Serangan Siber Lumpuhkan Vanuatu, Indonesia Dibawa-bawa

Jum'at, 18 November 2022 - 11:24 WIB
loading...
Serangan Siber Lumpuhkan...
Serangan siber telah melumpuhkan Vanuatu selama 11 hari. Foto/BBC
A A A
PORT VILA - Serangan siber menghantam server dan telah melumpuhkan Vanuatu, memaksa pemerintah negara di kawasan Pasifik itu offline selama lebih dari 11 hari. Peretas telah menonaktifkan situs parlemen, polisi, dan kantor perdana menteri.

Serangan siber juga mematikan sistem email, intranet, dan database online sekolah, rumah sakit. Semua dinas dan departemen pemerintah juga juga telah dimatikan.

Ini membuat warga negara itu berjuang untuk melakukan kewajibannya seperti membayar pajak, tagihan, dan mendapatkan izin serta visa perjalanan.

Penduduk setempat mengatakan pada dasarnya siapa pun yang memiliki email atau domain gov.vu telah terpengaruh.

"Siapa pun yang mencoba melakukan apa saja dengan pemerintah tahu bahwa sistemnya gagal," kata Ginny Stein, jurnalis dan konsultan komunikasi Australia yang menghabiskan waktu bertahun-tahun tinggal di Port Vila, dan pergi pada Senin lalu.

"Pengalaman saya mencoba keluar negeri...yah, mereka tidak bisa beroperasi. Mereka benar-benar berjuang untuk menyelesaikan hal-hal mendasar," imbuhnya seperti dikutip dari BBC, Jumat (18/11/2022).

Ia menggambarkan terjadi penundaan besar-besaran untuk aplikasi apa pun yang berkaitan dengan pemerintah karena para pejabat telah menggunakan sistem manual dan dalam banyak kasus bahkan menutup kantor.

"Anda akan masuk ke kantor dan mereka tutup atau mereka menolak Anda dengan mengatakan 'mungkin kembali minggu depan, tapi kami tidak tahu'," ungkapnya.

Menurut seorang pegawai negeri, yang berbicara dengan syarat anonim, tampaknya server pemerintah dimatikan pada Jumat 4 November.

Seorang penduduk mengatakan email yang balik kembali dari alamat pemerintah adalah tanda pertama ada sesuatu yang salah.

"Jika Anda menghapus internet pemerintah...itu memengaruhi segalanya. Anda ingin melakukan pengiriman? Anda harus mendapatkan barang melalui persetujuan melalui bea cukai. Ini memengaruhi maskapai penerbangan. Ini memengaruhi sistem kesehatan - tidak sedikit pun yang tidak terpengaruh," kata Stein.

Stein, yang pernah bekerja di departemen pemerintah di Vanuatu, mencatat sistem internet negara itu tampak rapuh - dengan jangkauan internet yang bervariasi dan kapasitas server yang terbatas.

"Ini benar-benar hal yang menyedihkan untuk dilakukan pada negara pulau kecil yang tidak memiliki sumber daya untuk menangani ini," ujarnya.

Kantor berita AFP dan Vanuatu Daily Post memuat pernyataan pemerintah yang mengatakan sistem daringnya telah "disusupi" selama dua hari.

Tampaknya ada motif pemerasan. Surat kabar Australia The Sydney Morning Heral melaporkan para peretas menuntut uang tebusan yang ditolak oleh pemerintah Vanuatu.

Juga tidak diketahui dengan jelas bagaimana serangan siber itu terjadi dan perlindungan apa yang dimiliki oleh Vanuatu. Para ahli telah mencatat bahwa keseluruhan sistem kemungkinan besar terpusat dan dihoting di server pemerintah sendiri, sebuah kelemahan keamanan yang mendasar.

Serangan itu terjadi kurang dari sebulan setelah pemerintahan baru Vanuatu terpilih - potensi waktu kerentanan.

"Tetapi pemerintah baru telah menanggapi dengan cepat dan tidak menyetujui permintaan uang tebusan," kata Meg Keen, direktur Program Kepulauan Pasifik di Lowy Institute yang berbasis di Sydney.

"Kami belum tahu siapa yang berada di balik serangan ini, tetapi seorang juru bicara pemerintah mengatakan itu adalah serangan dari luar, kemungkinan besar dari wilayah Asia," imbuhnya.

Keen mengatakan Vanuatu, seperti negara lain, bertujuan mengamankan informasi pemerintahnya dari serangan eksternal. Dia mencatat "kerentanan global" terhadap serangan semacam itu termasuk di Australia, di mana peretasan pada perusahaan asuransi kesehatan dan telekomunikasi dalam beberapa pekan terakhir telah mengungkap data hampir separuh populasi.



Tetapi Vanuatu memiliki sumber daya yang jauh lebih sedikit. Ekonominya sebagian besar bergantung pada pertanian dan pariwisata. Negara dataran rendah ini termasuk yang paling rentan terhadap perubahan iklim.

"Serangan itu merupakan beban tambahan pada sistem publik," ujar Keen.

Beberapa orang berspekulasi bahwa peretasan tersebut mungkin berasal dari Indonesia. Vanuatu telah lama mendukung gerakan kemerdekaan di provinsi Papua Barat, yang sebagian besar penduduknya adalah orang Melanesia. Militer Indonesia dituduh melakukan pelanggaran HAM berat di provinsi tersebut.



Yang lain mencatat posisi Vanuatu di kawasan Pasifik - sebagai negara kunci yang memiliki hubungan dengan Amerika Serikat (AS), China, Australia, dan Selandia Baru.

Tahun ini negara-negara Kepulauan Pasifik dirayu oleh Washington dan Beijing. Para pemimpin pulau diundang ke Gedung Putih pada bulan September, sementara Menteri Luar Negeri China melakukan tur keliling Pasifik pada bulan Juni untuk mencari kesepakatan regional.

Dalam beberapa tahun terakhir, Vanuatu telah menjadi salah satu pulau Pasifik yang paling dekat dengan Beijing. Investasi China telah membangun gedung parlemen, stadion olahraga, dan pusat konvensi. Beijing memiliki kedutaan besar di Port Vila, sementara perwakilan Washington berjarak tiga jam penerbangan di Papua Nugini.

Namun, Australia - bersekutu dengan AS - selama lebih dari empat dekade telah menjadi donor bantuan terbesar Vanuatu dan mitra keamanan terdekat.

Otoritas pulau berpopulasi sekitar 315.000 orang itu berjanji untuk meningkatkan sistem keamanannya. Sementara itu, Australia menawarkan tetangganya, yang secara tradisional merupakan mitra bantuan terbesarnya, untuk membantu membangun kembali jaringannya.

Hingga Rabu, domain pemerintah masih down. Seorang juru bicara mengatakan kepada Herald bahwa situs web pemerintah "harus kembali minggu depan".

(ian)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1703 seconds (0.1#10.140)