Antisipasi Penyebaran Pandemi, WHO Tolak Paspor Kebal Covid-19
loading...
A
A
A
NEW YORK - Di saat jumlah korban meninggal akibat Covid-19 telah mencapai lebih dari 200.000 orang, Badan Kesehatan Dunia (WHO) meminta pemerintahan di seluruh dunia tidak mengeluarkan “paspor imunitas” atau “sertifikat bebas risiko” untuk memperlonggar lockdown (isolasi wilayah).
WHO memperingatkan “tidak ada bukti” bahwa orang bisa mengembangkan antibodi setelah sembuh dari virus dan bisa selamat dari infeksi kedua. WHO menyatakan tidak lebih dari 2-3% dari populasi global yang memiliki antibodi terhadap Covid-19. Itu menjadi masalah bagi negara untuk mengeluarkan “paspor imunitas”.
Direktur Jenderal WHO menyatakan hanya 2-3% orang di dunia yang memiliki antibodi. Direktur Teknik WHO untuk Covid-19 Maria Van Kerkhove menyatakan angka tersebut lebih rendah dari yang diperkirakan. Dia meragukan jika negara, seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, Jerman, dan Italia akan memberikan “paspor imunitas”. “Kita belum memiliki penggunaan tes serologis atau antibodi bisa menunjukkan seseorang memiliki imunitas dan tidak akan terinfeksi lagi,” katanya.
Langkah itu sebagai upaya WHO menentang berbagai negara yang memperbolehkan warganya kembali bekerja dan bepergian. Isolasi wilayah untuk menghentikan penyebaran virus telah menghancurkan ekonomi dunia.
Pekan lalu, Chile menyatakan akan mulai merilis “paspor kesehatan” kepada orang-orang yang dianggap telah pulih dari Covid-19 dan kebal pada virus corona. Begitu antibodi pada tubuh mereka terlacak, mereka bisa bekerja kembali, kata sejumlah pejabat. Di Swedia yang memilih membebaskan sebagian besar masyarakat, beberapa ilmuwan meyakini taraf kekebalan tubuh pada penduduk akan jauh lebih tinggi dibandingkan mereka yang ditempatkan dalam karantina wilayah.
“Belum ada bukti orang-orang yang membangun antibodi setelah sembuh dari virus corona benar-benar aman dari serangan virus itu untuk kedua kali,” demikian kata WHO.
Sebagian besar kajian yang dijalankan sejauh ini menunjukkan orang-orang telah sembuh dari Covid-19 memiliki antibodi dalam darah mereka, tapi sebagian dari mereka punya antibodi berkadar rendah. WHO belum mengevaluasi apakah keberadaan antibodi pada virus corona menimbulkan kekebalan terhadap penularan virus tersebut untuk kedua kalinya.
“Pada tahap ini, belum ada cukup bukti mengenai efektivitas antibodi untuk menjamin akurasi 'paspor imunitas' atau 'sertifikat bebas risiko',” kata WHO. WHO juga mengatakan rangkaian uji laboratorium untuk mendeteksi antibodi perlu divalidasi lebih lanjut untukdalam menentukan akurasinya dan membedakan penularan virus SARS-CoV-2—yang menyebabkan Covid-19—dengan enam virus corona lainnya yang terlebih dulu menyebar.
Anders Wallensten dari Badan Kesehatan Masyarakat Swedia mengatakan kekebalan tubuh belum diketahui secara mendalam. “Kami akan tahu lebih banyak setelah makin banyak orang yang diuji antibodinya, makin panjang waktunya, dan makin banyak laporan penularan kembali yang dilaporkan,” paparnya dilansir BBC.
Belgia juga menjadi negara yang menentang pemberian “paspor imunitas”. “Saya menentang pemberian paspor kepada orang-orang yang hijau atau yang merah, tergantung pada status serum darah mereka,” ujar Professor Marc Van Ranst, pakar virologi sekaligus anggota Kelompok Peninjau Risiko serta Komite Sains mengenai virus korona di Belgia. Dia mengatakan, sertifikat itu justru memunculkan pemalsuan yang membuat orang-orang bersedia menularkan virus pada diri mereka. “Ini bukan ide bagus. Ini ide yang sangat buruk,” katanya.
Banyak negara telah melaksanakan pengujian sampel untuk antibodi terhadap populasinya, seperti Amerika Serikat (AS), Italia, Jerman, dan Inggris. Survei awal terhadap penduduk New York ditemukan bahwa hampir 14% memiliki antobodi melawan virus korona. Itu diungkapkan Gubernur New York Andrew Cuomo yang mengatakan, ada indikasi bahwa 2,7 juta warganya telah terinfeksi virus corona.
Hanya 3.000 orang yang disurvei, Cuomo mengungkapkan, tingkat kematian akibat infeksi virus corona hanya 0,5% atau lebih rendah dibandingkan yang diungkapkan para pakar. “Jika infeksi mencapai 13,9%, itu bisa mengubah teori kalau tingkat kematian orang yang terinfeksi virus corona,” kata Cuomo. Tingkat kematian 0,5% dihitung dari membagi jumlah korban meninggal sekitar 15.500 dengan estimasi warga yang terinfeksi 14% dari total 19 juta penduduk New York, yakni 2,7 juta.
Di Inggris, 25.000 orang diperiksa setiap bulannya pada tahun depan untuk memperiksaan antibodi dan pengecekan apakah mereka memiliki virus. Itu bertujuan untuk memberikan informasikan apakah berapa lama imunitas melawan Covid-19 bagi pasien yang sembuh. Di Belgia, pejabat Badan Kesehatan Publik Swedia Anders Wallensten mengungkapkan kekebalan saja tidak cukup. “Kita harus mengetahui lebih banyak orang untuk dites antibodi,” katanya.
Sebelumnya, Profesor Mala Maini dari Universitas College London mengatakan, ketersediaan pengujian antibodi seharusnya dilakukan untuk mengetahui berapa antibodi dalam tubuh bisa bertahan dan apakah akan memberikan perlindungan. “Kita tidak yakin jika antibodi tersebut bisa mengindikasikan imunitas perlindungan terhadap Covid-19. Data awal memang menunjukkan hal yang masuk akal,” katanya. (Andika H Mustaqim)
WHO memperingatkan “tidak ada bukti” bahwa orang bisa mengembangkan antibodi setelah sembuh dari virus dan bisa selamat dari infeksi kedua. WHO menyatakan tidak lebih dari 2-3% dari populasi global yang memiliki antibodi terhadap Covid-19. Itu menjadi masalah bagi negara untuk mengeluarkan “paspor imunitas”.
Direktur Jenderal WHO menyatakan hanya 2-3% orang di dunia yang memiliki antibodi. Direktur Teknik WHO untuk Covid-19 Maria Van Kerkhove menyatakan angka tersebut lebih rendah dari yang diperkirakan. Dia meragukan jika negara, seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, Jerman, dan Italia akan memberikan “paspor imunitas”. “Kita belum memiliki penggunaan tes serologis atau antibodi bisa menunjukkan seseorang memiliki imunitas dan tidak akan terinfeksi lagi,” katanya.
Langkah itu sebagai upaya WHO menentang berbagai negara yang memperbolehkan warganya kembali bekerja dan bepergian. Isolasi wilayah untuk menghentikan penyebaran virus telah menghancurkan ekonomi dunia.
Pekan lalu, Chile menyatakan akan mulai merilis “paspor kesehatan” kepada orang-orang yang dianggap telah pulih dari Covid-19 dan kebal pada virus corona. Begitu antibodi pada tubuh mereka terlacak, mereka bisa bekerja kembali, kata sejumlah pejabat. Di Swedia yang memilih membebaskan sebagian besar masyarakat, beberapa ilmuwan meyakini taraf kekebalan tubuh pada penduduk akan jauh lebih tinggi dibandingkan mereka yang ditempatkan dalam karantina wilayah.
“Belum ada bukti orang-orang yang membangun antibodi setelah sembuh dari virus corona benar-benar aman dari serangan virus itu untuk kedua kali,” demikian kata WHO.
Sebagian besar kajian yang dijalankan sejauh ini menunjukkan orang-orang telah sembuh dari Covid-19 memiliki antibodi dalam darah mereka, tapi sebagian dari mereka punya antibodi berkadar rendah. WHO belum mengevaluasi apakah keberadaan antibodi pada virus corona menimbulkan kekebalan terhadap penularan virus tersebut untuk kedua kalinya.
“Pada tahap ini, belum ada cukup bukti mengenai efektivitas antibodi untuk menjamin akurasi 'paspor imunitas' atau 'sertifikat bebas risiko',” kata WHO. WHO juga mengatakan rangkaian uji laboratorium untuk mendeteksi antibodi perlu divalidasi lebih lanjut untukdalam menentukan akurasinya dan membedakan penularan virus SARS-CoV-2—yang menyebabkan Covid-19—dengan enam virus corona lainnya yang terlebih dulu menyebar.
Anders Wallensten dari Badan Kesehatan Masyarakat Swedia mengatakan kekebalan tubuh belum diketahui secara mendalam. “Kami akan tahu lebih banyak setelah makin banyak orang yang diuji antibodinya, makin panjang waktunya, dan makin banyak laporan penularan kembali yang dilaporkan,” paparnya dilansir BBC.
Belgia juga menjadi negara yang menentang pemberian “paspor imunitas”. “Saya menentang pemberian paspor kepada orang-orang yang hijau atau yang merah, tergantung pada status serum darah mereka,” ujar Professor Marc Van Ranst, pakar virologi sekaligus anggota Kelompok Peninjau Risiko serta Komite Sains mengenai virus korona di Belgia. Dia mengatakan, sertifikat itu justru memunculkan pemalsuan yang membuat orang-orang bersedia menularkan virus pada diri mereka. “Ini bukan ide bagus. Ini ide yang sangat buruk,” katanya.
Banyak negara telah melaksanakan pengujian sampel untuk antibodi terhadap populasinya, seperti Amerika Serikat (AS), Italia, Jerman, dan Inggris. Survei awal terhadap penduduk New York ditemukan bahwa hampir 14% memiliki antobodi melawan virus korona. Itu diungkapkan Gubernur New York Andrew Cuomo yang mengatakan, ada indikasi bahwa 2,7 juta warganya telah terinfeksi virus corona.
Hanya 3.000 orang yang disurvei, Cuomo mengungkapkan, tingkat kematian akibat infeksi virus corona hanya 0,5% atau lebih rendah dibandingkan yang diungkapkan para pakar. “Jika infeksi mencapai 13,9%, itu bisa mengubah teori kalau tingkat kematian orang yang terinfeksi virus corona,” kata Cuomo. Tingkat kematian 0,5% dihitung dari membagi jumlah korban meninggal sekitar 15.500 dengan estimasi warga yang terinfeksi 14% dari total 19 juta penduduk New York, yakni 2,7 juta.
Di Inggris, 25.000 orang diperiksa setiap bulannya pada tahun depan untuk memperiksaan antibodi dan pengecekan apakah mereka memiliki virus. Itu bertujuan untuk memberikan informasikan apakah berapa lama imunitas melawan Covid-19 bagi pasien yang sembuh. Di Belgia, pejabat Badan Kesehatan Publik Swedia Anders Wallensten mengungkapkan kekebalan saja tidak cukup. “Kita harus mengetahui lebih banyak orang untuk dites antibodi,” katanya.
Sebelumnya, Profesor Mala Maini dari Universitas College London mengatakan, ketersediaan pengujian antibodi seharusnya dilakukan untuk mengetahui berapa antibodi dalam tubuh bisa bertahan dan apakah akan memberikan perlindungan. “Kita tidak yakin jika antibodi tersebut bisa mengindikasikan imunitas perlindungan terhadap Covid-19. Data awal memang menunjukkan hal yang masuk akal,” katanya. (Andika H Mustaqim)
(ysw)