Pengadilan Tunisia Batalkan Pemecatan 50 Hakim yang Dituduh Berzina
loading...
A
A
A
TUNIS - Pengadilan Tunisia pada Rabu membatalkan pemecatan 50 hakim pada Juni oleh Presiden Kais Saied. Presiden memberhentikan puluhan hakim itu atas tuduhan korupsi dan berzina.
Beberapa organisasi non-pemerintah (NGO) menggambarkan tindakan Presiden Saied sebagai "serangan terhadap supremasi hukum".
Pada Juni lalu, Presiden Saied—yang telah mengambil alih kekuasaan setahun yang lalu—memberhentikan total 57 hakim dengan menggunakan dekrit presiden, menuduh para hakim itu korupsi, berzina dan menghalangi beberapa penyelidikan.
Sebanyak 53 hakim akhirnya mengajukan banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Juru bicara Pengadilan Tata Usaha Negara Imed Ghabri mengumumkan pembatalan pemecatan, tetapi tidak mengungkapkan berapa banyak hakim yang dicakup oleh putusan pengadilan tersebut.
Seorang praktisi hukum, Kamel Ben Messoud, dari komite pembela hakim yang diberhentikan, mengatakan:"Pembatalan [pemecatan] itu menyangkut sekitar 50 hakim."
Menurutnya, ke-50 hakim itu akan dapat melanjutkan fungsinya segera setelah mereka menerima salinan putusan pengadilan.
Hakim lainnya yang menghadapi tuntutan pidana, kata Messoud, tidak mendapat manfaat dari putusan pembatalan oleh pengadilan.
Pengadilan Tata Usaha Negara, seperti dikutip dari The Heritage, Kamis (11/8/2022), mengatakan akan mempublikasikan putusannya nanti, tanpa memberikan rincian lebih lanjut.
Pemecatan puluhan hakim ini telah mengundang kecaman dari beberapa NGO, termasuk Human Rights Watch (HRW) dan Amnesty International, yang menganggap tindakan presiden sebagai serangan langsung terhadap supremasi hukum dan telah menyebabkan pemogokan kerja oleh para hakim selama lebih dari sebulan.
Sejak 25 Juli 2021, Presiden Saied telah bertindak untuk kepentingan negara, yang dia anggap tidak dapat diatur, dan telah memusatkan semua kekuatan, meningkatkan kekhawatiran akan arus otokratis di Tunisia—negara tempat lahirnya gerakan Arab Spring.
Beberapa organisasi non-pemerintah (NGO) menggambarkan tindakan Presiden Saied sebagai "serangan terhadap supremasi hukum".
Pada Juni lalu, Presiden Saied—yang telah mengambil alih kekuasaan setahun yang lalu—memberhentikan total 57 hakim dengan menggunakan dekrit presiden, menuduh para hakim itu korupsi, berzina dan menghalangi beberapa penyelidikan.
Sebanyak 53 hakim akhirnya mengajukan banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Juru bicara Pengadilan Tata Usaha Negara Imed Ghabri mengumumkan pembatalan pemecatan, tetapi tidak mengungkapkan berapa banyak hakim yang dicakup oleh putusan pengadilan tersebut.
Seorang praktisi hukum, Kamel Ben Messoud, dari komite pembela hakim yang diberhentikan, mengatakan:"Pembatalan [pemecatan] itu menyangkut sekitar 50 hakim."
Menurutnya, ke-50 hakim itu akan dapat melanjutkan fungsinya segera setelah mereka menerima salinan putusan pengadilan.
Hakim lainnya yang menghadapi tuntutan pidana, kata Messoud, tidak mendapat manfaat dari putusan pembatalan oleh pengadilan.
Pengadilan Tata Usaha Negara, seperti dikutip dari The Heritage, Kamis (11/8/2022), mengatakan akan mempublikasikan putusannya nanti, tanpa memberikan rincian lebih lanjut.
Pemecatan puluhan hakim ini telah mengundang kecaman dari beberapa NGO, termasuk Human Rights Watch (HRW) dan Amnesty International, yang menganggap tindakan presiden sebagai serangan langsung terhadap supremasi hukum dan telah menyebabkan pemogokan kerja oleh para hakim selama lebih dari sebulan.
Sejak 25 Juli 2021, Presiden Saied telah bertindak untuk kepentingan negara, yang dia anggap tidak dapat diatur, dan telah memusatkan semua kekuatan, meningkatkan kekhawatiran akan arus otokratis di Tunisia—negara tempat lahirnya gerakan Arab Spring.
(min)