuadriliun untuk militernya pada tahun 2021, menurut Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm.
Aturan yang mengatur transfer alutsista juga akan ditinjau di bawah strategi tersebut, karena Jepang meluncurkan proyek tiga arah dengan Inggris dan Italia untuk mengembangkan jet tempur siluman generasi berikutnya dan berupaya mendukung industri pertahanan dalam negerinya.
Strategi baru, yang diharapkan mendapat lampu hijau dari Kabinet Perdana Menteri Fumio Kishida pada hari Jumat (19/12/2022) ini, juga menjabarkan rencana Jepang untuk mendapatkan rudal jarak jauh, termasuk mengembangkan senjata hipersoniknya sendiri, sebagai bagian dari peningkatan kemampuan pertahanannya secara radikal.
Pergeseran itu dipicu oleh invasi Rusia ke Ukraina, ketegangan atas Taiwan yang mencakup rudal China yang ditembakkan ke perairan dekat pulau-pulau Jepang pada awal tahun 2022, dan Korea Utara meningkatkan peluncuran misilnya.
Jepang melangkah dengan hati-hati dalam hal bahasa yang digunakannya dalam menggambarkan masalah keamanan yang ditimbulkan oleh mitra dagang terbesarnya, China, meskipun telah menggunakan kata "ancaman" dalam dokumen kementerian pertahanan sehubungan dengan hal-hal seperti Korea Utara.
Mengacu pada peningkatan kemampuan rudal yang “luar biasa” di kawasan itu, pemerintah Tokyo mengatakan dalam dokumen itu menjadi sulit untuk menghadapi situasi hanya dengan memperkuat jaringan pertahanan rudal Jepang yang ada.
Revisi terhadap tiga dokumen yang mengatur strategi keamanan dan pertahanan Jepang menyerukan untuk memperoleh “kemampuan serangan balik” yang memungkinkannya untuk menargetkan fasilitas militer musuh, pada titik balik bagi negara yang terikat oleh Konstitusi pasifis sejak 1947.
Menurut dokumen itu, Jepang berencana untuk membeli rudal Tomahawk Lockheed Martin untuk tujuan tersebut. Rudal itu memiliki jangkauan lebih dari 1.250 km, yang berarti dapat digunakan untuk menyerang pangkalan angkatan laut di pantai timur China dan Rusia.
Jepang juga bermaksud untuk mendapatkan pasokan rudal yang cukup, termasuk yang dibuat sendiri, selama dekade mendatang dengan jarak yang cukup jauh untuk menyerang aset militer di tiga negara tetangganya yang bersenjata nuklir yang telah menjadi fokus perhatian Tokyo.
Menurut Kyodo News, yang mengutip sumber-sumber pemerintah, dengan strategi barunya, pemerintah Jepang juga mempertimbangkan untuk merevisi pedoman pertahanan yang mengatur kerja sama militernya dengan satu-satunya sekutu perjanjian resminya, Amerika Serikat (AS).
"Mr Kishida dapat mengangkat masalah ini selama kunjungan ke AS yang ingin diselenggarakan oleh pemerintah untuk bulan Januari," kata outlet media Jepang tersebut seperti dikutip dari Strait Times.
Menurut dokumen tersebut, Jepang akan mempertahankan sikap "bertahan secara eksklusif" serta larangan senjata nuklirnya.
Namun demikian, China telah menjelaskan kepada Jepang keberatannya terhadap kata-kata dalam dokumen baru tersebut, dengan mengatakan bahwa Beijing berkomitmen untuk menjaga perdamaian dan stabilitas.
"Pihak Jepang mengabaikan fakta," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin pada konferensi pers hari Rabu.
“Membesar-besarkan 'ancaman China' untuk mencari alasan bagi pembangunan militernya pasti akan gagal,” tegasnya.
Kishida telah mengumumkan rencana untuk meningkatkan pengeluaran pertahanan sekitar 60 persen sebesar Rp4,8 kuadriliun selama lima tahun ke depan. Menyusul perselisihan tentang bagaimana mendanai langkah tersebut, Partai Demokrat Liberal yang berkuasa akan menyetujui rencana untuk menaikkan pajak, kata Kyodo News, tetapi akan menghindari penetapan tanggal untuk langkah yang kemungkinan tidak disukai publik.
Sebagai perbandingan, pemerintah Korea Selatan berencana untuk meningkatkan pengeluaran pertahanannya menjadi lebih dari Rp835 triliun per tahun pada tahun 2026. China mengalokasikan sekitar Rp4,5 kuadriliun untuk militernya pada tahun 2021, menurut Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm.
Aturan yang mengatur transfer alutsista juga akan ditinjau di bawah strategi tersebut, karena Jepang meluncurkan proyek tiga arah dengan Inggris dan Italia untuk mengembangkan jet tempur siluman generasi berikutnya dan berupaya mendukung industri pertahanan dalam negerinya.
(ian)